tirto.id - Di ujung bulan, Rio tak biasanya kepepet soal uang. Saat memasuki tanggal tua bulan ini, ia benar-benar sedang butuh uang cepat. Di kepalanya sempat terpikir untuk meminjam uang ke teman atau keluarga, tapi rencana itu ia coret karena khawatir menyusahkan orang terdekatnya.
Pria berusia 28 tahun ini mencoba untuk mencari sumber lain terutama dari kredit atau pinjaman resmi. Ia pun mencari informasi di internet. Rio akhirnya menemukan adanya situs yang menawarkan pinjaman secara online.
“Saya googling, ternyata ada tuh yang menawarkan pinjaman online. Syaratnya cukup mudah, cuma isi formulir dan identitas. Selain itu, pinjamannya pun tidak kena biaya administrasi,” katanya kepada Tirto.
Awalnya ia sempat ragu karena ini hal baru baginya. Ia mencoba mengecek profil penyedia jasa keuangan pinjam meminjam online itu. Rio juga penasaran dengan melihat testimoni dari para peminjam lainnya.
Setelah dirasa cukup yakin, ia akhirnya memutuskan untuk mengajukan pinjaman sebesar Rp2 juta. Hanya dalam waktu 2 hari, dana pinjaman sebesar Rp2 juta itu sudah masuk ke rekening pribadinya.
Kebutuhan dana cepat seperti yang dialami Rio memang kerap dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Dengan kondisi tersebut, maka tidak heran apabila penyedia layanan jasa keuangan pinjam meminjam online mendapat tempat di masyarakat. Platform semacam ini salah satu bagian dari layanan jasa keuangan berbasis digital atau financial technology (fintech) untuk kategori lending atau jasa pinjaman.
Perusahaan FinTech di Indonesia memiliki banyak jenis pelayanan, selain lending, ada juga layanan kemudahan pembayaran, perencanaan keuangan, riset keuangan, dan lain-lain.
Lending, salah satu layanan dari Fintech yang tengah populer saat ini sering juga disebut Peer-to-Peer (P2P) Lending, atau perusahaan yang mempertemukan para pemberi pinjaman dengan para pencari pinjaman dalam satu wadah. Jasa P2P Lending yang dimanfaatkan oleh Rio tersebut tidak melibatkan lembaga jasa keuangan pada umumnya seperti perbankan, koperasi, jasa kredit, pemerintah dan lainnya, sebagai perantara.
Masyarakat bisa mengajukan pinjaman karena didukung oleh sesama pengguna sistem P2P Lending, yakni dari masyarakat itu sendiri atau dalam hal ini pemberi pinjaman. Oleh karena itu, jasa pembiayaan ini disebut peer to peer.
Layanan pinjam meminjam yang berbasis teknologi tersebut juga sudah diatur oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 77/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, yang mengatur tentang badan hukum, permodalan, batas maksimum pinjaman, bentuk perjanjian yang digunakan, hingga mengatur peminjam dan pemberi pinjaman dari perorangan hingga badan usaha. Intinya untuk memayungi penyelenggaraan bisnis yang sehat dan mampu melindungi konsumen dan pelaku usaha.
Sejak aturan itu terbit pada 28 Desember 2016, jumlah perusahaan P2P Fintech Lending kian menjamur. Data dari OJK menyebutkan sebanyak 30 perusahaan P2P Lending sudah terdaftar hingga akhir 2017. Beberapa nama dalam daftar OJK antara lain Modalku, UangTeman, Dompet Kilat, Cicil, Dana Mapan, dan lain-lain.
Baca juga: Mengintip Aturan Main Jasa Pinjam Meminjam Via Teknologi
Jumlah itu juga sepertinya tidak bertahan lama, dan akan bertambah. Sebanyak 37 perusahaan tengah dalam proses pendaftaran. Sementara yang berminat mendaftar sebanyak 29 perusahaan. Jadi, total perusahaan P2P Lending diperkirakan mencapai 96 perusahaan dalam waktu dekat.
“Ini menandakan kue pasar yang bisa digarap fintech lending masih terbuka lebar. Kita harap layanan kredit itu bisa dirasakan ke seluruh lapisan masyarakat,” kata Ajisatria Suleiman, Direktur Asosiasi FinTech Indonesia kepada Tirto.
Bagaimana Kinerja Fintech Lending Selama Setahun Bergulir?
Berdasarkan data OJK, perkembangan Fintech Lending sepanjang tahun lalu tumbuh sangat signifikan. Peminat pengguna jasa P2P Fintech Lending, baik dari pemberi pinjaman maupun pencari pinjaman sangat besar.
Hingga akhir 2017, total jumlah pemberi pinjaman mencapai 100.940 orang, naik 603 persen dari Desember 2016 sebanyak 14.364 orang. Dari total tersebut, sekitar 75 persen atau 75.769 orang disumbang dari Pulau Jawa.
Sementara itu, pemberi pinjaman dari luar Pulau Jawa menyumbang sekitar 24 persen atau sebanyak 24.028 orang. Pemberi pinjaman juga ternyata ada yang berasal dari luar negeri, yakni sekitar 1 persen atau sebanyak 1.143 orang.
Jumlah pencari pinjaman juga tumbuh sangat signifikan. OJK mencatat total jumlah pencari pinjaman mencapai 259.635 orang per Desember 2017, naik 581 persen dari Desember 2016 sebanyak 38.105 orang.
Dari total jumlah pencari pinjaman itu, sebanyak 237.159 orang, atau 91 persen berasal dari Pulau Jawa. Sementara sisanya, yakni 9 persen atau sebanyak 22.316 orang berasal dari luar Pulau Jawa.
Seiring dengan jumlah pemberi dan pencari pinjaman yang meningkat, nilai pinjaman yang dikucurkan pun tumbuh signifikan, yakni mencapai Rp2,56 triliun atau melesat 800 persen dari Desember 2016 sebesar Rp284,15 miliar.
Kinerja penyedia jasa P2P Lending yang tumbuh signifikan sepanjang tahun lalu diakui oleh Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya. Menurutnya, masyarakat Indonesia cukup terbuka dengan kehadiran P2P Lending ini.
“Waktu di lapangan, sebenarnya banyak masyarakat kita yang membutuhkan dana pinjaman. Jadi ketika ada cara baru, orang itu ternyata terbuka, karena memang tidak mudah untuk mendapatkan kredit di negara ini,” kata Reynold kepada Tirto.
Ia optimistis kontribusi P2P Lending dalam penyaluran pinjaman di Indonesia akan semakin besar ke depannya, terutama dari pelaku UMKM. Apalagi, pelayanan P2P Lending secara online ini mudah diakses hingga ke pelosok daerah. Artinya layanan keuangan ini tak hanya menyasar untuk kebutuhan konsumsi saja tapi juga dunia usaha.
Menurut data OJK, kebutuhan kredit bagi UMKM di Indonesia sedikitnya mencapai Rp1.700 triliun per tahun. Namun, lembaga keuangan yang ada saat ini hanya dapat memenuhi sekitar 41 persen atau Rp700 triliun dari total kebutuhan itu. Ini sama saja ada celah peluang penyaluran kredit untuk UMKM sekitar Rp1.000 triliun di setiap tahun yang belum tersentuh perbankan.
Studi Oliver Wyman dan Modalku juga menemukan kurangnya akses terhadap pinjaman bagi UMKM Indonesia yang ingin berkembang menyebabkan kerugian sebesar 14 persen dari total PDB nasional di 2015. Sehingga kehadiran P2P Lending yang sudah punya payung hukum, tak hanya menjadi peluang usaha baru di Indonesia, tapi sekaligus menjadi sumber pendanaan alternatif bagi UMKM.
Menjamurnya bisnis fintech lending memang menjadi berkah. Namun, badan pengawas seperti OJK perlu juga mengatur hal-hal mendasar seperti besaran bunga pinjaman, agar tak mengulang pada masalah perbankan konvensional yang terlalu menikmati bunga yang tinggi. Persoalan kredit macet, hingga peluang-peluang bisnis ini jadi ajang pencucian uang harus tetap jadi pengawasan.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra