tirto.id - Momen liburan anak sekolah baru saja usai. Di tengah ragam hiburan canggih yang menggempur dunia anak masa kini, mungkin tak sedikit dari kamu yang teringat akan kegiatan bersantai yang lebih sederhana di masa lalu. Salah satunya menyetel televisi untuk menyaksikan panggung boneka.
Ada Kak Seto yang sedang bercerita tentang macet Jakarta karena si Komo lewat. Ada pula Pak Raden yang piawai dalam menggambar dan mendongeng.
Selain itu, masih ada Kak Ria dengan boneka yang ceplas-ceplos, Susan. Tak ketinggalan juga cerita seru dari Si Unyil, Pak Ogah, dan teman-temannya.
Kamu yang termasuk angkatan Milenial pasti familiar dengan tokoh-tokoh dalam program populer zaman kanak-kanak dulu.
Sayangnya, acara dengan teknik bercerita demikian kian jarang ditemui di saluran televisi pada hari ini.
Latifah menggunakan instrumen pengukuran kecerdasan moral yang dilakukan dua kali, sebelum diberikan perlakuan (pra-tes) dan sesudahnya (pasca-tes).
Hasilnya, terdapat perbedaan tingkat pencapaian kecerdasan moral anak-anak prasekolah antara mereka yang dibimbing nilai moral dengan metode bercerita dan mereka yang tidak menerimanya.
Hasil analisis juga menunjukkan selisih perbedaan kecerdasan moral sebelum mereka menerima bimbingan nilai moral melalui metode bercerita dan setelah menerimanya, sebesar 34 persen.
Coba diingat-ingat lagi, selagi baca cerpen atau novel, apa kamu pernah merasa seakan-seakan tersedot masuk dalam ceritanya? Atau ikut marah, menangis, geregetan saat nonton film?
Kenapa cerita dapat menginspirasi, menggerakkan manusia untuk menangis, mengubah sikap, opini, perilaku, bahkan mengubah otak menjadi lebih baik?
Paul J. Zak, dosen ekonomi, psikologi, dan manajemen dari Claremont Graduate University pernah mengulas alasannya.
Dalam artikel di Greater Good Magazine yang diterbitkan University of California, Berkeley, Zak menjelaskan, sebagai makhluk sosial yang secara teratur berinteraksi dengan orang asing, cerita merupakan cara yang efektif untuk mengirimkan informasi penting dan nilai-nilai.
Cerita yang personal dan emosional akan lebih menarik otak dan lebih mudah diingat daripada sekadar mengemukakan fakta-fakta.
Dalam eksperimennya, Zak menyuguhkan para responden dengan film tentang seorang anak yang akan meninggal karena kanker sehingga sang ayah berusaha membahagiakannya di akhir hidupnya.
Dari perspektif cerita, cara untuk menjaga perhatian penonton adalah dengan meningkatkan ketegangan dalam cerita.
Saat perhatian terjaga, otak kita menghasilkan tanda-tanda gairah, seiring detak jantung dan napas jadi lebih cepat, hormon stres dilepaskan, dan fokus lebih tinggi. Setelah babak cerita yang menegangkan itu mencuri perhatian kita, emosi kita pun mulai beresonansi dengan karakter cerita.
Naratolog menyebutnya dengan istilah “transportasi”. Kala itu, telapak tangan penonton bisa saja berkeringat ketika melihat James Bond memukuli penjahat di atas kereta api yang melaju kencang.
“Transportasi” merupakan reaksi saraf yang menakjubkan. Penonton sadar betul bahwa gambar yang ditontonnya adalah fiksi, namun bagian evolusioner lama otak mensimulasikan emosi agar ikut merasa emosi dalam layar.
Responden yang menonton film sedih tentang anak penderita kanker dan ayahnya juga dinyatakan memiliki perhatian lebih empatik dan lebih bahagia.
Zak menulis, “Kami sudah menggunakan [studi] ini untuk membangun model prediktif yang menjelaskan alasan kenapa sekitar setengah dari pemirsa menyumbang untuk amal kanker anak setelah menonton video. Kenapa sebagian merespons begitu, kenapa lainnya tidak.”
Hasil lainnya menunjukkan, adegan ayah dan anak berbicara di depan kamera lebih membuat penonton masuk dalam cerita daripada harus membaca apa yang kedua karakter lakukan.
Teori tersebut menjelaskan kenapa penonton lebih mudah menangis saat nonton film dibandingkan ketika membaca novel.
Selain mempengaruhi penonton agar turut hanyut dalam alurnya, cerita terbukti dapat meningkatkan kepekaan moral anak. Ada baiknya, anak-anak diperkenalkan dengan berbagai macam cerita sejak dini untuk penanaman nilai moral dibandingkan harus mendengarkan nasihat belaka.
Temuan utama studi menunjukkan bahwa pendidikan moral dianggap sebagai bahan pelengkap di TK-TK di Indonesia, di mana beberapa guru memakai cerita sebagai pendidikan moral di TK.
Kedua, guru memainkan peran penting dalam membantu anak-anak memahami cerita dan menangkap pesan dari cerita. Oleh karena itu, guru ditantang untuk mengeksplorasi konten cerita dan membantu anak-anak menghubungkan cerita dengan kehidupan sehari-hari anak.
Ketiga, perspektif guru dalam melihat moralitas mempengaruhi cara mereka menyampaikan nilai-nilai moral dalam cerita kepada anak.
Pendongeng profesional Ariyo Zidni mengatakan, metode dongeng yang baik tak hanya memberikan sumbangan terhadap perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah, melainkan juga anak pada umumnya. Sebab, dengan disuguhi cerita, anak dapat dididik tanpa merasa dihakimi.
“Metodenya saya sebut mengatakan tapi tidak mengatakan. Tidak seperti menasihati, yang ngasih tahu tanpa memberi contoh. Dengan cerita, anak bisa menangkap amanat dan mengamalkannya,” jelas pendongeng yang disapa Kak Aio ini.
Ketua komunitas Ayo Dongeng ini juga menyarankan orang tua atau guru sebagai pendongeng anak agar mempersiapkan materi cerita yang santai dan membawakannya secara komunikatif.
Agar anak dapat menerima materi cerita secara wajar, sebaiknya pemilihan materi juga harus disesuaikan dengan minat anak.
Menurut pengalamannya, dari sisi imajinasi, anak-anak yang sering mendengar cerita akan lebih aktif merespons saat dihadapkan pada suatu situasi, lebih aktif dengan banyak bertanya, dan lebih imajinatif, sementara anak yang dibacakan cerita dari buku cenderung punya kosakata lebih banyak.
“Dongeng itu kekuatannya repetitif, anak yang sering dibacakan buku atau didongengkan bisa menangkap moral value di cerita, lebih santun, dan interpersonal skill-nya lebih baik,” kata Kak Aio.
Sebagai tips mendongeng, Kak Aio tekankan agar orang tua dan guru tidak membuat kesimpulan isi di akhir cerita.
Hal tersebut berpotensi menghancurkan imajinasi anak dan membuatnya seolah mendengarkan ceramah.
Sebaiknya, akhiri penyampaian dongeng dengan pertanyaan terbuka seperti, “Menurutmu bagaimana ceritanya tadi?”
* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 12 Maret 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional diajeng.
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih