tirto.id - DPR resmi menetapkan Kapolda Sumatera Selatan Irjen Pol Firli Bahuri sebagai Ketua KPK jilid V, Jumat (13/9/2019) dini hari. Ia memperoleh suara bulat 56 anggota Komisi III DPR yang melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap 10 capim KPK yang diserahkan Presiden Jokowi ke DPR.
Pemilihan Firli sebagai pimpinan KPK tentu saja menuai kritik. Sebab, koalisi masyarakat sipil sudah berkali-kali mengingatkan soal minimnya integritas Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
Terakhir, tepat sehari sebelum Firli menjalani uji kelayakan di Komisi III DPR, para pekerja komisi antirasuah, lewat penasihat KPK M. Tsani dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang merilis "laporan dugaan pelanggaran etik" Firli ketika bertugas di komisi pemberantasan korupsi itu.
Dalam laporan itu, Firli dinyatakan setidaknya melanggar tiga hal: pertama, bertemu pihak yang diduga berkaitan dengan perkara yang ditangani KPK, yaitu Tuan Guru Bajang (TGB). Sebab, mantan Gubernur NTB itu diduga berkaitan dengan penyelidikan divestasi Newmont; kedua masalah pertemuan Firli dengan Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar yang saat itu menjadi saksi perkara dana perimbangan; dan ketiga dugaan pelanggaran etik berat karena bertemu dengan ketua umum partai serta penegak hukum. KPK pun menyatakan kalau pertemuan tersebut tidak berkaitan dengan tugas Firli.
"Pertemuan-pertemuan tersebut tidak ada hubungannya dengan tugas F sebagai Deputi Penindakan KPK. Sebagai Deputi Penindakan KPK, F juga tidak pernah meminta izin melakukan pertemuan dengan pihak yang terkait perkara ataupun pihak yang memiliki risiko independensi dan tidak melaporkan seluruh pertemuan-pertemuan tersebut kepada pimpinan KPK," kata Tsani.
KPK menyatakan kalau mereka sudah memeriksa ahli etik dan meminta pandangan mantan hakim Artidjo Alkostar. Dari pemeriksaan tersebut, kata Tsani, hasil etik KPK terhadap Firli masuk kategori dugaan pelanggaran etik.
"Perlu kami sampaikan hasil pengawasan Deputi Pengawasan Internal adalah terdapat dugaan pelanggaran berat," kata Saut Situmorang dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Namun, DPR justru berpandangan berbeda. Pemilihan Firli sebagai pimpinan sekaligus ketua KPK karena penilaian secara benar. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu bahkan menyebut tidak ada lobi-lobi politik terkait terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023, termasuk empat pimpinan KPK terpilih lainnya.
"Terkait Firli, juga enggak ada lobi-lobi, enggak ada. Jadi gini, di Komisi III ini kami membaca perkembangan dari mulai proses di Pansel sampai fit and proper test ini," ujar Masinton kepada Wartawan, Jumat (13/9/2019).
Masinton malah menyebut Firli ditolak hanya karena masalah integritas dan etik, tetapi tidak diikuti bukti tertulis. Politikus PDIP ini malah menuding pimpinan KPK membunuh karakter Firli saat Komisi III DPR menggelar uji kelayakan dan kepatutan capim KPK. Ia mengatakan Komisi Hukum DPR melihat Firli diperlakukan sewenang-wenang dan dizalimi.
"Anggota Komisi III kemudian merasa ada dan berkesimpulan ini memang dibunuh karakternya saudara Firli ini secara sistematis," kata dia.
Bila dilihat dalam proses seleksi, DPR memang menanyakan masalah pelanggaran etik Firli, bahkan sampai menunjukkan ada surat pemberitahuan masalah Firli di KPK. Firli pun mengawali jawaban dengan pemilihan kata yang sangat meyakinkan tentang alasan tidak mau menjawab ke publik masalah pelanggaran etik.
"Jauh sebelumnya saya memang memilih diam. Kenapa memilih diam? karena saya menganggap bahwa tidak saatnya saya berbicara karena saya adalah salah satu calon pimpinan, tetapi saya memilih bukan berarti diam itu salah atau kalah, tetapi sebelum saya berdamai dengan pihak lain tentu saja harus berdamai dengan diri saya sendiri," kata Firli saat seleksi, Kamis (12/9/2019).
Firli pun mengklarifikasi isu-isu yang dilempar KPK dan publik tentang dugaan pelanggaran etik, yakni dari masalah pertemuan TGB, pertemuan dengan Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar saat menjadi saksi, hingga mengklarifikasi pertemuan dengan ketua umum partai. Firli pun sempat menyinggung soal kisah memperoleh 600 tiket Westlife gratis. Beberapa jawaban mengenai etik pun cukup meyakinkan.
Sebut saja kisah pertemuannya dengan TGB. Ia berdalih kalau TGB mendatanginya secara dadakan setelah bermain tenis sehingga tidak bisa dihindari. Kemudian, sehari sebelumnya, Firli berdalih pertemuan dengan TGB tidak bisa dihindari karena dijemput untuk datang ke sebuah ponpes besar di NTB.
"Tanggal 12 saya turun dari pesawat dijemput pak, saya tidak mungkin menghindar. Apakah apa salah menghadiri kegiatan ponpes? Justru mungkin kalau saya tidak hadir, saya justru melanggar etika," klaim Firli di saat seleksi.
Firli pun tidak tanggung dalam membela diri. Jenderal bintang dua ini menyinggung Pasal 36 sebagai dasar dirinya tidak melanggar etik. Firli pun mengklaim kasus divestasi Newmount tetap berjalan dengan dalih masih menunggu hasil audit.
Kemudian, pada saat menjemput Bahrullah yang hendak diperiksa, Firli berdalih kalau info kedatangan pimpinan BPK harus disambut karena mitra kerja. Firli pun mengklaim kalau pintu ruangan dibuka agar pembicaraannya didengar staf lain. Firli pun menyinggung nama I Nyoman Wara, auditor BPK yang juga menjadi Capim KPK.
Kemudian, dalam kasus pertemuan dengan pimpinan partai politik, Firli berdalih kalau dirinya diundang oleh Wakabareskrim Irjen Antam Novambar. Ia pun menyebut kalau pertemuan tidak disengaja.
"Saya diundang oleh kawan saya, kebetulan dia adalah Wakabareskrim. Saya hadir di situ kebetulan ketua parpol [Megawati] itu hadir dan beliau kenal individu saya karena almarhum suami beliau selalu intim dengan saya sejak saya pangkat letnan satu," kata Firli.
Bagian Sandiwara Pelemahan KPK
Dosen politik dari Universitas Jember M. Iqbal memandang ujaran Firli sebagai upaya membangun citra mantan Kapolda NTB itu sebagai pemimpin bersih dan layak jadi pimpinan KPK. Namun, Iqbal pesimistis citra tersebut luntur karena bukti pelanggaran etik sudah diketahui publik.
"Keterangan Firli kemarin itu saya kira secara komunikasi politik jelas apa yang dilakukan Firli itu hanyalah menjadi formalitas discourse atau formalitas wacana saja. Bahwa dia memang bersih, bahwa dia memang tidak terbukti semua tuduhan itu padahal dia lupa yang dilakukan itu memang betul-betul terjadi dan itu bukan rekayasa bukan hoax," kata Iqbal kepada reporter Tirto, Jumat kemarin.
Iqbal menilai Firli tengah berusaha menjadi playing victim dalam isu etik. Namun, upaya playing victim tidak akan berpengaruh karena ada skenario lebih besar daripada upaya playing victim itu.
"Itu kan playing victim semacam itu yang membuat adalah ya dari Firli sendiri, diamini saja oleh ahli politik," kata Iqbal.
"Saya kira itu juga enggak akan berpengaruh. Itu cuma pernak-pernik saja sebetulnya. Yang justru mendasar adalah dari awal sudah dikantongi itu 5 nama. Dari awal sehingga semua proses yang ada dan terjadi boleh disimpulkan sebagai formalitas belaka," lanjut Iqbal.
Pernyataan Iqbal bukan tanpa bukti. Ia melihat dari proses seleksi via Pansel Capim KPK yang terus memuluskan Firli menjadi pimpinan KPK. Kemudian, pada proses uji kelayakan, para anggota DPR justru menggiring agar para Calon Pimpinan KPK mendukung Revisi UU KPK padahal poin-poin revisi melemahkan komisi antirasuah.
Masukan masyarakat, baik pegiat antikorupsi sampai akademisi, kata Iqbal, tidak digubris oleh DPR maupun pemerintah. Publik pun sudah bersuara agar revisi tidak dilakukan, tetapi tetap dijalankan oleh eksekutif dan legislatif.
Iqbal menduga, skenario pelemahan KPK dilakukan menyasar pimpinan dan landasan konstitusi, yakni mengubah UU KPK. Skenario pelemahan pun "diamini" oleh seluruh panitia agar nama partai mereka tidak tercoreng dan tidak ada lagi elite partai yang tertangkap.
Sebab, KPK selama ini sudah tergolong sukses dengan mengungkap koruptor dalam jumlah besar. Situasi tersebut membuat partai melakukan berbagai upaya melemahkan KPK, termasuk dengan mencari pemimpin KPK yang nurut dengan partai dan negara.
"Problem mendasar jelas korupsi marak, maka dari itu harus diberantas. Masalahnya mereka enggak kepingin itu terkena ke ketua umum mereka, elite-elite partai mereka, maka gimana caranya? ya udah bikin Komisioner KPK yang relatif lunak dan tawadu, takzim yang dipilih mereka dan konstitusinya diperlemah dan terbukti," kata Iqbal.
Sanksi Moral dan Mencoreng Institusi
Meski sudah terungkap ke publik, aksi KPK dan klarifikasi Firli tidak akan berdampak untuk penegakan etik. Ahli pidana Unsoed Hibnu Nugroho mengatakan, wacana yang muncul hanya akan memberikan sanksi moral kepada Firli. Dengan terpilihnya mantan Deputi Penindakan KPK sebagai pimpinan justru membuat masalah baru.
“Harusnya sejak awal dan ini diabaikan semua, pansel mengabaikan, semua mengabaikan, ya sanksi moral, artinya ada satu masalah tapi tidak terselesaikan. Ya namanya orang diperiksa pasti enggak ngaku. Harusnya saat dulu klarifikasi,” kata Hibnu kepada reporter Tirto, Jumat.
Hibnu mengatakan, pelanggar aturan etik tidak bisa dikenakan pada pidana karena sanksi etik hanya fokus etik semata.
Sebagai informasi, Pasal 36 UU KPK dikenakan pada pimpinan sementara Pasal 37 UU KPK mengarah kepada seluruh pegawai KPK. Kedua pasal ini diturunkan dengan aturan teknis Kode Etik Pegawai KPK, PP Nomor 63 tahun 2015 tentang Sistem Manajemen SDM KPK dan Peraturan KPK Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK.
Dalam Pasal 4 Peraturan KPK Nomor 10 tahun 2016 memuat kewajiban mematuhi kode etik pegawai, harus loyal kepada KPK tanpa melihat kepentingan pribadi atau golongan, dan menolak seluruh gratifikasi yang berkaitan jabatannya.
Sementara itu, pada Pasal 5 menyatakan dilarang menerima tamu di kantor, mengajak keluarga atau pihak terkait ikut perjalanan dinas, dan mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan terperiksa/tersangka/terdakwa/terpidana atau pihak lainnya yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang diketahui perkaranya sedang ditangani oleh KPK, kecuali dalam rangka melaksanakan tugas dan atas sepengetahuan pimpinan/atasan.
Pelanggaran etik pun tetap bisa diproses dalam kurun waktu dua tahun apabila pelaku dianggap melakukan pelanggaran etik berat.
Hibnu mengaku tidak tahu apakah pelanggaran etik Firli masih bisa diproses bila ia kembali ke KPK. Namun, Hibnu memastikan sanksi etik akan lebih berat karena membawa citra buruk bagi sang pemimpin, apalagi KPK merupakan lembaga yang dibentuk tanpa toleransi dalam beraktivitas.
"Pelanggaran etik ya etik sanksi moral. Artinya standar moral tidak tinggi dan itu lebih berat sanksi moral karena namanya pimpinan KPK harus bersih. Moral lebih berat sebagai pemimpin yang dibanggakan tidak punya moral baik kurang baik," kata Hibnu.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz