tirto.id - Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun menyambangi kantor Kejaksaan Agung RI untuk menyerahkan surat penangguhan eksekusi.
Ia datang bersama anggota Komisi VI DPR, Rieke Diah Pitaloka yang merupakan penjaminnya dan pengacaranya, Joko Jumadi.
"Ada 132 surat permohonan penangguhan. 2 surat DPRD Provinsi, 3 surat DPRD kota, 14 DPRD Kabupaten, 36 lembaga dan 76 perorangan 76," kata Rieke di Kejaksaan Agung, Jumat (12/7/2019).
Rieke hanya menjelaskan singkat lalu masuk ke dalam ruangan dengan alasan sudah ditunggu oleh pihak Kejaksaan Agung. "Kami sudah ditunggu," sambung dia.
Pertimbangan Rieke mengajukan surat penangguhan eksekusi Baiq Nuril yakni:
1. Tidak akan melarikan diri.
2. Sebagai tulang punggung perekonomian keluarga.
3. Mempunyai tanggungan anak.
4. Akan bertindak kooperatif dan siap memenuhi segala prosedur dan ketentuan yang berlaku.
5. Sebagai anggota DPR RI, Rieke menjalin terpidana patuh mengikuti proses hukum yang berlaku.
Nuril berjuang untuk mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo. Ia sudah bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly untuk membicarakan rencana pengajuan amnesti. Kini dia dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan karena melanggar 27 ayat 1 UU ITE.
Hal ini terjadi usai permohonan Peninjauan Kembali (PK) ditolak oleh hakim MK pada 4 Juli 2019. Nuril, korban pelecehan seksual verbal yang merekam pelecehan terhadapnya, Mahkamah Agung (MA) menyatakan Baiq Nuril bersalah karena melakukan perekaman ilegal dan menyebarkannya.
Sementara itu, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Ninik Rahayu merespons putusan MA yang menolak PK Nuril. Ia menilai MA mengabaikan produk hukumnya sendiri, yaitu Peraturan MA No 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan, dalam mengadili kasus Nuril.
Ninik mengatakan pertimbangan ditetapkannya peraturan tersebut karena ingin memberikan perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi, yang merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Perempuan bukan kelompok rentan, tetapi sampai dengan saat ini diketahui perempuan menjadi rentan karena diskriminasi gender," kata Ninik lewat rilisnya yang diterima wartawan Tirto, Minggu (7/7/2019).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri