tirto.id - “Sebenernya males sih berhubungan seksual sama suami, kewajiban aja.”
“Seumuran saya begini mau diapa-apain juga udah nggak nafsu, ya terima tiduran aja.”
“Gue trauma, rasanya sakit tiap kali berhubungan seksual.”
Lazimkah Anda mendengar keluhan-keluhan semacam itu dari teman atau sahabat perempuan Anda?
Disfungsi seksual, meski selama ini lebih sering dikeluhkan oleh para pria, ternyata juga menyerang perempuan. Bedanya, perempuan yang terkena disfungsi seksual seringkali menyembunyikan dan memilih ‘pasrah’ menerima kondisi tersebut. Beberapa bahkan menganggap kondisi itu wajar adanya.
“Misalnya pada perempuan yang sudah menopause, gairah seksual akan menurun, dan mereka anggap itu biasa, ngakunya juga sudah capek, malu kalau masih aktif,” ucap Grace Valentine, dokter spesialis kebidanan dan kandungan, menuturkan pengalamannya kepada Tirto.
Sudah semestinya hubungan seksual dinikmati oleh pasangan, bukan salah satu pihak saja. Apalagi, ketika proses orgasme terjadi, tubuh perempuan akan mengeluarkan hormon endorfin yang berfungsi menghilangkan stres, meningkatkan kekebalan tubuh, dan menghilangkan rasa sakit. Hormon tersebut juga memicu timbulnya perasaan bahagia dan membuat kulit lebih bercahaya.
“Sehari harusnya sekali (orgasme) supaya glowing sepanjang hari,” tambah Ni Komang Yeni Dhana Sari, dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang membuka praktik tentang peremajaan vagina, seraya berkelakar.
Disfungsi seksual menghambat perempuan mendapatkan hak atas rasa bahagia saat melakukan aktivitas seksual. Kelainan ini juga menjadikan perempuan seolah menjadi korban dan menderita terhadap aktivitas tersebut, apalagi, jika diiringi oleh rasa sakit. Mirisnya, disfungsi seksual ternyata lebih banyak dialami perempuan dibanding pria.
Kondisi tersebut bisa didefinisikan sebagai masalah selama fase siklus respons seksual yang menghambat individu atau pasangan mengalami kepuasan dalam kegiatan seksual. WebMD menyebut probabilitasnya terjadi pada 43 persen perempuan dan 31 persen pria.
Pada perempuan, ada berbagai gejala yang bisa dikategorikan disfungsi seksual, di antaranya merasa tidak tertarik pada aktivitas seksual dan takut melakukan kontak seksual. Seorang perempuan juga dikatakan memiliki disfungsi seksual ketika tidak merasa bergairah/terangsang, tidak mampu mencapai orgasme, atau merasa sakit saat berhubungan seksual (dispareunia).
Kondisi terakhir berkaitan dengan beberapa penyakit lain termasuk gejala vaginismus (otot vagina menegang), endometriosis, kista ovarium, vaginitis, adanya jaringan parut akibat pembedahan, radang panggul, atau penyakit menular seksual.
“Karena penyakit ini sangat personal, banyak yang malu dan memilih cari info dari internet. Padahal, jika dikonsultasikan ke dokter, masalah ini bisa diselesaikan dengan mudah,” ungkap Grace.
Mari Bersiap Menghadapi Menopause
Banyak faktor yang bisa menjadi faktor pemicu disfungsi seksual. Secara umum, faktor penyebab ini dibagi menjadi dua, psikologis dan fisik. Penyebab psikologis bisa termasuk stres, tidak percaya diri terhadap bentuk fisik atau kemampuan seksual, bosan, atau efek dari trauma seksual di masa lalu.
“Stres bisa menurunkan sistem imun,asam vagina naik, pH berubah jadi basa dan menimbulkan keputihan tidak normal, jamur, dan bakteri jahat,” papar Grace.
Ia melanjutkan, di sisi lain, beberapa kondisi fisik dan medis dapat menyebabkan masalah fungsi seksual, diantaranya diabetes, penyakt jantung, saraf, ketidakseimbangan hormon, efek obat tertentu, penyakit kronis lain, atau yang paling umum dan pasti terjadi pada semua perempuan, menopause.
“Disfungsi yang paling umum karena masuk masa menopause, ini fisiologis normal, natural, dan semua perempuan akan menuju ke sana,” ujar Grace.
Rata-rata perempuan akan mengalami fase menopause pada usia 48-54 tahun. Semakin muda menstruasi seorang perempuan mengalami menstruasi, masa menopause juga akan semakin cepat datang. Bahkan kini mulai banyak perempuan yang mendapatkan menopause dini di umur kurang dari 40 tahun. Saat menopause, ovarium tidak lagi menghasilkan estrogen dan progesteron (hormon kesuburan).
Hilangnya kedua hormon itu menyebabkan perubahan fungsi seksual pada perempuan. Vagina akan lebih kering sehingga seringkali terasa nyeri dan terbakar saat melakukan aktivitas seksual. Selain itu, fase menopause juga membikin perubahan mood, rasa panas (hot flushes), dan kerontokan rambut.
Lalu bagaimana mengatasi berbagai macam disfungsi seksual pada perempuan, terlebih saat masuk fase menopause?
Grace menyarankan untuk melakukan konsultasi kepada dokter. Jika masalah disfungsi terletak pada psikologis, maka terapinya cukup dengan melakukan sesi ‘curhat’ dengan tenaga profesional. Namun pada faktor fisik, terapinya bisa dilakukan dengan mengatasi masalah utama terlebih dulu, atau memberikan obat serta terapi alternatif lain.
“Pada gejala menopause, bisa kita kasih terapi hormon, atau yang lebih mudah pakai pelumas,” jelas Grace.
Sebelumnya, Tirto juga sudah membahas terapi peremajaan vagina yang bisa menjadi solusi disfungsi akibat menopause. Peremajaan vagina akan membentuk kolagen baru pada mukosa genital, sehingga vagina kembali ‘remaja’ dan tidak kering lagi. Disfungsi seksual pada perempuan perlu ditangani agar kualitas hidup meningkat dan perempuan juga bisa menikmati aktivitas seksual mereka.
Apalagi, saat menopause seharusnya perempuan sudah tidak lagi memiliki beban saat berhubungan seksual. Perempuan menopause memiliki lebih sedikit tanggung jawab membesarkan anak, dan tak lagi cemas soal kehamilan, atau repot menggunakan kontrasepsi. Disfungsi seksual, bukan suatu masalah jika ditangani dengan tepat. Mari buat masa tua Anda berkualitas, saatnya bersantai dan menikmati keintiman dengan pasangan di hari tua.
Editor: Windu Jusuf