tirto.id - Abdul Kholik Bukhori baru berusia 19 tahun saat menginjakkan kaki di Manokwari. Ia ingat betul kejadian janggal setiba di tanah tempat masuknya Injil pertama kali di Papua itu. Saat itu tiba-tiba ia didatangi seorang romo Katolik bernama Antonius Marsudi. Tanpa berkenalan lebih dulu, romo Marsudi langsung mengajak bicara.
“Kalau saya lihat adik ini orang yang agamis, orang pesantren. Tapi sayang, ilmu adik ini masih kurang banyak,” kata si romo Marsudi.
Abdul Kholik merasa tersinggung sekaligus kaget. Memang benar ia hanyalah lulusan D3 agama Islam. Pendidikan dasar hingga SMA pun dijalaninya di pondok pesantren.
“Pak, saya ini mempelajari agama itu belum menghabiskan satu drum tinta. Sementara ilmu Allah itu kalau ditulis dengan tinta sebanyak dua lautan saja masih belum habis. Jadi pantas kalau ilmu saya itu kurang,” jawabnya.
“Maksud saya bukan begitu," ujar Romo Marsudi. "Saya lihat adik ini bisa menjadi terang dunia, atau menjadi Rahmatan Lil 'alamin kalau disebut dalam agama Islam."
Abdul Kholik tak paham maksud si romo itu. Romo Marsudi lantas mengambil Alkitab dari tasnya, lalu memberikan kepada Abdul Kholik. “Maaf, saya seorang Islam, saya baca Quran,” kata Abdul Kholik saat hendak diberi Alkitab.
Romo Marsudi lantas bertanya, apakah ia mengimani kitab Taurat, Injil, dan Zabur? Abdul Kholik mengangguk. “Kalau begitu, ini adik pelajari, nanti akan menemukan banyak kesamaan, dan akan berguna bagi adik di Papua,” kata romo Marsudi, diceritakan ulang Abdul Kholik kepada saya, Desember lalu.
Abdul Kholik mengambil Alkitab itu, lalu berpamitan.
Kedatangan Abdul Kholik ke Manokwari memang masih terkait dengan obrolan janggalnya dengan romo Marsudi. Ayah Abdul Kholik, Kiai Bukhori, datang ke sana memang untuk misi agama. Ia diminta pemerintah untuk ikut program transmigrasi khusus untuk pembinaan umat Islam di Manokwari tahun 1983.
Sebelum memutuskan ikut transmigrasi, mereka sudah memiliki pondok pesantren di Banyuwangi. Pondok pesantren di Jawa Timur ini didirikan setelah peristiwa "Gerakan 30 September"--kejadian politik pembantaian massal terhadap anggota dan orang yang diduga simpatisan komunis di Jawa pada 1965-1966. Ponpes ini berdiri atas bantuan dana dan tanah wakaf dari mantan anggota Partai Komunis Indonesia, cerita Abdul Kholik. Sampai kini ponpes itu masih berdiri dan dikelola oleh kerabat.
Di Manokwari, keluarga Abdul Kholik akan membuat pesantren lagi. Di kemudian hari, mereka mendirikan Ponpes Salafiyah di Distrik Prafi, sebuah permukiman transmigran di Kabupaten Manokwari.
Membangun Pesantren di Daerah Transmigran
Sangat mudah untuk menemukan Ponpes Salafiyah. Saya hanya perlu bertanya di mana rumah Abdul Kholik Bukhori, orang-orang di Distrik Prafi sudah tahu. Pesantren ini adalah salah satu pesantren yang cukup tua di daerah transmigrasi. Lokasinya ada di SP 3 Prafi, sekitar 50 km dari Kota Manokwari.
Pesantren yang menempati lahan seluas setengah hektare itu mulai dirintis pada 1983 tapi baru resmi diakui pemerintah pada 1999. Selain pesantren, Abdul Kholik merintis madrasah ibtidaiyah (setara sekolah dasar) dan madrasah tsanawiyah (setara SMP), yang diakui pemerintah sejak 1994 dan sudah terakreditasi B.
Dua sekolahan itu kini sudah diambil pemerintah dan dijadikan negeri. Lokasi pesantren dan sekolah itu hanya berjarak sekitar 100 meter dari Gereja Kristen Injili di Tanah Papua Bukit Zaitun.
“Sekarang ada 370 santri MTs dan 380 santri MI,” kata Abdul Kholik.
Upaya membangun pesantren itu bukan hal mudah. Semuanya benar-benar dilakukan dengan gotong royong. Misalnya, untuk tanah yang kini ditempati, merupakan hasil sumbangan dari mantan ketua DPRD Manokwari dan mantan direktur Pertamina. Sementara bahan bangunan seperti pasir dan batu dari meminta kepala suku setempat.
Sisa kekurangan pembiayaan dicari dengan cara patungan anggota TNI AL, Kodim, dan Polres. Setiap bulan, gaji mereka dipotong untuk menyumbang pembangunan pesantren.
Pada saat mencari pendanaan itu, Abdul Kholik bertemu lagi dengan romo Marsudi. Saat itu Marsudi sudah menjadi mualaf. Ia menawarkan diri untuk mencari bantuan dengan mengedarkan kotak kayu di Pasar Wosi.
“Jadi romo itu keliling bawa kotak itu. Kunci [kotak sumbangan] itu ada di saya,” ujar Abdul Kholik.
Pesantren itu bukan satu-satunya di Distrik Prafi. Adik Abdul Kholik, Abdul Qodim, juga mendirikan pesantren di SP 2, Prafi. Namanya Pesantren Salfiyah Matla'ul Falah.
Selain dua pesantren itu, masih ada dua pesantren lagi di Distrik Prafi, yakni pesantren Darul Taqwa yang didirikan Ust Aliyudin Abdul Aziz di SP 1 dan Ponpes Darussalam yang didirikan oleh KH Abdul Bashir.
Banyak pesantren di Prafi lantaran daerah ini wilayah transmigrasi, sebagian besar penduduknya dari Jawa dan beragama Islam. Di distrik ini pula paling banyak masjid--ada 33 masjid pada 2015.
Selain di wilayah transmigrasi, beberapa pesantren dibangun di pinggiran Kota Manokwari. Salah satunya pesantren Hidayatullah di Arfai, berdiri sejak 1989 dan menempati lahan sekitar 2 hektare di pinggir jalan besar. Di dekatnya ada Masjid Rahmatan Lil 'alamin, yang pendiriannya pernah ditolak oleh komunitas Kristen di Manokwari pada 2015, serta Sekolah Tinggi Kesehatan Muhammadiyah.
Muhammad Sanusi, ustaz di Pesantren Hidayatullah, mengatakan pesantrennya tidak hanya di Manokwari tapi juga di Sorong dan Fakfak, Papua Barat.
“Memang sebagian santri masih dari pendatang,” katanya.
Jalan Dakwah Santri di Manokwari
Kehadiran pesantren ini mudah diterima oleh masyarakat asli Papua lantaran cara dakwahnya yang simpatik, ujar Abdul Kholik.
Selama ini, mereka menjalin hubungan yang baik dengan gereja. Para santri pun sudah terbiasa hidup di lingkungan yang beragam, bahkan dalam kondisi hidup sebagai minoritas.
Salah satu cara dakwah yang membuat mereka mudah diterima adalah dengan cara yang diajarkan oleh mantan romo Marsudi: mencari persamaan ajaran sebagai pintu masuk. Salah satu yang dicontohkan oleh Abdul Kholik adalah soal ajaran kasih.
Dalam agama Islam, dikenal habluminallah dan habluminannas, yakni mencintai Tuhan dan mencintai sesama manusia. Ajaran ini sama dengan ajaran kasih yang ditulis dalam Injil Matius 22 ayat 37: Kasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Hukum kedua yang sama dengan itu: kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri.
Ketika ayat itu diucapkan oleh Abdul Kholik dalam sebuah acara umum, orang Islam dan Kristen yang hadir serempak mengucapkan amin.
“Ternyata benar kata mantan pastor itu, cara ini membuat kecurigaan itu hilang,” ujar Abdul Kholik.
Cara itu efektif membuat suasana cair dan pesantren serta umat Islam di Manokwari mudah diterima oleh masyarakat. Itu juga membuat peta perpolitikan menjadi dinamis. Beberapa orang Kristen tidak segan untuk terjun sebagai politikus di partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Abdul Kholik pernah menjadi anggota DPRD Manokwari selama satu periode. Meski begitu, ia menilai dakwah lewat jalur politik untuk umat Islam di Manokwari tidak terlalu berdampak besar. Ia lebih merasa bermanfaat bagi umat Islam bila tetap berada di luar politik.
“Sejak menjadi anggota DPRD, jadwal saya untuk dakwah menjadi sedikit, karena itu saya akhirnya memutuskan untuk tidak maju lagi,” katanya.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam