tirto.id - Jajaran guru besar dan akademisi dari fakultas kedokteran berbagai kampus melemparkan gelombang kritik sepekan terakhir. Mereka meminta agar Presiden Prabowo Subianto mengevaluasi kebijakan kesehatan yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Selain itu, turut digaungkan desakan untuk meninjau ulang kebijakan dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Mulanya sebanyak 158 guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyatakan keprihatinan atas sejumlah kebijakan Kemenkes, Jumat (16/5/2025). Ada enam poin aspirasi dari para akademisi. Secara garis besar mereka menyoroti kebijakan baru pendidikan kedokteran dan dokter spesialis yang menyederhanakan peran institusi pendidikan, fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan, dan independensi kolegium.
Protes belakangan disusul pula oleh Fakultas Kedokteran dari Universitas Padjajaran, Senin (19/5). Aspirasi yang bertajuk Maklumat Padjajaran tersebut mendesak evaluasi kebijakan pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan nasional. Sekaligus, agar meninjau kembali kebijakan Kemenkes di RS Pendidikan Universitas Padjajaran atau RSHS Bandung.
Dalam keterangannya, salah satu guru besar FK Unpad, Endang Sutedja, menilai kebijakan Kemenkes saat ini tidak hanya mencederai tata kelola sistem pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan nasional, namun berpotensi meruntuhkan pilar etik, profesionalisme, dan otonomi keilmuan.
Padahal, hal-hal itu yang selama ini menjadi dasar keberlangsungan sistem kesehatan yang bermartabat dan berkeadilan. Dia menyampaikan, pendidikan kedokteran bukan hanya proses teknis mencetak tenaga kerja. Pendidikan kedokteran merupakan tindakan merawat kehidupan, sebab setiap lulusannya bukan hanya membawa kompetensi, tetapi juga nurani, tanggung jawab, dan kepercayaan publik.
"Kita menyaksikan apa yang disebut Max Weber sebagai 'Entzauberung', (yakni) hilangnya kesakralan ilmu dan pengabdian akibat rasionalitas instrumentalis," kata Endang.
Kemenkes dinilai Terlalu Mencampuri Urusan Pendidikan Kedokteran
Setelahnya, gaung protes dan desakan evaluasi kebijakan kesehatan terus berdatangan lagi dari berbagai kampus. Protes serentak terjadi pada Selasa (20/5), seperti di FK Universitas Hasanuddin Makassar, FK Universitas Airlangga Surabaya, FK Universitas Brawijaya, dan FK Universitas Syiah Kuala Aceh.
Di Universitas Brawijaya, aspirasi ini disampaikan oleh 15 guru besar Fakultas Kedokteran di Gedung Graha Medika, Rabu (21/5/2025). Dalam keterangannya, Dekan FK UB, Wisnu Barlianto, mengaku langkah yang dilakukan para guru besar tersebut merupakan bentuk kontribusi nyata dalam mendorong kemajuan pendidikan kedokteran di Tanah Air.
Setidaknya ada empat poin utama yang disampaikan guru besar FK UB, yakni: menuntut independensi kolegium, mendesak kemitraan yang sejajar lintas sektoral, menegaskan pentingnya marwah dan otonomi perguruan tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran, serta mendukung perbaikan tata kelola pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan.
“Apa yang kita lakukan sekarang benar-benar membawa peran penting dalam kemajuan kedokteran di Indonesia,” kata Wisnu.

Desakan senada turut disampaikan oleh para guru besar FK Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Mereka menyatakan penolakan terhadap sejumlah kebijakan Menteri Kesehatan BGS yang dinilai terlalu jauh mencampuri urusan pendidikan kedokteran. Sorotan utamanya, keterlibatan Menkes mengelola pendidikan tenaga medis, khususnya pada dokter spesialis.
Dekan FK UNS, Reviono, menyatakan wacana Menkes terkait pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital-based) patut disoroti. Menurutnya, sekarang ini pendidikan spesialis memang berbasis rumah sakit, sebab 90 persen pembelajarannya berlangsung di Rumah Sakit Pendidikan. Bedanya, seleksi, kurikulum, hingga pengawasan pembelajaran sepenuhnya dikelola oleh universitas.
Sementara pendidikan dokter spesialis yang ingin dilakukan Kemenkes dilaksanakan di RS vertikal atau RS yang sudah digunakan fakultas kedokteran. Instansi pendidikan kedokteran juga tidak dilibatkan penuh dalam pelaksanaan pendidikan berbasis rumah sakit.
“Mengapa program baru itu tidak dibuka di rumah sakit lain yang belum menjadi rumah sakit pendidikan FK? Jika dalam satu rumah sakit terdapat dua program — university-based dan hospital-based — kami khawatir timbul perbedaan perlakuan terhadap mahasiswa serta munculnya dualisme sistem pendidikan,” ujar Reviono dalam keteragan resmi.

Dihubungi Tirto, Kemenkes menolak memberikan tanggapan atas gelombang protes yang dilakukan oleh sejumlah fakultas kedokteran dari berbagai kampus. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, enggan berkomentar lebih jauh.
“Maaf untuk isu tersebut, saat ini kami tidak bisa menanggapi lebih lanjut. Jika ada perkembangan akan diinfokan lebih lanjut kepada rekan jurnalis,” kata Aji kepada wartawan Tirto, Kamis (2/5/2025).
Sementara itu, Ketua Bidang Dokter Diaspora dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Iqbal Mochtar, menilai pendidikan kedokteran yang terpusat di rumah sakit bukan solusi persoalan kekurangan dokter, sebagaimana dalih Kemenkes. Sudah puluhan tahun pendidikan dokter serta dokter spesialis ditangani institusi pendidikan atau universitas dan tidak terjadi persoalan yang signifikan terhadap sistem tersebut.
“Universitas kan memiliki tenaga, struktur, dan infrastruktur yang memungkinkan mereka melakukan itu. Ada akreditasi, proses penjaminan kualitas, ada radio pendidikan, jadi ada standar di sana,” ucap Iqbal kepada wartawan Tirto, Kamis (22/5).

Jika rumah sakit dijadikan pusat pendidikan kedokteran, Iqbal meragukan standarisasi dan kesiapan para pengajarnya kelak. Pasalnya, tenaga dokter di rumah sakit adalah profesional yang melakukan tugas-tugas pelayanan kesehatan.
Mereka, kata Iqbal, bukan dikhususkan menjadi seorang pendidik. Hal ini terkesan menyederhanakan pendidikan kedokteran, demi rumah sakit bisa mencetak dokter lebih banyak. Imbasnya, nilai-nilai profesionalisme, etik, dan standarisasi layanan kesehatan rawan terabaikan.
“Ini merupakan hal yang sebenarnya membuat isu-isu tidak penting. RS pendidikan itu kan selama ini dilakukan institusi akademik tidak ada masalah. Sudah dicetak 220 ribu dokter tanpa ada masalah signifikan,” lanjut Iqbal.
Menjaga Independensi Kolegium
Persoalan lain yang menjadi perhatian barisan akademisi dan guru besar adalah independensi kolegium. Kolegium adalah wadah kumpulan ahli di berbagai cabang ilmu kesehatan yang mengampu cabang ilmu tersebut.
Sebelumnya, keberadaan kolegium adalah kewenangan penuh dari organisasi profesi. Namun, setelah UU Nomor 17/2023 soal Kesehatan disahkan, kolegium menjadi bagian dari alat kelengkapan Konsil. Pendeknya, bagian dari pemerintah meskipun dimandatkan berjalan secara independen.

Menurut Iqbal Mochtar dari PB IDI, tujuan keberadaan kolegium sebagai institusi pengampu sangat vital sebagai penjamin mutu dan standarisasi bidang ilmu kesehatan. Kolegium mesti diisi oleh orang-orang yang memang menguasai ilmu, berintegritas, dan menjunjung etik.
Namun, kolegium yang ada saat ini dinilai seperti tandingan yang dibentuk oleh organisasi profesi. Terlebih, anggotanya dipilih dengan voting, bukan didasari basis kemampuannya. Ia menduga subordinasi kolegium menjadi bagian kontrol pemerintah bertujuan agar mereka menjadi stempel kebijakan-kebijakan kesehatan pemerintah yang kontroversial.
“Contohnya wacana dokter umum yang dididik pembekalan beberapa bulan saja bisa melakukan operasi caesar. Ini kan ditolak, tapi Menkes membuat kolegium versinya. Kolegium baru ini yang menjadi stempel untuk kebijakan-kebijakan yang tidak masuk akal,” ucap Iqbal.
Merujuk UU Kesehatan Pasal 1 angka 26, kolegium adalah kumpulan ahli dari setiap disiplin ilmu Kesehatan yang mengampu cabang ilmu tersebut yang menjalankan tugas dan fungsi secara independen dan merupakan alat kelengkapan Konsil. Hal itu ditegaskan lagi di dalam Pasal 272 ayat (2) UU yang berbunyi: “Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat kelengkapan Konsil dan dalam menjalankan perannya bersifat independen.”
Sementara Konsil, adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara independen dalam rangka meningkatkan mutu praktik dan kompetensi teknis keprofesian tenaga medis dan tenaga kesehatan serta pelindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
Dalam UU Kesehatan, ditegaskan bahwa Konsil berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri dan dalam menjalankan perannya bersifat independen. Sebagaimana diatur dalam Pasal 268 ayat (2).
Tanda bergantinya kewenangan kolegium menjadi di bawah pemerintah juga amat terlihat dalam UU Kesehatan. Pasal 451 UU Kesehatan berbunyi: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan undang-undang ini.”
Lebih teknis dalam PP Nomor 28/2024 yang menjadi atzuran pelaksana UU Kesehatan, lebih ditegaskan kewenangan Menteri Kesehatan terhadap kolegium. Pada Pasal 707, termaktub bahwa apabila kolegium tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri, maka menteri bisa melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang. Kolegium juga harus berkoordinasi dengan Menteri dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri.

Pengamat kebijakan kesehatan sekaligus peneliti Griffith University, Dicky Budiman, menilai independensi kolegium merupakan unsur yang seharusnya dipertahankan. Jika berada di bawah pemerintah, akan ada kekhawatiran bahwa arah pengembangan profesi itu tidak lagi ditentukan oleh komunitas profesi kesehatan itu sendiri.
Bukan karena otoriter dan adu gengsi, kebijakan dan persoalan dalam cabang ilmu memang seharusnya dikuasai dan ditentukan oleh para ahli profesi. Dicky menilai, apabila kolegium dikendalikan langsung pemerintah, independensinya menjaga standar profesional dan etika akan terganggu.
“Akan terganggu karena ada kepentingan politik di situ, kepentingan pragmatis dan lain sebagainya. Kemudian peran organisasi profesi sebagai penjaga etik dan mutu ini sangat amat penting di seluruh dunia, asosiasi profesi itu bukan pemerintah,” ujar Dicky saat Tirto hubungi, Kamis (22/5).
Organisasi profesi, kata Dicky, dapat menjadi pengarah visi jangka panjang dari kompetensi kedokteran. Karena organisasi profesi paling memahami dinamika lapangan, perkembangan ilmu dan kebutuhan etik.
Jika visi kolegium hanya mengikuti agenda birokrasi jangka pendek, pragmatis, politis, dan sesuai kepentingan penguasa, maka kualitas dan kemajuan ilmu kedokteran justru menjadi stagnan.
“Dan kolegium yang dijalankan oleh profesi ini tetap sebetulnya dapat bermitra strategis dengan pemerintah. Namun ingat, kemitraan relasi ini harus bersifat simetris dan deliberatif, bukan subordinatif seperti saat ini,” kata Dicky.

Sementara itu, Dewan Pengawas DPP Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Mahesa Paranadipa Maikel, menjelaskan bahwa secara historis dan etik, kolegium menjadi representasi keilmuan profesi yang seharusnya dijalankan secara independen. Dijalankan dengan akuntabilitas terhadap masyarakat dan profesi, bukan birokrasi.
Ketika independensi ini bergeser, maka ada potensi arah pengembangan profesi kehilangan roh sebagai gerakan akademik dan etik. Alhasil, dikhawatirkan berubah sekadar pelaksana kebijakan administratif.
Menurut Mahesa, peran organisasi profesi dalam membina, mengembangkan, dan menjaga standar etik serta kompetensi profesinya merupakan satu paket yang tak terpisah dari fungsi kolegium.
“Maka idealnya, meski tetap bersinergi dengan negara, namun kolegium dikelola otonom dalam hal keilmuan,” kata dia kepada wartawan Tirto, Kamis (22/5).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































