Menuju konten utama

Dosa Lama Garuda Indonesia di Balik Pengadaan Pesawat Bombardier

Garuda Indonesia menyewa Bombardier saat dipimpin Emirsyah Satar saat 2012, padahal tak cocok digunakan di Indonesia.

Dosa Lama Garuda Indonesia di Balik Pengadaan Pesawat Bombardier
Pesawat Garuda Indonesia disambut siraman air menggunakan water cannon saat tiba di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (8/9/2017). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

tirto.id - Maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia berani mengambil keputusan untuk mengembalikan 12 dari 18 armada pesawat Bombardier tipe CRJ-1000 ke perusahaan leasing Nordic Aviation Capital (NAC). Sementara enam lainnya masih dalam proses negosiasi dengan Export Development Canada (EDC).

Garuda dan NAC punya hubungan kontrak operating lease yang jatuh tempo pada 2027 mendatang. Kontrak itu akhirnya diakhiri lebih awal secara sepihak oleh Garuda Indonesia.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menjelaskan, langkah pengembalian pesawat ditempuh setelah upaya negosiasi dengan perusahaan leasing yang berbasis di Billund, Denmark itu tak berjalan mulus.

"Negosiasi kita lakukan tetapi tentu negosiasi yang dicuekin, atau hanya bertepuk sebelah tangan, ya kita juga bisa tepuk tangan sendiri. Kita ambil posisi," tegas Erick dalam sebuah konferensi pers, Rabu (10/2/2021).

Salah Sejak Awal

Bombardier CRJ-1000 dikembangkan oleh Bombardier Aerospace, perusahaan yang berbasis di Kanada. Pesawat itu mulai dibangun pada tahun 2007 berdasarkan versi CRJ-900. Pesawat mulai beroperasi pada tahun 2011.

Pesawat dikembangkan dengan sistem yang diklaim canggih. Misalnya ada sistem yang dapat membuat pesawat menghindari tabrakan, serta memeriksa cuaca di wilayah dan perlintasan yang dituju. Bombardier CRJ-1000 diklaim hemat bahan bakar, bahkan diklaim sebagai salah satu pesawat paling ekonomis.

Namun, sayangnya ternyata spesifikasi pesawat ini dianggap tak cocok untuk mengudara di langit Indonesia dan tak ramah bagi maskapai penerbangan di Indonesia. Tetapi oleh Emirsyah Satar, Direktur Utama PT Garuda Indonesia saat itu justru dianggap sebaliknya. Ia memutuskan untuk menyewa pesawat ini, padahal saat itu juga kondisi keuangan Garuda sedang tak bag

Perkara pengadaan 12 pesawat Bombardier CRJ-1000 memang sudah lama dibayangi kabar tidak sedap adanya dugaan suap. Anggota Ombudsman RI sekaligus pengamat penerbangan, Alvin Lie mengungkap aroma dugaan suap berembus setelah Emirsyah Satar mengambil keputusan yang kontradiktif dengan kebijakan umum perusahaan kala itu.

Pada 2010, lanjut Alvin, sebenarnya Garuda tengah menjalankan upaya perampingan salah satunya dengan mengoperasikan jenis pesawat tunggal atau single type. Tujuannya tentu untuk menekan biaya perawatan dan operasional pesawat.

Secara sederhana, Alvin menjelaskan, penggunaan tipe pesawat yang populasinya sudah banyak digunakan seperti Airbus atau Boeing akan mempermudah maskapai dalam proses perawatan pesawat hingga operasional. Tak perlu repot melatih pilot untuk menerbangkan tipe pesawat baru, begitupun tenaga teknisinya sudah tersedia banyak di pasar tenaga kerja.

"Tahu-tahu mengadakan Bombardier yang cari pilotnya susah, cari teknisinya susah, perlengkapannya beda. Apalagi di RI hanya ada 18 unit, itu sangat tidak efisien," tutur Alvin kepada Tirto, Kamis (11/9/2021).

Melihat anomali kebijakan tersebut, dugaan tata kelola perusahaan yang tidak sehat kala itu semakin santer. Apalagi, pada November 2020, Komisi Pemeberantaan Korupsi (KPK) telah secara tegas mengumumkan akan memberikan dukungan terhadap Serious Fraud Office (SFO) Inggris dalam proses penyelidikan dugaan suap dalam transaksi pembelian pesawat Bombardier oleh Garuda Indonesia.

Dalam pemberitaan di The Wall Street Journal diungkapkan SFO melakukan investigasi terhadap perusahaan Bombardier yang berada di Kanada karena SFO menduga adanya praktik suap dan korupsi terkait penjualan pesawat ke PT Garuda Indonesia.

Investigasi internal Bombardier itu bahkan sudah dilakukan sejak Mei 2020 yaitu ketika Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Emirsyah Satar terbukti menerima suap dan melakukan pencucian uang terkait pembelian pesawat Airbus dan mesin Rolls-Royce.

Emirsyah divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima suap senilai Rp49,3 miliar dan pencucian uang senilai sekitar Rp87,464 miliar.

Uang suap tersebut berasal dari Airbus SAS, Roll-Royce Plc dan Avions de Transport regional (ATR) serta Bombardier Canada melalui Hollingsworld Management International Ltd Hong Kong dan Summberville Pacific Inc terkait beberapa suap.

Suap itu termasuk untuk pengadaan pesawat Sub-100 seater Canadian Regional Jet 1.000 Next Generation (CRJ1.000NG) dari Bombardier Aerospace Commercial Aircraft sejumlah 200 ribu dolar AS melalui Hollingworth Management International (HMI) dan Summerville Pasific Inc.

Melihat situasi itu, Alvin berpandangan, kebijakan yang diambil pemerintah dan Garuda sudah tepat. Ia pun meyakini kebijakan ini tak akan sampai menganggu hubungan dagang internasional dengan Kanada--negara basis pabrik pesawat Bombardier maupun dengan NAC. Pemerintah harus tetap tegas menghentikan kontrak pengadaan pesawat tersebut.

"Berdasarkan aturan UU di Eropa dan Amerika, ketika ada kontrak ini ada unsur pidana kontrak itu bisa dinyatakan batal demi hukum. Jadi baiknya terus dilanjutkan," tegas Alvin.

Secara bisnis, langkah penghentian kontrak pengadaan pesawat Bombardier juga tepat mengingat selama ini Garuda Indonesia mengalami kerugian operasional.

Benar saja, menurut data perusahaan, Garuda harus menanggung rugi rata-rata $30 juta/tahun atau setara Rp420 miliar (kurs Rp14.000) selama 7 tahun mengoperasikan pesawat jenis tersebut.

Apalagi, pesawat ini disewa Garuda Indonesia khusus digunakan untuk penerbangan Indonesia bagian timur, padahal jalur ini lebih cocok menggunakan pesawat yang lebih kecil.

"Sejak dulu memang sudah mengeluh soal ini, pesawat ini ketika terisi 100 persen pun itu rugi karena harga tiket di Indonesia ini enggak masuk untuk biaya operasional pesawat ini. Kalau tetap rugi buat apa?" tutur Alvin.

Ukuran pesawat yang lebih kecil, misalnya membuat pengaturan kursi menjadi terbatas.

"Itu [Bombardier] pesawat kecil kan kalau Boeing 737, AirBus 320 [baris] duduknya 3-3. Ini [Bombardier] kan 2-2, pun karena tubuhnya kecil sehingga kita berdiri kepala ini sudah mentok. Di atas tempat bagasi juga enggak ada," katanya.

Menurut Alvin Lie, pesawat Bombardier "lebih cocok untuk pesawat carter."

Garuda Harus Berbenah

Pengadaan fasilitas pesawat yang tidak optimal berdampak pada keuangan Garuda terutama di masa pandemi. Selama pandemi, kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, semua pesawat Bombardier tidak digunakan.

"Dari tahun ke tahun kami mengalami kerugian menggunakan pesawat ini, ditambah lagi dengan kondisi pandemi. Ini memaksa kami tidak punya pilihan lain secara profesional untuk menghentikan kontrak ini,” kata Irfan

Bila terus digunakan, kerugiannya diprediksi akan semakin besar. Karenanya, diputuskan untuk menghentikan kontrak sewa. “Penghentian ini juga bagian dari upaya kami mengurangi kerugian di masa mendatang,” terang Irfan..

Publik, kata Alvin Lie sangat berharap Garuda bisa lebih cepat berbenah memulihkan kondisi keuangannya yang sakit sejak lama digerogoti oknum manajemen yang ingin memperkaya diri sendiri. Juga menyelamatkan Garuda yang saat ini terseok-seok karena dihantam lesunya binis penerbangan imbas pandemi virus Corona COVID-19.

"Ini juga jadi ajang Garuda untuk mengevaluasi jenis pesawat lain. Karena biaya sewa Garuda ini lebih mahal dibandingkan sewa pesawat AirAsia, Lion dan lain lain," pungkas Alvin.

Baca juga artikel terkait GARUDA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Bayu Septianto