Menuju konten utama

Bahaya Prasangka Etnis Mengancam Anak-anak

Tak berbeda dengan orang dewasa, anak-anak tak luput dari belenggu prasangka. Kemampuan kognitif dan pengaruh lingkungan adalah faktor yang membentuk prasangka pada anak-anak.

Bahaya Prasangka Etnis Mengancam Anak-anak
Ilustrasi multietnis dari anak perempuan berhijab berinteraksi dengan anak perempuan berambut pirang di sebuah sekolah Internasional. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Tiara mau minta sesuatu sama Bapak. Boleh enggak?”

“Kamu mau minta apa? Oh...Bapak tahu apa yang kamu pengin. Bapak sudah beli. Nah, ini kan yang kamu minta?”

“Bukan ini Pak. Han... Han belum bayar SPP. Tiara pengin bantu.”

“Han? Han yang Cina itu? Kamu masih saja main dengan teman-teman kamu yang dekil dan kampungan. Pokoknya Bapak enggak suka Tiara.”

Percakapan di atas muncul pada adegan film Cheng Cheng Po besutan sutradara BW Purba Negara yang diproduksi tahun 2007. Malam itu, Tiara meminta sesuatu pada ayahnya. Ayah Tiara awalnya mengira anaknya ingin boneka Barbie makanya ia berkata mainan tersebut sudah dibeli. Tapi, Tiara justru meminta uang untuk membayar SPP Han. Bukannya setuju, sang ayah malah marah sembari menolak permintaan anaknya sebab ia tak suka Tiara bergaul dengan Han yang Cina, dekil, dan kampungan.

Tiara, seorang anak perempuan Jawa Islam, prihatin dengan kondisi Han, kawan sekelasnya yang beretnis Cina. Suatu ketika, Han bercerita kepada Tiara dan dua teman lainnya, Tohir dan Markus, bahwa dirinya terancam tak bisa mengikuti ujian. Alasannya karena Han belum kunjung membayar uang SPP. Ketika Pak Guru memintanya segera melunasi pembayaran, ia kebingungan sebab dagangan bakpao orangtuanya sedang sepi pembeli.

Sambil bermain wayang dan boneka, Tiara pun bertanya meski tak di depan sang ayah, ”Memang kenapa kalau Han Cina?”

Anak-anak dan Prasangka

Sama halnya seperti orang dewasa, anak-anak tak lepas dari belenggu prasangka. Mary E. Kite dan Bernard E. Whitley Jr. dalam Psychology of Prejudice and Discrimination (2016) mengatakan munculnya prasangka pada anak-anak dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Mereka menjelaskan bahwa anak-anak dapat belajar tentang prasangka melalui tiga cara: ajaran langsung (direct teaching), observasi (observational learning), dan perilaku orang lain (vicarious learning). Dalam Ilmu Psikologi, pengaruh lingkungan dalam pembentukan prasangka pada anak dibahas dalam social learning theory.

Kite dan Whitley menjelaskan bahwa ajaran langsung adalah cara belajar di mana seorang anak diberi penghargaan atas perilakunya. Orangtua kulit putih yang tersenyum pada sang anak karena ia melihatnya menghindari berinteraksi dengan anak dari ras lain adalah bentuk ajaran langsung.

Sementara itu, cara belajar dari perilaku orang lain terjadi ketika seorang anak melihat seseorang didorong atau diminta untuk berperilaku dengan cara tertentu. Sebagai contoh, jika seorang anak melihat teman laki-lakinya disoraki karena memanggil nama teman perempuan dengan julukan kasar maka ia akan berpikir kalau sikap itu bisa diterima.

Terakhir, anak bisa belajar tentang prasangka lewat observasi. Observasi melibatkan proses imitasi perilaku atau sikap dari seseorang (orangtua atau teman sekelompok) atau media (buku serta televisi).

Maka dari itu, Kite dan Whitley menyimpulkan bahwa tiga sumber utama dalam proses belajar sosial (social learning process) adalah orangtua, teman sekelompok, dan media. Hal ini sesuai dengan pengalaman Tiara. Ia belajar tentang prasangka terhadap kawan beda etnis dari sang ayah ketika dirinya meminta uang buat Han.

Anak-anak sebenarnya telah menyadari etnisitas seseorang dan mampu mengelompokkannya sejak dini. Christia Spears Brown, Michelle Tam, dan Frances Aboud dalam “Ethnic Prejudice in Young Children in Indonesia: Intervention Attempts Using Multicultural Friendship Stories” (2018) mengatakan bahwa bayi berumur tiga bulan bisa membedakan berbagai macam etnis. Saat umur satu tahun, ia mulai bisa mengkategorikan orang dengan wajah dan jenis kelamin berbeda tapi berasal dari etnis yang sama. Brown dkk mengatakan bahwa warna kulit menjadi patokan sang bayi ketika mengelompokkan orang, sebab ia belum mengerti aspek sosial-budaya hingga umur 6 sampai 12 tahun (late childhood).

Berdasarkan riset dengan metode meta-analisis terhadap 113 penelitian, anak-anak diketahui mulai mengekspresikan prasangka sejak usia 3 tahun dan mulai menguat pada umur 7 tahun. Di titik ini, warna kulit menjadi dasar untuk menilai orang lain, sebab anak-anak masih mempunyai keterbatasan kognitif.

Lebih lanjut, prasangka yang tumbuh pada anak-anak ditunjukkan lewat perilaku berteman dengan kelompok dari etnis serupa (“in-group”) dibandingkan grup etnis lainnya (“out-group”). Brown dkk mengatakan ada perbedaan perlakuan anak-anak terhadap orang beretnis lain yang dipengaruhi konteks sosial. Sebagai contoh, anak kulit putih Australia lebih suka berteman dengan anak-anak Kepulauan Pasifik dan imigran Asia daripada bocah Aborigin yang dicap miskin dan berperilaku negatif.

Keberadaan prasangka pada anak-anak sejak dini lantas mendorong Brown dkk mendesain sebuah penelitian eksperimental yang memanfaatkan buku cerita persahabatan lintas etnis di Indonesia. Tujuannya untuk mengurangi prasangka anak-anak beretnis Jawa dan Sunda terhadap etnis Cina dan Papua. Brown dkk menjelaskan cara yang mungkin dilakukan untuk meredam kecurigaan adalah dengan menunjukkan anak-anak hubungan antarkelompok via media dan berbicara tentang prasangka secara terbuka.

Penelitian ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, sebanyak 138 anak yang duduk di bangku Taman Kanak-Kanak di Jakarta dan Bandung, termasuk 87 anak yang masuk ke grup intervensi menjadi partisipan. Intervensi, dalam hal ini, berarti pemberian perlakuan tertentu pada kelompok eksperimen. Selama dua hari, anak-anak di kelompok intervensi akan dibacakan dua cerita persahabatan lintas etnis per hari. Bagian kedua, sebanyak 20 anak yang mendapat penambahan perlakuan intervensi menjadi subjek penelitian. Selama lima minggu, mereka akan dibacakan lima kisah pertemanan beda etnis diikuti sesi diskusi saat kegiatan berakhir.

Umur partisipan bervariasi dari 4 hingga 7 tahun dan 55% di antaranya adalah laki-laki. Brown dkk sengaja menyasar anak usia dini (early childhood) sebab kelompok umur ini dianggap lebih fleksibel dalam menerima pengalaman inklusif yang mengurangi prasangka.

Hasilnya adalah intervensi berupa pembacaan buku cerita tak mempan meredam prasangka, terutama terhadap kelompok etnis Papua. Anak-anak konsisten memilih kelompok dari etnis yang sama dibandingkan grup orang Papua meski telah mendengarkan cerita positif tentang suku tersebut berkali-kali. Sebaliknya, anak-anak tidak membedakan penilaian positif antara grup mereka dengan kelompok etnis Cina. Mereka sama-sama menilai positif grup etnis Cina dan kelompok etnis Jawa atau Sunda.

Satu-satunya efek intervensi atau pemberian perlakuan lewat buku cerita adalah respons positif terhadap anak-anak lain meski partisipan tetap mempertahankan preferensi yang berbeda.

Cara Mereduksi Prasangka pada Anak-anak

Brown dkk menilai salah satu kemungkinan penyebab gagalnya intervensi yang mereka lakukan adalah minimnya pengalaman berinteraksi dengan orang Papua. Adanya kontak langsung dengan orang dari latar belakang lain oleh karenanya menjadi pintu masuk untuk mereduksi prasangka. Hal ini semakin diperkuat dengan temuan riset yang menunjukkan semakin banyak orang berhubungan dan bertatap muka dengan kelompok ras lain maka mengecil pula kecenderungan mereka memelihara prasangka negatif.

Tapi cara mereduksi prasangka pada anak-anak sebetulnya lebih kompleks dari penjelasan di atas. Frances E. Aboud dan Sheri R. Levy dalam “Interventions to Reduce Prejudice and Discrimination in Children and Adolescents” (2000) menjelaskan ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meredam prasangka pada anak. Cara-cara ini bisa diaplikasikan oleh institusi sekolah atau masing-masing individu.

Infografik Prasangka Pada Anak-Anak

Aboud dan Levy berkata pendidikan sekolah bisa menjadi cara mereduksi prasangka pada anak. Alasannya, institusi ini menyediakan relasi antar-individu yang setara dari segi status. Lewat kontak dengan murid lain, siswa diharapkan dapat berkomunikasi, melatih kemampuan bekerja sama, dan menciptakan hubungan saling menghargai.

Namun, Aboud dan Levy paham bahwa siswa tak selalu punya kesempatan untuk berhubungan dengan orang dari latar belakang berbeda. Maka dari itu, cara lain yang tak membutuhkan kontak langsung, yakni pendidikan multikultural selanjutnya bisa digunakan. Tipe intervensi ini berlandaskan pada teori sosialisasi di mana anak dianggap mengadopsi sikap dan perilaku dari orang terdekat lewat mekanisme seperti imitasi dan konformitas. Imitasi adalah proses meniru perilaku dan tindakan orang lain, sedangkan konformitas merupakan perubahan perilaku dan keyakinan sebagai hasil dari tekanan kelompok. Dengan pendidikan multikultural, anak diharapkan bisa membentuk ikatan, perilaku, dan norma yang positif terhadap hubungan dengan kelompok etnis atau ras lain.

Meski begitu, anak sering kali tak langsung paham tentang informasi dengan pesan melawan prasangka. Seringkali pula mereka telah terpapar bias prasangka tertentu. Hal ini menjadikan cara berupa pelatihan kemampuan sosial-kognitif dan pemanfaatan emosi lewat empati dan aktivitas bermain peran perlu dilakukan. Intervensi ini dinilai dapat mengasah kemampuan kognitif dan emosional anak yang berakibat pada berkurangnya prasangka. Di samping itu, cara ini juga memungkinkan terciptanya kolaborasi anak dalam kelompok.

Menurut Aboud dan Levy, prasangka pada anak-anak sering kali dianggap sepele dibandingkan jika terjadi pada remaja dan orang dewasa. Padahal, hal ini harus menjadi perhatian, sebab bahaya mengancam anak yang mempunyai prasangka dan mereka yang menjadi target kecurigaan tersebut.

Baca juga artikel terkait ANAK-ANAK atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf