tirto.id - Ekonom Universitas Indonesia, Vid Adrison, menilai kerusuhan dan keterlibatan massa bayaran dalam sejumlah aksi di berbagai daerah dipicu oleh kesenjangan ekonomi dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Menurut Vid, kondisi ekonomi masyarakat yang sulit membuat sebagian orang mudah tergoda dengan imbalan uang untuk melakukan tindakan anarkistis.
"Kalau saya begitu miskin, dikasih uang Rp100-200 ribu untuk melakukan tindakan kejahatan saya akan gampang mengiyakan. Karena saya memang tidak punya dana untuk mencukupi kehidupan saya dan Rp100-200 ribu itu berarti," ujarnya dalam siniar di akun YouTube LPEM FEB UI, dikutip Rabu (3/9/2025).
Ia menjelaskan, nilai uang yang sama bisa berbeda bagi tiap individu. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, Rp100 ribu hingga Rp200 ribu cukup untuk menjadi pemicu, sementara bagi kalangan berpenghasilan tinggi jumlah itu tak memiliki pengaruh.
Vid menambahkan, selain faktor ekonomi, dinamika psikologi massa juga kerap dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin memicu kerusuhan. "Biasanya kalau berantem satu lawan satu enggak berani. Tapi kalau sudah ramai, pada berani. Nah, psikologi massa ini yang bisa dimanfaatkan orang-orang yang ingin menciptakan keributan," katanya.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa tidak semua peserta aksi digerakkan oleh uang. Ada pula massa yang turun ke jalan karena murni ingin menyuarakan keresahan hidup dan menuntut perhatian pemerintah. "Bagi masyarakat yang memang demonya itu dari hati nurani, mau dikasih duit atau tidak, mereka akan melakukan demo itu karena tujuannya menyadarkan pemerintah," jelasnya.
Karena itu, untuk mencegah kerusuhan berulang, Vid menekankan perlunya pemerintah fokus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika hal itu belum bisa tercapai, komunikasi publik yang empatik menjadi kunci meredam gejolak. Ia menyinggung respons pejabat yang justru dinilai memperburuk keadaan.
"Empati itu kemarin mohon maaf tidak ada, joget-joget, flexing, terus ngatain orang tolol, ada juga yang di Pati nantangin. Itu mengakibatkan amarah masyarakat semakin tinggi," kata Vid.
Dalam kesempatan sama, Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Chaikal Nuryakin, meminta pemerintah tak terus menerus menganggap bahwa aksi demonstrasi "ditunggangi" oleh kepentingan asing.
Sebab, ketidakpuasan dari publik terhadap kondisi perekonomian hingga kinerja pemerintah menjadi alasan valid yang menggerakan mereka untuk melakukan protes.
"Masyarakat merasakan kondisinya itu tidak baik. Sementara mereka (DPR) joget-joget mendapatkan tambahan benefit yang cukup tinggi," kata Chaikal dalam podcast yang disiarkan di Youtube LPEM FEB UI, dikutip Rabu (3/9/2025).
Sama seperti Vid, Chaikal juga tak menampik bawah bahwa tiap aksi demonstrasi berpotensi dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk kepentingannya. Namun, jangan pula langsung menilai bahwa protes massal yang terjadi di berbagai daerah tak datang dari keresahan masyarakat.
Sebaliknya, gerakan tersebut adalah harapan agar pemerintah mau mendengarkan dan mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
"Mereka menyuarakan dengan harapan pemerintah bisa mendengarkan. Menyuarakan bahwa klaim (kesejahteraan yang digaungkan) pemerintah dengan realita berbeda," beber Chaikal.
Penulis: Natania Longdong
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































