Menuju konten utama

Dilema Membesarkan Anak sebagai Ibu Pekerja

Ibu bekerja bisa memberikan kondisi hidup yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, serta mengurangi tekanan dalam keluarga.

Ilustrasi Ibu Bekerja. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Tika Vilystya Budiman (27) memutuskan terus bekerja setelah ia menikah dan memiliki anak. Ia amat menikmati pekerjaannya sebagai penyiar radio. Dari sisi keuangan, selain bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, perempuan yang akrab dipanggil Tika ini juga menanggung pendidikan adiknya yang duduk di bangku universitas.

Tika sadar bahwa menjadi pekerja perempuan dengan membesarkan 2 orang anak bukan perkara mudah. Ia pun sempat ragu dengan pilihan yang diambilnya, sebab usia anak-anaknya masih sangat kecil.

“Galau sih pasti kalau bagi waktu antara pekerjaan dan anak, apalagi anakku masih balita 3 tahun, dan satunya bayi 2,5 bulan. Tapi demi profesionalisme dan komitmen kerja, harus dijalani,” ujar Tika.

Tika menyadari kebutuhan dirinya, sehingga ia pun menggunakan asisten rumah tangga untuk membantu dirinya.

“Dulu sempat minta tolong neneknya untuk membantu. Tapi sepertinya enggak mungkin kalau hanya neneknya yang bantu. Jadi dengan dibantu asisten rumah tangga dan pengawasan neneknya, rasa khawatir berkurang,” ungkap Tika.

Saat hendak bekerja, Tika selalu memberi pengertian kepada anak tertuanya agar anaknya tak menangis. Meski begitu, Tika tetap rajin memantau anaknya setiap tengah hari. Ia pun bersyukur kesibukannya sebagai penyiar radio masih memungkinkan ia dekat dengan buah hati seusai bekerja.

“Nah biasanya kalau habis pulang, semuanya aku pegang sendiri. Itu jadi pendekatan ke anak. Walaupun pulang kerja, kalau anak ngajak main petak umpet, ya aku turutin. Sampai anak tidur juga aku temani,” kata Tika.

Tika juga berusaha membuat quality time saat ia libur dengan memperkecil penggunaan gajet. Dia pun tak khawatir kesibukan bekerja akan memberi jarak antara dirinya dan anak. Ia justru bersyukur, anaknya bisa lebih mandiri.

Pengalaman lain diceritakan oleh Zosi Fatmawati (27). Kesibukannya menjadi Cargo Sales Representative pada sebuah maskapai penerbangan membuat dirinya tak bisa selalu mengawasi sang buah hati. Untuk itu, dia dan suami memilih untuk menitipkan putranya yang berusia 2,5 tahun itu kepada bapak-ibu mertuanya, dibandingkan ke penitipan anak atau asisten rumah tangga.

Meski begitu, kekhawatiran meninggalkan buah hati ketika bekerja tetap ada.

“Waswas tetap ada kalau ditinggal. Apalagi umur segini kan banyak tingkahnya, rasa ingin tahunya juga besar. Kadang juga banting gelas, geser TV, masukkan sampo ke bak mandi,” ujar Zosi.

Namun, Zosi bersyukur putra tunggalnya itu tak pernah marah saat ia dan suaminya pamit bekerja. Ia selalu memberi pengertian pada sang buah hati, alasan dia bekerja. Selain itu, Zosi dan suaminya pun selalu berusaha untuk mengajak anaknya bermain di akhir pekan.

“Pulang kerja, menemani anak bermain sampai tidur. Kalau sabtu minggu, diusahakan ngajak pergi. Kalau enggak ke mall, jalan kemana gitu. Yang penting quality time,” kata Zosi.

Tak hanya Tika dan Zozi, Enning Dyah (40) juga memutuskan untuk menjadi seorang working mom. Manajer Penunjang Medis pada sebuah rumah sakit di Jakarta ini selalu berusaha berangkat kerja bersama putri semata wayangnya.

“Aku kan pulang sering malam. Tapi di atas jam 6 sore, aku selalu telepon dia, tanya udah kerjakan PR belum, udah belajar atau belum. Nanti aku pulang jam 8, aku usahakan temani dia belajar. Kalau ada ulangan, sudah dipersiapkan dari hari sebelumnya,” ungkap Enning.

Tak hanya itu, di akhir pekan, Enning selalu memberikan waktu seluruhnya untuk sang buah hati. Meski putrinya sempat protes, Enning berusaha terus memberikan pengertian kepada Ashley, anaknya.

“Waktu masih kecil suka tanya, kok Bunda enggak pernah jemput seperti mamanya teman-teman, kerja terus. Lalu kalau kerja di rumah sakit itu kan standby 24 jam. Nah kalau kantor itu telepon, Ashley selalu cari perhatian. Tapi aku beri pengertian, ‘Bunda kan kerja di rumah sakit, ada pasien yang harus ditolong.' Lama-lama dia mengerti,” kata Enning.

Enning pun memilih untuk menitipkan anak pada asisten rumah tangga, yang dapat menjaga putrinya saat ia dan suami bekerja. Dulu, dia sempat khawatir, tapi semenjak duduk di bangku sekolah dasar, putrinya makin bisa membedakan antara yang baik dan buruk.

“Pakai kamera online untuk mengontrol anak, aku pasang di beberapa ruangan seperti ruang keluarga, kamar tidur, dan teras. Jadi kalau di kantor, aku tetap bisa mantau jarak jauh,” tutur Enning.

Enning menyadari, saat usianya masih muda dulu, alasannya bekerja untuk mengejar karier. Namun, kini, meski ia masih mengejar karir, ia tetap menganggap anaknya yang utama. Enning pun memilih tempat bekerja yang tidak jauh dari rumahnya.

“Jarak rumah ke kantor sangat berpengaruh, karena kantor yang sekarang nggak macet, otomatis tingkat stres beda. Kalau macet kan tingkat stres tinggi. Kantor yang sekarang juga waktu tempuh bisa diprediksi, paling hanya berapa menit. Dulu waktu kerja di daerah Sudirman, sampai rumah jam 10 malam, sudah nggak mungkin ketemu anak. Sekarang biasanya jam 8 sudah sampai di rumah,” beber Enning.

Enning bersyukur, menjadi ibu pekerja justru membuat anaknya mandiri. Ashley selalu berusaha mengerjakan tugas sekolahnya sendiri. Putri semata wayangnya itu pun juga biasa belajar sendiri.

Jangan Sampai Rasa Bersalah Membikin Permisif

Fenomena ‘ibu bekerja’ kini adalah hal jamak. Ada faktor pergeseran nilai: pembagian peran berdasarkan gender mulai pudar. Sekitar 50 persen dari keseluruhan perempuan Indonesia berusia 15 tahun menjadi pekerja.

Ada banyak alasan seorang ibu memilih untuk bekerja. Menurut Anna Yulia, dalam buku Working Mom and Kids, aktualisasi diri dan prestise, sarana pengembangan bakat, kejenuhan di rumah, dan tuntutan hidup merupakan beberapa alasan ibu bekerja. Selain itu, keluarga juga biasanya mendambakan keleluasaan finansial, sehingga meski penghasilan yang diterima suami lebih, mereka bisa memiliki tabungan lebih ketika ada dua pihak yang bekerja.

Hal tersebut diamini Putri Tirtasari (29). Sebelum menikah, ia memberi syarat kepada suaminya agar ia tetap bisa bekerja. Dari segi ekonomi, sebenarnya penghasilan suami Putri bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun menurut Putri, memiliki tabungan lebih amatlah penting.

Meski begitu, Putri memilih bekerja paruh waktu agar dia dapat memantau anaknya. Dia pun bersyukur, tempat kerjanya saat ini tidak mengharuskan ia berada di kantor terus.

“Kalau aku lebih suka freelance, jadi ngasuh anak iya, penghasilan juga iya. Apalagi anakku masih usia 22 bulan, baru iseng-isengnya. Untung aku enggak harus ke kantor, jadi bisa kerja waktu anakku tidur,” ujar Putri.

Namun, Putri menyatakan bahwa dirinya hanya ingin memiliki satu orang anak. Ia khawatir tak bisa membagi waktu antara pekerjaan dan anak jika menambah momongan.

Bagi seorang perempuan, memilih bekerja setelah melahirkan tentu mesti melalui berbagai pertimbangan. Menurut Markus Klein dari Strathclyde University dan Michael Kuhhirt dari University of Cologne dalam artikel “Being A Working Mother is Not Bad for Your Children”, ibu bekerja dapat membawa dampak yang lebih baik bagi anak mereka, misalnya memberikan kondisi hidup yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, serta mengurangi tekanan dalam keluarga.

Namun, Klein dan Kuhhirt mengingatkan, jam kerja yang panjang dan stres akibat kerja bisa mempengaruhi kualitas dan kuantitas interaksi antara ibu dan anak. Padahal, interaksi antara ibu dan anak sangat penting, khususnya untuk keterampilan kognitif dan pertumbuhan bahasa.

Psikolog Keluarga Rumah Sakit Elisabeth Kota Semarang Probowatie Tjondronegoro menyampaikan ada ibu bekerja yang sering merasa bersalah karena meninggalkan anaknya. Akibatnya, mereka sering memberikan sesuatu yang bukan kebutuhan sang buah hati.

“Seperti ada kompensasi, jadi memberikan benda yang tidak dibutuhkan, dan lebih permisif,” kata Probo.

Probo menjelaskan, yang harus ditanamkan seorang ibu bekerja adalah tidak adanya orangtua pengganti. Maka dari itu, meski bekerja, orangtua pun harus memiliki program untuk sang anak dan memastikan bahwa aturan itu tetap dilaksanakan saat mereka bekerja.

“Sehingga kalau bekerja, ibu sudah punya program. Jadi sudah ada pola untuk yang dititipi si anak. Sehingga harus ada komitmen dengan yang membantu mengasuh anak, jika aturan itu tetap dilakukan. Ibu juga bisa cek, jam sekian, bisa mengontrol anak melalui video call atau telepon,” ujar Probo.

Selain itu, Probo menyarankan kepada para ibu, untuk sesekali menjemput buah hatinya sekolah saat hari kerja, karena hal itu bisa meningkatkan rasa bangga si anak. Menjemput anak saat hari kerja juga dapat meningkatkan komunikasi dengan pihak sekolah, teman-teman sang anak, serta orangtua murid lainnya.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/07/20/ibu-kerja-dulu--mild--quita-01-02-03.jpg" width="860" alt="Infografik Ibu kerja dulu" /

“Kalau ada acara di kantor, bawa ke tempat kerja juga. Sehingga anak akan tahu pekerjaan ibunya. Dengan begitu, orangtua tahu lingkungan si anak, anak juga tahu lingkungan orangtua. Aktivitas ini akan meningkatkan keterbukaan antara ibu dan anak,” beber Probo.

Orangtua pun perlu membangun pola komunikasi yang baik kepada anaknya. Saat pulang kerja, hindarilah menanyakan kabar anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mengintimidasi. Ada baiknya orangtua membaca mood buah hati terlebih dulu.

“Kalau misalnya lagi lelah, kerjaan di kantor menumpuk, bilang saja kepada anak kalau [Anda] lelah. Tapi sebutkan juga alasannya, beberkan apa saja yang dikerjakan di kantor, jadi anak mengerti,” kata Probo.

Baca juga artikel terkait PARENTING atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani