tirto.id - Pada 10 Mei 2020--tepat hari ini setahun silam, Panglima TNI Jenderal Purn. Djoko Santoso meninggal dunia. Djoko wafat akibat stroke berat yang dideritanya. Sebelumnya, Djoko sempat dibawa ke Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.
Djoko termasuk salah satu jenderal muda dan progresif saat masih aktif di militer. Ia menaiki kariernya dengan memotong dua angkatan lulusan Akademi Militer. Karier Djoko yang melejit itu karena faktor Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, yang terpilih sebagai presiden pada 2004.
Djoko diangkat SBY menjadi KSAD pada 18 Februari 2005. Saat itu Djoko, lulusan Akmil 1975, mengalahkan dua pesaingnya, Letjen Djaja Soeparman dan Letjen Hadi Waluyo, notabene seniornya dari angkatan 1972.
Pilihan SBY menunjuk Djoko bukan tanpa sebab. Mereka sudah menjalin keintiman ketika SBY masih menjabat sebagai Kepala Staf Teritorial pada 1998. Saat itu Djoko dipercaya sebagai wakil SBY. Kedekatan itu terjalin dengan baik sampai SBY akhirnya menjadi presiden.
Saat pemilihan KSAD, sudah beredar selentingan bahwa SBY sebenarnya menginginkan Djoko Santoso menjadi Panglima TNI. Namun, ia masih mentok dengan pangkatnya, dan hanya ada Djoko Suyanto dan Ryamizard Ryacudu yang punya peluang menjadi Panglima TNI. Pilihan jatuh pada Djoko Suyanto.
Begitu ia menjadi KSAD, Djoko langsung membuat gebrakan di internal TNI AD. Salah satu polemik besar saat itu adalah penggeledahan rumah (alm) Brigjen Koesmayadi yang ditemukan 103 senapan, 42 pistol, 6 granat, dan 30 ribu peluru.
Aksi Djoko membuat internal militer panas, sebab kasus itu dibuka ke publik. Pembenahan internal dilakukan secara masif oleh Djoko. Dan pendataan inventaris senjata adalah salah satu yang bikin gempar. Ia memaksa TNI menertibkan semua senjata yang diduga diselundupkan ke luar TNI.
Tidak hanya itu, berdasarkan pemberitaan majalah Tempo edisi Juli 2006, Djoko memecat Mayjen Sikki karena keterlibatannya menjual aset Kodam yang bermasalah. Djoko juga membongkar penggelapan dana tabungan perumahan prajurit TNI sebesar Rp129 miliar.
Kedekatannya dengan SBY disebut-sebut membuatnya berani melakukan gebrakan itu. Setelah Djoko Suyanto pensiun, Djoko Santoso pun langsung dipercaya SBY menjadi panglima TNI.
Keluar dari Lingkaran SBY
Pada akhir masa jabatannya sebagai Panglima TNI, Djoko Santoso Sudah mulai dilirik sejumlah partai untuk pemilu 2009. Tawaran itu datang dari PDI Perjuangan. Saat itu nama Djoko masuk dalam bursa cawapres Megawati Soekarno. Tawaran itu ditolak oleh Djoko.
"Saya tidak berminat untuk masuk atau terjun dalam kancah politik praktis," kata Djoko seperti diberitakan Tempo, 28 Januari 2009.
Alasan penolakan itu salah satunya karena Djoko masih terobsesi menuntaskan reformasi dalam tubuh TNI. Sebuah mandat yang ia terima dari SBY saat dipercaya menjadi Panglima TNI. Sementara itu, Megawati akhirnya memilih Prabowo Subianto sebagai cawapres. Dan pasangan ini kalah oleh SBY-Boediono.
Meski menolak tawaran Megawati, hubungan mereka tetap terjalin dengan baik. Setelah Djoko pensiun, ia nyaris hilang dari peredaran. Barulah pada 2014, namanya kembali muncul. Kali ini ia disebut sebagai salah satu kandidat pendamping capres Joko Widodo.
Kedekatannya dengan Jokowi juga sudah terjalin sejak lama saat Jokowi masih menjadi Wali Kota Solo. Kebetulan, Djoko adalah orang Solo. Lobi-lobi untuk menjadi wapres Jokowi cukup alot. Ia bahkan sempat disebut sebagai salah satu inisiator "Relawan Jokowi Mania."
Pada saat bersamaan lobi-lobi itu, putra pertamanya, Andika Pandu, menjadi calon legislatif dari partai Gerindra yang dipimpin Prabowo. Faktor anak ini yang mungkin membuat Djoko akhirnya banting setir mendukung Prabowo setelah gagal menjadi cawapres Jokowi.
Menjadi Die Hard Prabowo
Kekalahan Prabowo pada Pilpres 2014 sempat menimbulkan kegaduhan. Massa pendukung Prabowo melakukan aksi di depan gedung Mahkamah Konstitusi setelah gugatan yang dilakukan oleh tim Prabowo. Aksi itu bikin ricuh setelah tiga mobil Unimog menerabas kawat berduri yang dipasang oleh polisi.
Peristiwa itu membikin geger. Polisi sempat mengamankan mobil Unimog yang biasa dipakai oleh militer. Polisi kebingungan karena tidak mengetahui siapa pemilik mobil tersebut. Saat ketegangan itu terjadi, Djoko Santoso secara terbuka pasang badan.
“Iya, itu milik saya, tulis yang besar, itu milik saya!” kata Djoko kepada wartawan di Jakarta, September 2014.
Sejak peristiwa itu, jenderal kelahiran Surakarta, 8 September 1952, itu menjadi pendukung Prabowo garis depan. Terlebih lagi anaknya, Andika Pandu, resmi menjadi anggota DPR RI dari Gerindra dari Daerah Pemilihan Yogyakarta. Meski menjadi “Die Hard” Prabowo, Djoko tidak serta merta langsung bergabung ke Gerindra.
Djoko sempat mendirikan gerakan Indonesia ASA (Adil, Sejahtera, Aman) dan Partai Pribumi, yang bermarkas di Tebet, Jakarta. Di sana Djoko mengumpulkan banyak alumni gerakan mahasiswa. Dari kelompok Cipayung hingga kelompok yang paling kiri. Namun, dua spektrum organisasi itu tidak bertahan lama.
Setahun setelah Pilpres 2014, Djoko akhirnya resmi bergabung dengan Gerindra sebagai anggota dewan pembina. Loyalitas Djoko pada Gerindra membuatnya dipercaya Prabowo sebagai ketua tim pemenangan Prabowo-Sandiaga.
Meski demikian, Djoko bukan kacang lupa kulit. Betapapun sudah mendapatkan posisi nyaman di Gerindra, ia tetap rajin sowan ke SBY. Ia kerap datang ke SBY untuk meminta petunjuk dalam pemenangan Prabowo.
“SBY senior saya, Prabowo senior saya. SBY kelas 3, Prabowo kelas 2, saya kelas 1 lah dulu,” kata Djoko, awal September lalu di rumahnya.
==========
Artikel ini pernah ditayangkan pada 20 September 2018 dengan judul yang sama. Kami melakukan penyuntingan ulang untuk diterbitkan kembali dalam rubrik Mozaik Tirto.
Editor: Fahri Salam & Fadrik Aziz Firdausi