tirto.id - Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar memastikan DPR telah menerima surat dari Presiden Joko Widodo untuk meminta pertimbangan atas permohonan amnesti untuk Baiq Nuril. Surat tersebut bahkan sudah diteruskan kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo.
"Ya benar, suratnya sudah saya teruskan ke Ketua DPR," ujar Indra di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (15/7/2019).
Indra menjelaskan setelah diterima pimpinan DPR, surat tersebut kemudian akan dibacakan dalam rapat paripurna yamg telah dijadwalkan pada Selasa (16/7/2019) besok.
"Besok pagi akan langsung dimasukkan di agenda paripurna dan dibacakan suratnya di paripurna," jelas Indra.
Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, apabila surat dari presiden itu sudah dibacakan di rapat paripurna, maka selanjutnya ia akan segera membawa surat tersebut ke rapat Badan Musyarawah (Bamus) dan selanjutnya diserahkan ke Komisi III DPR.
Di Komisi III, surat pengajuan amnesti itu akan didalami untuk selanjutnya terdapat sebuah rekomendasi pertimbangan kepada Jokowi apakah perlu atau tidak memberikan amnesti untuk Baiq Nuril.
"Lalu kemudian, segera kita gelar rapat Bamus, memberikan penugasan kepada Komisi III untuk memberikan pertimbangan kepada presiden," ungkap Bamsoet, Jumat (12/7/2019).
Terpidana kasus ITE sekaligus korban pelecehan seksual, Baiq Nuril Maknun menaruh harapan besar kepada Presiden Jokowi untuk mendapatkan keadilan. Hal itu terlihat dari surat yang ditulis tangan Baiq Nuril untuk Jokowi.
Dalam surat yang beredar luas itu, Baiq Nuril berharap Presiden memberikan amnesti kepada dirinya. Sebab, langkah itu merupakan harapan terakhir Baiq Nuril setelah upaya Peninjauan kembali (PK) ditolak Mahkamah Agung (MA).
Nuril dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan karena melanggar 27 ayat (1) UU ITE. Hal ini terjadi usai permohonan PK ditolak oleh hakim Mahkamah Agung pada 4 Juli 2019. Nuril, korban pelecehan seksual verbal yang merekam pelecehan terhadapnya.
Perempuan yang sebelumnya bekerja sebagai staf tata usaha SMAN 7 Mataram ini adalah korban pelecehan verbal oleh Muslim, kepala sekolah di tempatnya bekerja. Suatu ketika Baiq Nuril merekam percakapan telepon mereka.
Rekaman itu lalu diberikan ke Imam Mudawin, lalu diteruskan ke dinas pendidikan dan DPRD setempat, juga disebar acak. Muslim dimutasi, tapi dia membalas dengan melaporkan Nuril--bukan Imam--ke polisi atas tuduhan melanggar pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Alexander Haryanto