tirto.id - Polemik mutasi sejumlah dokter anak yang juga sebagai bagian dari pengurus Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) semakin mengemuka setelah adanya audiensi bersama Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI pada Rabu (7/5/2025) kemarin.
Saling klaim Kemenkes dan IDAI juga menimbulkan pertanyaan besar terkait dengan alasan dilakukannya rotasi ini. Pemerintah menyebut hal ini adalah biasa dilakukan antara Aparatur Sipil Negara (ASN). Di sisi lain, IDAI menganggap hal ini karena pihaknya melakukan penentangan kolegium.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim B. Yanuarso, menilai keberadaan kolegium Kemenkes telah melenceng dari amanah organisasi profesi. Dia juga khawatir bahwa kolegium yang tak independen bakal berdampak pada dokter yang dihasilkan di kemudian hari.
“Jadi dampaknya adalah standar itu kemudian bisa dipermainkan. Harusnya kan gini. Biarkan kolegium itu mandiri nanti kerjasama dengan Kemenkes,” ujar dr Piprim kepada Tirto.
Dalam Wawancara Khusus bersama Tirto, dr Piprim menceritakan mengenai bagaimana dirinya mengalami mutasi sepihak oleh Kementerian Kesehatan. Ia juga memberikan penjelasan terkait kolegium yang ada di dunia kedokteran.
Berikut petikan wawancara Tirto dengan dr Piprim, di Kantor IDAI, Jumat, 9 Mei 2025.

Bagaimana latar belakang IDAI dan keterkaitannya dengan Kolegium?
Jadi IDAI ini kan satu organisasi profesi yang sudah usianya 71 tahun ya, jadi sudah tua, sudah sangat matang dalam berorganisasi. Para pendahulu kita itu sudah mewariskan basic (dasar) organisasi ini dengan sangat baik. Misalkan saja tentang bagaimana IDAI itu dibagi menjadi satu cabang, satu provinsi. Ini menurut saya sangat baik koordinasinya sehingga kita gampang koordinasi itu.
Nah, sekarang ini kita punya 34 cabang di 34 provinsi. Provinsi baru tentu saja belum ya, karena kan baru juga mekar. Pembuatan cabang baru itu disahkan di Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak atau KONIKA. KONIKA terakhir itu di Semarang bulan Oktober dan itu adalah lembaga tertinggi. Jadi pembentukan cabang baru itu disahkan di Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak, satu badan atau institusi tertinggi dalam organisasi IDAI.
Jadi keputusan Kongres itu mengikat para pengurusnya. Nanti ada keputusan Kongres, misalkan untuk yang periode 2004-2027 itu Ketua Pengurus Pusatnya adalah saya, dan Ketua Pengurus Nasional Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia itu Prof. Aryono Hendarto.
Jadi IDAI itu ada dua badan yang saling berdiri sejajar dan berbeda fungsi, Pengurus Pusat dan Pengurus Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia. Pengurus Pusat mengurusi profesinya, jadi yang udah jadi dokter anak kita urus profesinya. Kalau yang Kolegium itu dapurnya, dia yang menyiapkan standar, kurikulum, kompetensi itu Kolegium Ilmu Kesehatan Anak.
Kita selalu bilang begini, Pengurus Pusat IDAI dengan Pengurus Kolegium itu bagaikan dua mata uang yang saling terikat. Yang satu menghadap sana, urusan profesi, yang satu menghadap sini, urusan dapurnya. Jadi ketika ada yang ingin merebut Kolegium itu dari IDAI, tentu yang satunya akan limbung kalau kita nggak punya sisi mata uang yang satu.
Sekarang saya cerita pengurus Pusat. Pengurus Pusat itu membawahi ada 14 unit koordinasi kerja. Ini adalah badan pelengkap pengurus Pusat IDAI yang ngurusi seksi ilmiahnya, yang mengurus organisasi profesi dokter anaknya yang di level subspesialisnya. Kalau saya misalkan subspesialisnya jantung gitu ya, nanti ada yang nefrologi, atau ginjal, ada respirologi ya, kemudian ada macam-macam.
Keempat belas UKK, yang merupakan badan pelengkap pengurus Pusat IDAI ini mem-backup IDAI dari sisi untuk keilmuannya. Contoh, misalkan kalau kita ada isu, ini kenapa sih kok anak tiba-tiba gagal ginjal akut, 2 hari meninggal, misalkan. Nah itu kita merapatkan antara UKK nefrologi atau ginjal, sama UKK misalkan ETIA atau Emergensi dan Terapi Insentif Anak itu ya. Karena di ICU anaknya 2 hari tiba-tiba kok meninggal? Nah, itu nanti dirumuskan apa masalahnya, dan seterusnya lah kira-kira. Jadi UKK itu mengurusi dapur ilmiahnya dari IDAI.
Bagaimana konektivitas antara pengurus pusat sama kolegium? Jadi pengurus pusat itu ada ketua 1 bidang organisasi, ketua 2 bidang ilmiah, ketua 3 bidang kesejahteraan atau hubungan masyarakat. Ketua 2 IDAI itu anggota ex official dari kolegium Ilmu Kesetaraan Indonesia. Dari situlah kita menyambungkan antara kolegium dengan pengurus pusat. Selain itu, UKK itu juga menjadi bagian tim ilmiah dari kolegium, Ilmu Kesetaraan Indonesia.
Nah kita punya 1 UKK itu anggotanya adalah spesialnya UKK Jantung itu punya 70 pakar konsultan jantung anak. Itu semua solid di bawah Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Bagaimana awal mula mutasi itu terjadi?
Baik, jadi mutasi yang dialami sebetulnya begini ya, ini adalah 1 rangkaian mutasi yang menimpa 4 pengurus IDAI. Yang mutasi pertama itu adalah mutasi yang dialami oleh dokter Fitri Hartanto, dan sekaligus juga dokter Hikari Ambara Sjakti. Itu di sekitar bulan Desember, awal Desember 2024.
Nah, jadi kalau kita lihat rangkaiannya, Oktober kan kita kongres. Jadi di kongres nasional itu, pada saat pemilihan ketua kolegium, itu bersamaan dengan harus masuk nama-nama kolegium versi Kemenkes. Jadi IDAI itu tadinya kita tidak akan mengirimkan nama, karena kita konsisten dengan kongres kita. Kongres kita itu kan ada dalam anggaran dasar, anggaran rumah tangga IDAI. IDAI itu berbadan hukum resmi, disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Jadi lembaga tertinggi dalam organisasi kami itu adalah KONIKA. KONIKA itu mengamanahkan bahwa kolegium ilmu kesehatan itu tetap berada di bawah naungan organisasi besar IDAI. Jadi tetap ada pengurus pusat, ada kolegiumnya.
Jadi saya itu sebetulnya mempertahankan independensi kolegium itu berdasarkan amanah kongres. Bukan maunya saya sendiri. Saya itu melaksanakan amanah organisasi. Sehingga pada saat Menteri Kesehatan itu bikin kolegium versi Kemenkes, itu kan aneh ya. Dia bikin voting secara massal. Jadi kayak kita menyebutnya kolegium idol. Karena yang milih itu awam, semua dokter anak boleh milih. Kan milih ketua kolegium yang sangat paham kepakarannya, sangat mendalam. Bukan hanya pakar dari sisi subspesial, dia harus pakar pendidikan. Itu nggak banyak yang bisa kayak gitu. Dan di antara mereka lah di dalam kongres itu melakukan pemilihan. Dan terpilihlah Profesor Aryono Hendarto.
Jadi Menkes kemudian bikin mekanisme pemilihan versinya dia yaitu voting terbuka, diurut berapa nama, nanti yang paling banyak itu yang dipilih. Nah karena kita sedang kongres, partisipasi yang memilih di voting-nya Kemenkes itu sedikit sekali. Dari 5.400 dokter anak itu cuma (sekitar) berapalah, saya enggak ikut ya. Nah dari pemilihan yang sedikit itulah kemudian ditunjuk oleh Menkes. Jadi Menkes itu menunjuk ketua kolegiumnya.
Yang lucu, misalnya kolegium POGI misalkan. POGI itu yang sekarang jadi ketua kolegiumnya tidak pernah ikut mekanisme voting pada saat itu. Jadi dia tidak ikut tuh mekanisme voting tiba-tiba ditunjuk gitu aja.
Sekarang gini, jadi Pak Menkes ini cherry picking. Siapa yang taat dan patuh membuta ke dia, dia akan angkat. Walaupun secara standar keilmuan dia di bawah standar yang seharusnya. Jadi dia milih namanya kolegium kesehatan anak versinya Menkes yang dipilih oleh orang-orangnya yang dipilih dari Menkes lah. Kalau kita kan KIKAI, kolegium ilmu kesehatan anak Indonesia. Kalau di sana kolegium kesehatan anak, nggak pakai ilmu.
Kolegium Menkes itu, dia asal comot. Ada beberapa guru besar udah menolak tetap dimasukkan. Ada yang dari Sumatera, ada yang dari Jawa Barat, itu tidak merasa bersedia, tiba-tiba namanya dicantumkan. Jadi pemilihan anggota kolegium Menkes ini juga asal comot. Ada yang kemudian dipaksa. Direktur utamanya maksa supaya dia ikut jadi anggota kolegium Menkes ini.

Apa dampaknya jika kolegium dilakukan semacam itu?
Mereka tidak punya akar. Mereka mencopot berapa lah pengurusnya, katakanlah sekarang misalkan 20 orang ya. 20 orang ini tidak berakar di kelompok subspesialis. Kalau IDAI itu kan saya bilang udah punya 14 UKK dengan misalkan 1 UKK anggotanya 70 pakar.
Misalnya bidang jantung ya, mereka comot 2, 2 yang masih muda-muda, yang baru lulus kemarin, dicomot 2. Nah tiba-tiba ditugaskan sama kolegiumnya ‘Tolong bikinkan modul fellowship’. Karena kepakarannya kurang cukup, akibatnya dia minta (tolong) ke kita juga. Lah kan kami udah punya kolegium sendiri. Kita pikir kalau Anda memang bikin kolegium, ya kerjakan sendiri. Nah di sini konfliknya. Si ketua kolegium ini merasa dia punya kewenangan ditunjuk oleh Menkes walaupun si peraturan Menkes itu menurut kami, dia melanggar Undang-Undang 17 itu. Undang-Undang 17 nomor 23 itu kolegium adalah dibentuk oleh kelompok disipin ilmu.
Jadi ini enggak bisa ngapa-ngapain dia karena si kolegium yang itu juga asal comot segala macam itu, dia nggak punya akar ke kelompok keilmuan yang ada di bawah IDAI. Di sinilah kemudian dia bikin permintaan, ayo kerjasama. (Tapi) kita karena merasa bahwa dari awal ini sudah bermasalah secara perundangan, dan ini sedang PTUN, kami bilang tunggu PTUN-nya aja dulu, keputusannya seperti apa. Tapi kita punya kolegium berdasarkan amanah Kongres kami. Kamu kan berdasarkan Menkes, yaudah kerjakan sendiri.
Kan susah dong 20 orang ini nggak punya akar di organisasi induknya, bagaimana kira-kira produknya gitu. Bahkan sekedar bikin soal untuk evaluasi nasional, itu juga kesulitan karena ini masih muda nih. Karena yang asal-asal comot itu kalau nggak mau, ditelepon 1 jam untuk dipaksa, (saya tau itu) izin dulu sama saya.
Nah sekarang ini banyak yang kemudian ada guru besar, pokoknya saya sebenarnya enggak mau. Saya asal comot aja, itu nama saya. Itu lho, kemelutnya itu di situ. Jadi karena mereka itu katanya punya kewenangan, tapi nggak bisa ngapa-ngapain, jadi jengkel banget sama IDAI.
Disebut karena kolegium. Lalu kenapa IDAI ini sampai berpikir bahwa mutasi itu terjadi karena alasan kolegium?
Jadi gini, dalam perjalanan antara Oktober yang habis KONIKA itu sampai November, itu kita kan ada grup WhatsApp. Salah satu tokoh yang sangat vokal menentang kolegium kesehatan buatan Menteri Kesehatan itu adalah dokter Fitri. Jadi Dokter Fitri itu vokal, ini kalau kayak gini mesti ada sanksi organisasi kepada si Ketua KKA (Kolegium Kesehatan Anak).
Karena amanahnya dalam Kongres itu adalah IDAI tidak mengirimkan calon karena cara voting ini bermasalah. Itu dibahas dalam sidang organisasi kita cara voting Menkes itu bermasalah, karena pemilihan kolegium itu enggak kayak gitu. Kita ingin menjaga independensi, tapi ini orang nekat, akhirnya dipilih jadi Ketua KKA oleh menkes.
Fitri tuh bilang gini, orang itu harus disanksi oleh IDAI. (bilang ke saya) ‘Dok, menurut saya, orang ini harus disanksi oleh IDAI karena dia udah pelanggaran berat aturan organisasi. Kita suruh jangan ngirim, dia mengajukan diri. Ini pelanggaran berat’. Yang mengaminkan postingan Fitri itu Hikari.
Pada waktu itu saya menanggapinya (bahwa) memproses orang itu nggak bisa kayak gitu aja. Kita mesti bentuk tim. Nah pada saat itulah kemudian keluar mutasi itu. Mutasi yang apa namanya? Mutasi yang ajaib menurut saya. Jadi itu mekanisme sama. Tiba-tiba keluar surat mutasi, kemudian suruh pindah cepat. Akun mereka itu di blokir di rumah sakit asal.
Yang menarik kan dokter Fitri itu, satu-satunya konsultan tubuh kembang di RS Karyadi. Alasannya pemerataan layanan dipindahkan ke Sardjito. Di Sardjito udah ada tiga konsultan tubuh kembang. Jadi pada saat kemarin di DPR ditanya, apa manfaat RS Sardjito? Saya (Fitri) enggak bisa menyebutkan manfaatnya apa sih di sana. Yang jelas di RS Karyadi sangat dirugikan.
Bagaimana cerita dimutasinya?
Nah sebelum bulan puasa, itu saya dipanggil oleh salah seorang guru besar. Dia bilang begini, Prim, saya dapet info gitu ya 'kamu kalau enggak mau kooperatif, bantuin kolegium Menkes, kamu bakal dimutasi loh'.
Waktu Hikari sama Fitri itu dimutasi enggak kayak gitu. Saya tawarkan, ini mau diributin nggak? Karena mutasi kamu itu nggak prosedural. Kata Hikari, mas saya dipesan sama senior 'jangan ribut dulu katanya, jangan ke medsos. Nanti akan diselesaikan secara kekeluargaan' Fitri juga sama, 'dok, mohon maaf ya dok. Itu yang nolak-nolak mutasi nanti akan dipanggil lalu diancam STR-nya dibekukan, SIP-nya dicabut. Jadi saya enggak mau itu terjadi dong 'saya bilang mutasi aja akhirnya dimutasi'.
Cerita mutasi itu, Jumat, tanggal 25 April ya pada saat saya sedang ngurus visa di Meksiko, karena saya mau berangkat ke Meksiko nih. Untuk ikut Kongres. Itu habis wawancara di approve visanya saya ditelpon sama salah satu senior.
‘Prim, lo tau nggak? Kamu dimutasi ke Fatmawati loh' 'Oh iya? Udah keluar ancamannya? Ya udah’ Dikirim screenshot selembar itu aja.
Kemudian, dr Rizky kan bikin testimoni apa ruginya kalau dr. Piprim dimutasi ke Fatmawati. Itu sepertinya itu sangat iritatif gitu ya ke pihak Kementerian Kesehatan. Terus dibalas lah ini, lalu dr. Rizky juga membalas dia bikin podcast.
Saya waktu itu memang sedang sibuk mengurusi peringatan imunisasi dunia di Baduy luar. Jadi pada saat itu saya nggak tau dunia luar, karena di Baduy Dalam itu, saya menginap di situ nggak ada sinyal. Podcast-nya Rizky segala, saya nggak tau.
Tiba-tiba aja ternyata abis podcast itu segala macam Rizky itu, Rabu itu yang saya masih di sana itu dipanggil oleh sana rumah sakit Adam Malik kemudian dia disuruh mundur.
Nah, kemudian udahlah ya saya bilang di grup staff saya itu, saya pokoknya nggak mau mutasi. Karena apa? Karena mutasi ini unprocedural, penuh intimidatif.
Yang dimutasi itu apalagi setelah Rizky dipecat itu ya, di Jumat itu. Jadi saya bilang, coba bagaimana kita bilang mutasi ini hal biasa? Yang dimutasi itu Sekjen, Ketua IDAI Jawa Tengah, dr. Fitri itu, Ketua UKK Tumbuh Kembang, Ketua IDAI Sumut, dan Ketua Umum.
Bagaimana kita tidak melihat ini sebuah pola, bagaimana ini bukan sebuah pola yang terbaca dengan sangat gamblang, Bahwa ini adalah sebuah pembungkaman terhadap kritisnya organisasi profesi terkait masalah kolegium.
Ini bukan masalah personal, saya itu enggak masalah kalau sekedar pindah ke Fatmawati itu nggak masalah. Dekat di sana juga, di sana dekat, fasilitasnya bagus, saya nggak masalah ke sana itu. Sama sekali bukan masalah tugasnya, bukan. Tapi karena ini merupakan sebuah intimidasi terhadap organisasi profesi, ini yang saya lawan.
Itu unprocedural. Intimidasi. Sehingga sikap saya adalah saya bukan nggak mau tugas di Fatmawati, saya itu tugas di rumah sakit Al-Fatah, Ambon yang kondisinya juga sederhana enggak masalah. Saya harus tugas di rumah sakit Hilisimetano, Nias, Selatan itu nggak ada apa-apa juga, enggak masalah saya tugas. Kemudian saya tim bantuan gempa, bagaimana saya tidur di tenda 2 bulan di Iran itu. Terus di Cina, saya tidur di tenda kayak gitu.
Saya mendengar desas-desus bahwa saya akan dimutasi. Karena saya tidak kooperatif. Itu sejak sebelum bulan puasa. Karena dianggap tidak kooperatif dengan kolegium buatan Menkes. Karena di IDAI itu kan memang kuat. Ini kuat gitu.
Ini pas Jum'atnya 25 April. 25 April kan saya tau di telpon temen tadi kan. Senin itu orang udah pada heboh. Terus saya bilang gini, pokoknya saya tidak mau mutasi ya. Saya tidak mau mutasi. Mutasi atau keluar gitu.
Apa alasannya gitu kan? Jadi kan alasannya katanya disana mau pensiun, ternyata enggak pensiun. Nah satu lagi mutasi seorang dokter, pakar. Itu harus juga dilihat bahwa ini ASN biasa atau ASN yang punya fungsi mendidik calon konsultan. Saya itu dosen pendidik klinis. Jadi selain saya melayani pasien. Sekaligus dalam pelayanan saya itu juga ada proses pendidikan calon konsultan jantung anak.
Katanya ingin mencetak dokter jantung anak yang banyak. Tapi sekolah produksi jantung anaknya itu terganggu dengan dicabutnya saya ke sana. Karena saya termasuk konsultan yang senior, dua junior di bawah saya itu jauh jarak dari saya. Ya kalau saya dicabut itu otomatis terganggu. Karena yang dua itu juga masih lama lah ya untuk kemudian jadi matang.
Dan konsultan jantung anak itu beda dengan konsultan lain, konsultan lain ada yang sekedar ilmu ya, kalau kita itu skill. Maksudnya nggak cepet orang itu bisa kayak gitu gitu ya.
Jadi bukan masalah saya menolak. Iya Fatmawati itu oke kok bagus rumah sakitnya canggih, bukan masalah itunya. Masalah saya ingin melawan kedzaliman Pak BGS ini. Karena kekritisan saya. Karena isunya itu memang sudah lama saya dengar. Dari orang yang mendengar langsung dari dirjen itu. Kamu kalau nggak kooperatif bakal dimutasi gitu. Itu saya ambil sikap bahwa ya udah mutasi aja. Saya pengen tahu, bener nggak dimutasi, ternyata dimutasi beneran.

Kolegium di tangan independen dan Kementerian Kesehatan, apa dampaknya bagi masyarakat?
Jadi dampaknya adalah standar itu kemudian bisa dipermainkan. Harusnya kan gini. Biarkan kolegium itu mandiri nanti kerjasama dengan Kemenkes. Apa sih maunya? Ayo kita organisasi, kita itu equal. Secara kelembagaan mitra, kemitraan bukan subordinat. Kalau subordinat bahayanya adalah kita dipaksa melahirkan dokter anak atau konsultan itu yang substandar. Padahal standar kolegium itu berlaku internasional.
Saya paham karena beliau itu bukan dokter ya. Jadi kayak misalkan ini yang saya bikin saya sakit hati (soal komentar) stetoskop itu gak ilmiah. Komentar stetoskop tidak ilmiah ini sangat menyakiti kami sebagai dokter. Bagi kami dokter jantung anak. Stetoskop itu alat bantu yang luar biasa dengan jenis bisingnya. Kita bisa tahu ini kemungkinannya ada bocor jantung tipe ini. Lokasi bising di sini sama di sana beda. Penjalanannya ke ketiak. Atau penjalanan ke sekitar ini beda. Karena beliau bukan dokter. Jadi ngomong sembarangan, asal ucap aja.
Buat kami para konsultan jantung anak stetoskop itu alat yang sangat berguna bagi kami. Buat dokter anak sangat berguna untuk deteksi awal. Bagaimana bisa dibilang tidak ilmiah. Kalau diserahkan ke AI. Kan AI gak semua punya AI. Pelosok-pelosok yang punya AI kan gak punya. Jadi keterampilan skill itu guru-guru saya bisa menangis loh dibilang stetoskop gak penting.
Kalau dipertemukan dengan Kemenkes apa yang akan dibahas?
Itu sedang kita bicarakan. Sedang kita diskusikan. Apa kira-kira yang akan dibicarakan. Tapi yang jelas bahwa. Ini bukan masalah personal. Bahwa mutasi saya tuh, saya katakan bahwa saya tuh siap mau dimutasi ke mana pun selama prosedurnya sesuai aturan. Jadi kalau ke Fatmawati kenapa engga gitu loh, tapi yang saya tentang bukan masalah kemananya tapi masalah dibalik mutasi ini ada apanya.
Sebelumnya pernah ada ajakan dialog dengan Kemenkes?
Saya itu kan sedang menghadapi ujian promosi dokter saya ya, S3 saya. Itu diganggu dengan masalah ini. Pada saat kemarin itu saya dikejar-kejar harus selesaikan disertasi revisi itu. Sehingga saya ga bisa ikut jadwalnya dirjen. Terus selasa ya, selasa itu saya udah janjian sama beberapa temen mau ke dirjen itu, tiba-tiba ibu saya sakit. Karena saya cuti akhirnya, cuti nemenin ibu. Nah pas ibu saya udah stabil ada undangan dari BAM itu yaudah saya ke BAM itu. Itu dalam rangka saya cuti nemenin ibu.
Masalah ini buat Kemenkes dan IDAI seperti merenggang, yang diharapkan seperti apa?
Komunikasi. Kan dia bilang pemilihan ketua kolegium tuh demokratis. Gitu kan dia bilang. Demokratis. Dari voting tuh tiga terbanyak dipilih, yang milih siapa? Menkes kan, bukan peer group keilmuan. Padahal amanat undang-undangnya. Kolegium adalah dibentuk oleh kelompok disiplin ilmu.
Biarkan kelompok disiplin ilmu itu yang memilih gitu. Itu pun bukan kelompok disiplin ilmu. Itu voting terbuka, kita enggak tau siapa yang milih. Namanya kelompok disiplin ilmu itu memang orang-orang yang memang menguasai disitu. Dia saling memilih di antara mereka. Bahkan kalo perlu ga usah ada pemilihan. Ditunjuk aja disepakati, ini loh yang paling pakar di antara kita.
Ini voting terbuka kayak gini. Menyalahi undang-undang, (karena) bukan termasuk kelompok disiplin ilmu, satu. Yang kedua keputusan akhir itu ada di tangan Menkes, dia pseudo-demokratis. Seperti demokratis tapi sebetulnya ini adalah yang milih juga Menkes sendiri.
IDAI sendiri ada nggak usulan regulasi atau mungkin tentang kolegium gitu ya, yang diusulkan kepada Menkes untuk ke depannya?
Baik. Biarkan koligium itu tetap independen, kami janji kami itu bukan musuh pemerintah. Kami itu mitra strategis bagi pemerintah. Tapi posisi itu kita mitra bukan subordinat. Karena ketika kelompok ilmiah itu ada di bawah politisi nanti kepentingan-kepentingan di luar akademik ilmiah yang akan bisa mendominasi.
Sekarang semua kewenangan itu diambil Menkes kan, termasuk organisasi profesi kan dulu ada menyeleksi ini rekomendasi IDI (Ikatan Dokter Indonesia) ada misalnya, sekarang kan ga ada. Mungkin ga ada dokter gadungan yang kemudian dapet STR? Mungkin. Karena itu ga melibatkan lagi organisasi profesi.
Jadi organisasi profesi itu janganlah disiasiakan karena itu berguna untuk merawat para tenaga kesehatan dan menyelidiki latar belakang, mereka yang paling tau. Kalau organisasi profesi dibully, dihabisi nanti siapa yang merawat menjaga kekompakan dokter-dokter itu? Siapa yang memperhatikan pendidikan mereka, keilmuan mereka? Kalau bukan organisasi profesi.
Dengan didzaliminya organisasi profesi nanti kemana dokter-dokter itu berlindung? Kalau IDAI dihabisi, gimana kita mau cepat respon terhadap permintaan Kemenkes? Jadi di level eselon 2, 3 ke bawah itu mereka sangat aktif, komunikatif dengan kami. Ini banyak banget permintaan narasumber. Jadi kita itu mitra strategis kementerian kesehatan. Tolonglah dihargai kami.
Pesan kepada dokter yang mendukung?
Jadi mungkin saya kira buat teman-teman dokter di mana saja berada, nuansa intimidatif, nuansa hidup penuh ketakutan, ketidakpastian, menurut saya masih segera di akhir. Dan kita berani speak up. Karena negara kita itu negara demokrasi, bukan negara otoriter. Kalau Menkes itu berlagu otoriter, itu kemudian akan kontraproduktif. Ini banyak kontraproduktifnya.
Mau mencetak dokter jantung anak yang banyak, tiba-tiba dimutasi. Jadi kan melemahkan gitu ya. Jadi menurut saya, ayo sama-sama kita bangun budaya untuk dialog yang setara. Jadi kan, organisasi profesi itu sebagai mitra, mitra strategis yang membantu.
Kita itu nggak mungkin memusuhi kementerian kesehatan. Nggak mungkin. Dokter itu udah biasa berbuat baik sama pasien. Dokter itu udah biasa memikirkan kepentingan pasiennya. Saya rela kayak gini nih, di-bully sama Menkes, segala macam itu, karena saya berpikir, kalau kolegium itu kemudian tidak lagi independen, yang rugi masyarakat luas. Kalau dokter itu menjadi substandar, yang ngerugi itu masyarakat luas.
Menurut saya, Menkes harusnya memanggil, katakan ada kolegium ini, kolegium ini berseteru. Panggil, ayo, negara ini butuh ini loh. Butuh ini loh. Dia wasitnya. Yang kemudian dia jadi pelakunya, dia tuh wasit. Ada anak-anaknya, kan ini anak-anaknya nih, dia bapaknya. Anak-anaknya berantem. Ayo panggil.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































