tirto.id - Kasus pembakaran Al-Quran kembali terjadi di Swedia pada Kamis, 3 Agustus 2023. Kali ini dilakukan seorang warga keturunan Iran.
Pemerintah Swedia menyatakan tidak akan mengubah konstitusi yang menjamin hak kebebasan dan berkumpul. Namun, mereka akan menerapkan aturan Public Order Act terkait izin aksi demonstrasi.
Selama beberapa bulan terakhir, Denmark dan Swedia dilanda beberapa aksi demonstrasi pembakaran Al-Quran. Kejadian ini sedang marak dilakukan di dua negara Skandinavia tersebut.
Akibatnya, sebagian besar negara muslim bereaksi keras dengan menyampaikan nota protes resmi. Pada Jumat (4/8), Menteri Luar Negeri Swedia, Tobias Billstrom, mengadakan pertemuan dengan 21 duta besar negara-negara OKI (Organisasi Kerja Sama Islam).
Billstrom menyampaikan langkah dan upaya pemerintah Swedia dalam menangani aksi penistaan terhadap Al-Quran. Namun, mereka tidak mau mengubah konstitusi yang menjamin hak kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Rencananya Swedia juga bakal menerapkan peraturan Public Order Act. Aturan ini dapat memberikan wewenang kepada polisi untuk tidak memberikan hak demonstrasi dengan pertimbangan keamanan, meskipun izin sudah diberikan pihak pengadilan.
Fakta Kasus Terbaru Pembakaran Al-Quran di Swedia
Berikut adalah fakta kasus terbaru pembakaran Al-Quran di Swedia yang dilakukan sehari sebelum pertemuan Menlu Swedia dengan para dubes negara-negara OKI:
Kejadian Kamis, 3 Agustus 2023
Menurut laporan media Turki, Anadolu, kasus pembakaran Al-Quran terbaru terjadi pada hari Kamis, 3 Agustus 2023. Lokasinya di Pantai Angbybadet, distrik Bromma, kota Stockholm, Swedia.
Pelaku Keturunan Iran
Aksi pembakaran kitab suci umat Islam itu dilakukan oleh Bayrami Marjan. Ia merupakan pria keturunan Iran dengan usia 47 tahun.
Aksi Dilindungi Polisi
Ketika membakar salinan Al-Quran, Bayrami Marjan melancarkan aksi di bawah perlindungan pihak kepolisian. Menurut Bayrami ketika melancarkan protes, semua agama harus dimusnahkan.
Kasus pembakaran Al-Qur’an juga pernah dilakukan pada Januari lalu. Aksi tersebut dilakukan oleh Rasmus Paludan di depan Kedubes Turki di Stockholm, Swedia.
Rasmus Paludan merupakan politisi Denmark-Swedia yang lahir pada 2 Januari 1982, di North Zealand, Denmark.
Pria yang juga berprofesi sebagai pengacara itu adalah pemimpin Partai Stram Kurs atau Hard Line sejak 2017. Kelompok ini terkenal dengan sikap ekstremis terhadap Islam dan termasuk anti-imigran.