Menuju konten utama

DPR Janji Revisi Norma Kontroversial dalam RUU Penyiaran

Nurul mengklaim RUU Penyiaran tidak bermaksud memberangus kebebasan pers. Komisi I DPR terbuka terhadap masukan publik.

DPR Janji Revisi Norma Kontroversial dalam RUU Penyiaran
Politisi Partai Golkar Nurul Arifin menyerahkan berkas bakal calon Wali Kota Bandung kepada DPD II Partai Golkar Bandung, Jawa Barat, Sabtu (8/7). ANTARA FOTO/Agus Bebeng

tirto.id - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Nurul Arifin, menanggapi kritik dari komunitas pers mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Ia menyebut DPR terbuka terhadap masukan publik. Norma-norma dalam beleid itu sangat mungkin untuk direvisi.

Nurul yang juga anggota Panja RUU Penyiaran menyebutkan, pasal yang mendapat kritik yaitu Pasal 8A Ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42 mengenai kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.

Kemudian, Pasal 50B Ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran berupa tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

"RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran," ucap Nurul dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa (14/5/2024).

Kendati demikian, Nurul mengungkapkan UU Penyiaran perlu direvisi agar adaptif dengan perkembangan terkini.

Beberapa pokok yang diatur dalam RUU Penyiaran, seperti pengaturan penyiaran dengan teknologi digital, penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI, hingga penegasan migrasi analog ke digital atau analog switch off.

Nurul menambahkan, RUU Penyiaran ini merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Revisi aturan ini sebetulnya sudah digulirkan sejak 2012.

"Namun seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, kita memerlukan penguatan regulasi penyiaran digital khususnya layanan over the top (OTT) dan user generated content (UGC). Jadi secara substansi kita memang membutuhkan revisi UU Penyiaran ini," terang dia.

"Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini. Komisi I DPR RI terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran karena RUU masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI," jelasnya.

Diwartakan sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memandang Pasal 56 Ayat 1 dalam RUU Penyiaran membungkam kebebasan pers.

Ketua Umum AJI, Nani Afrida mengatakan, jurnalisme investigasi merupakan produk jurnalistik dengan kasta tertinggi. Pembuatan produk jurnalistik ini juga tidak gampang serta membutuhkan waktu lama. Karena itu, ia menilai pasal itu membungkam kebebasan pers.

"Pembungkaman pers. Itu udah pasti agak aneh, ya, masa jurnalisme paling tinggi investigasi dilarang," kata Nani saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).

Nani mengatakan pembuatan karya jurnalistik investigasi tidak boleh dilakukan sembarangan. Ia menyebut banyak masyarakat menunggu produk investigasi tersebut.

Sejak awal, kata dia, AJI telah menolak dan mempermasalahkan pasal itu. AJI mendorong pasal itu harus dihapus, sebab tidak ada dasar bagi DPR untuk membungkam kebebasan pers.

Baca juga artikel terkait RUU PENYIARAN atau tulisan lainnya dari Auliya Umayna Andani

tirto.id - Politik
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Fahreza Rizky