tirto.id - Baiq Nuril menyeka wajahnya yang basah karena air mata saat bicara di hadapan anggota dewan di DPR, Rabu (10/7/2019) kemarin. "Saya tidak ingin anak-anak saya melihat ibunya menangis," katanya, lirih.
Perempuan yang sebelumnya bekerja sebagai staf tata usaha SMAN 7 Mataram ini adalah korban pelecehan verbal oleh Muslim, yang tak lain kepala sekolah di tempatnya bekerja. Suatu ketika Baiq Nuril merekam percakapan telepon mereka. Rekaman itu lalu diberikan ke Imam Mudawin, lalu diteruskan ke dinas pendidikan dan DPRD setempat, juga disebar acak.
Muslim dimutasi, tapi dia membalas dengan melaporkan Nuril--bukan Imam--ke polisi atas tuduhan melanggar pasal 27 ayat (1) UU ITE. Baiq Nuril dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Enam hari lalu, harapan Baiq Nuril untuk lepas dari segala vonis pupus setelah Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) kasusnya. Satu-satunya yang bisa membuatnya bebas, setelah segala upaya hukum gagal, adalah amnesti Joko Widodo. Dengan amnesti, semua hukuman yang dijatuhkan kepada Baiq Nuril dicabut serta-merta.
"Semua pakar sepakat bahwa langkah yang paling tepat dan berdasar menurut hukum yang bisa diambil pemerintah untuk menyikapi ketidakadilan yang diperoleh Nuril pasca-putusan PK itu hanya amnesti," kata kuasa hukum Baiq Nuril, Aziz Fauzi, kepada reporter Tirto, Rabu (10/7/2019).
Berpeluang Besar
Peluang Jokowi memberi amnesti cukup terbuka lebar, kata ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Jentera Bivitri Susanti kepada reporter Tirto. Ada beberapa hal yang membuatnya berkesimpulan demikian, salah satunya pernyataan Menkumham Yasonna Laoly. Dalam perkara amnesti, peran Kemenkumham vital karena mereka memberi pendapat hukum kepada Presiden. Pendapat bisa disampaikan via tertulis atau lisan, misalnya lewat sidang kabinet.
"Sepanjang Presiden belum kirim suratnya ke DPR, belum. Tapi kalau saya dengar pernyataan menteri, sudah berat ke situ," kata Bivitri.
Yang Bivitri maksud adalah pernyataan Yasonna setelah bertemu dengan Baiq Nuril, Senin (8/7/2019) kemarin. Menurut Yasonna, jika Baiq Nuril tak diberikan amnesti, akan ada sekian banyak perempuan yang jadi korban pelecehan seksual takut lapor ke pihak berwenang.
"Ini bukan sekadar kasus kecil, ini menyangkut rasa keadilan yang dirasakan oleh Ibu Baiq Nuril dan banyak wanita-wanita lainnya, yang seharusnya korban tetapi dipidanakan," kata politikus PDIP itu.
Apa yang diungkapkan Yasonna melengkapi pernyataan Jokowi sebelumnya. Pada November 2018 lalu, Jokowi mengatakan: "saya sangat mendukung ibu Baiq Nuril mencari keadilan." Sementara awal Juli lalu, sebagaimana diunggah di situs Setkab, Jokowi disebut "mempertimbangkan beri amnesti untuk Baiq Nuril."
Selain lembaga eksekutif, amnesti juga terkait dengan kewenangan legislatif. Jadi setelah kuasa hukum meminta secara resmi amnesti, Presiden--setelah mendapat masukan dari Kemenkumham--akan menyurati DPR, lalu DPR memberi pertimbangan. Amnesti keluar setelah pertimbangan DPR terbit.
Dan sebagaimana eksekutif, legislatif juga telah menunjukkan keberpihakan ke Baiq Nuril.
Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) misalnya, mengatakan bahwa Baiq Nuril jelas-jelas "korban". Dia juga yakin bahwa "Presiden mendengar".
Meski nampaknya kebebasan Baiq Nuril tinggal menunggu waktu karena dukungan datang dari segala arah--termasuk dari masyarakat yang menggalang dukungan daring via change.org--namun sebenarnya tim hukum tak bisa berleha-leha. Sebab, seperti dikatakan Joko Jumadi, juga kuasa hukum Baiq Nuril, kejaksaan bisa melakukan eksekusi kapan saja setelah menerima salinan putusan.
Penulis: Rio Apinino