tirto.id - Rina terpaksa menyekolahkan anak keduanya di Taman Kanak-kanak (TK) yang mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Sebab, saat mendaftar di Sekolah Dasar (SD) swasta di wilayah Pasar Minggu, anak pertamanya sempat ditanya mengenai kemampuan calistung. Maka, ia mempersiapkan kemampuan kemampuan calistung pada anak keduanya sedini mungkin.
Pengalaman serupa tak hanya dialami R. Banyak orangtua memaksa anaknya menguasai calistung karena kemampuan tersebut dijadikan prasyarat masuk SD. Para orangtua berlomba membuat buah hatinya menguasai materi yang tak sesuai umurnya. Bahkan, ada yang melakukannya secara sadar dan merasa bangga ketika anak balitanya sudah bisa membaca dan berhitung.
Baca juga:Anak Batita Diajari Membaca
Padahal, anak usia 3-6 tahun masih berada dalam periode sensitif atau masa peka. Masa yang diperuntukkan bagi fungsi tubuh tertentu dirangsang, diarahkan, agar tidak terhambat perkembangannya. Misalnya kemampuan berbicara. Jika tidak dirangsang, anak akan mengalami kesulitan berbicara.
Pada periode ini anak harus didorong untuk mengutarakan antusiasme dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Tujuannya: anak mampu mengembangkan prakarsa, daya kreatif, dan hal-hal produktif dalam bidang yang disenanginya.
Menurut Jean Piaget, ahli psikologi pendidikan dari Swiss, tahap perkembangan kognitif atau intelektual anak dibagi ke dalam empat periode. Periode pertama adalah tahap sensori-motor (0-2 tahun), di mana bayi menggunakan penginderaan dan aktivitas motorik dalam mengenal lingkungannya. Namun, penginderaan fase ini baru sebatas respons refleks, yang kemudian berkembang menirukan tindakan lalu orang lain. Karena masih bersifat meniru, pada tahap ini stimulus konkret perlu diberikan secara perlahan melalui pengulangan.
Baca juga:Dongeng Meningkatkan Kepekaan Otak
Periode kedua adalah tahap pra-operasional (2-7 tahun). Pada fase ini, kemampuan berbahasa anak sudah baik, tapi masih egosentris. Anak masih sulit melihat sesuatu dari perspektif berbeda. Misalnya, ketika mereka diperlihatkan sebuah gelas tinggi ramping dan sebuah gelas pendek dan lebar diisi dengan air sama banyaknya. Kebanyakan anak di usia ini menjawab bahwa ada lebih banyak air dalam gelas tinggi ramping.
Tahap ketiga adalah tahap operasional konkret (7-11 Tahun). Anak telah mampu memperlihatkan lebih dari satu dimensi secara serempak dan juga untuk menghubungkan dimensi-dimensi itu. Contohnya, mereka sudah mengetahui bahwa isi air dalam gelas ramping dan gelas lebar sama banyak. Meski begitu, pemikiran mereka masih terbatas pada operasi konkret dan belum bernalar mengenai abstraksi, proposisi hipotesis. Pendeknya, anak di umur ini belum bisa menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat konkret.
Pemahaman dalam memecahkan masalah secara verbal dan bersifat abstrak dicapai pada tahap keempat, yakni tahap operasional formal (11-16 tahun). Di tahap ini, anak sudah dapat membayangkan masalah dan mengembangkan hipotesis secara logis. Misalnya, saat melihat mobil mogok, maka anak akan menduga bensinnya habis, busi atau platinanya rusak, atau sebab lain yang memberikan dasar terjadinya mobil mogok.
Baca juga:Membaca Fiksi Membuat Kepribadian Lebih Baik
Dilarang Pemerintah
Jika dilihat dari tahap perkembangan, seharusnya pelajaran calistung diberikan saat tahap operasional konkret. Sebab, untuk memahami calistung, anak memerlukan cara berpikir terstruktur. Jika calistung diajarkan pada anak usia di bawah 7 tahun, anak dikuatirkan akan kehilangan periode emas tadi. Masa bermainnya hilang, sehingga kehilangan gairah belajar.
“Kadang anak bisa mogok sekolah. Karena dia merasa dipaksa melakukan hal yang tidak disuka,” kata psikolog pendidikan anak, Henny Rusmiati kepada Tirto.
Secara psikis, anak akan mengalami tekanan karena harus menguasai materi yang tidak disukai. Jika proses ini terus berlanjut, bisa mengganggu proses belajar di masa mendatang. Otak dan mental mereka sudah jenuh ketika berada pada jenjang pendidikan lebih tinggi yang menuntut pembelajaran serius dan fokus.
Baca juga:Potret Anak Indonesia, Lemah Nalar Karena Kurang Membaca
Calistung yang terburu-buru akan mengubah anak menjadi pemberontak, merasa jenuh dan bosan. Kondisi tersebut dapat membuat gangguan berkomunikasi, gangguan pengendalian emosi, stres, depresi dan gangguan perilaku lainnya pada masa usia emas anak.
“Jika sudah seperti ini, malah akan hilang semua informasi yang diberikan,” ujarnya.
Henny membenarkan bahwa tuntutan anak untuk mampu calistung di awal SD sudah lama terjadi. Hal itulah yang juga mendorong penyelenggara PAUD mengajarkan calistung bagi anak didiknya. Padahal, praktik ini dilarang oleh Peraturan Pemerintah (PP) No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Pasal 69 Ayat 5 menyebut bahwa penerimaan siswa baru kelas I SD atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan calistung atau bentuk tes lain. Syarat masuk SD cukup berusia paling rendah enam tahun atau atas dasar rekomendasi tertulis dari psikolog profesional. Penyelenggara PAUD bukan tidak mengerti aturan ini, tapi terkadang pihak orangtua menuntut agar sekolah mengajarkan calistung untuk anaknya.
Psikolog ini juga pernah menemukan pelajaran berhitung tiga deret ke bawah diajarkan kepada anak TK. Padahal, konsep tersebut masih sulit dipahami oleh anak TK. Untuk tataran TK, kemampuan menghapal nama teman sudah bisa dianggap cukup.
“Boleh saja mengenalkan calistung awal pada anak, tapi harus disampaikan dengan cara menyenangkan. Jangan terlalu serius dan menuntut hasil akhir saat itu juga.”
Pengenalan berhitung pada anak di bawah usia 7 tahun, katanya, bisa dimulai dengan menyebut-angka-angka sembari bermain. Misalnya dengan bersama-sama menaiki anak tangga sambil berhitung, atau bernyanyi. Sementara itu, pengenalan membaca bagi anak cukup dengan meminta mereka membaca kalimat gabungan 2 kata, seperti “Ini Ibu, Ini Ayah, Ibu Budi.”
“Jika pengenalan berlangsung menyenangkan, anak-anak akan memunculkan ingatan informasi itu saat mereka butuh,” pungkas Henny.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani