tirto.id - Ewan Maloney memulai laman petisi change.org pada Senin (21/5/2018) untuk meminta dukungan mengganti kata “no” menjadi “yesn't”. Petisi tersebut pada 10 Juli telah ditandatangani oleh 47,7 ribu warganet. Tak ada latar belakang dan alasan rinci dari Maloney saat mengajukan petisi. Yang jelas, beberapa pengikutnya percaya, mengubah kata “no” menjadi positif akan membawa energi baik pada kehidupan mereka.
Awalnya, kata “yesn't” tidak bermakna sama dengan “no”. “Yesn't” lebih diartikan sebagai “mungkin ya dan mungkin tidak.” Namun, dalam perkembangannya, “yesn't” berubah makna menjadi “tidak”. Bahkan, kamus Urban Dictionary telah mencantumkan arti “yesn't” menjadi “tidak”.
Bagaimana mekanisme tubuh ketika menerima kata-kata positif?
John Eccles, seorang neurofisiolog yang memenangkan nobel bidang kedokteran pada tahun 1963 menemukan transmisi sinyal spesifik di antara neuron otak. Seperti ditulis dalam laman Psychology Today, ia kemudian melanjutkan penelitian pada 1970 dengan fokus penelitian terhadap aktivitas serupa pada korteks serebral, tempat penalaran lebih tinggi dan pengawas pergerakan tubuh.
Eccles menyimpulkan, beberapa milidetik sebelum seseorang bertindak, terdapat kerja neuron spesifik di korteks yang mengeluarkan sinyal lonjakan listrik. Tujuannya untuk mengisyaratkan neuron motorik bergerak. Mekanisme tersebut kemudian memicu efek domino dari ribuan neuron hingga menarik miliaran sinapsis.
Ketika seseorang membaca kata positif seperti “pergi, lompat, atau serang”, tubuh berada dalam kondisi menyala akibat sinyal lonjakan listrik dari korteks. Sebaliknya, saklar tubuh akan mati ketika membaca kata “berhenti, duduk, menyerah”. Percikan listrik itu juga bisa dilihat dari fMRI pencitraan otak ketika tindakan seseorang dipengaruhi saklar tubuh yang menyala atau mati.
Ucapan Memengaruhi Kesehatan
Penelitian lainnya tentang perubahan otak akibat kata-kata juga telah dibukukan oleh Andrew Newberg, M.D. dan Mark Robert Waldman dalam judul “ Words Can Change Your Brain”. Dua orang ini menyimpulkan bahwa satu kata punya kekuatan memengaruhi gen yang mengatur tekanan fisik dan emosional.
Kata-kata positif seperti “kedamaian” dan “cinta” memperkuat area lobus frontal, bagian otak yang bertindak sebagai pembangkit listrik kepribadian, emosi, kreativitas, mobilitas, dan memori. Mereka mendorong pusat-pusat motivasi otak ke dalam tindakan dan menciptakan perisai dari rasa stres.
Sebaliknya, kata-kata yang tidak bersahabat akan mengganggu gen tertentu yang memainkan peranan penting dalam produksi zat kimia saraf pelindung stres. Ia justru membikin lonjakan hormon penghasil stres dan neurotransmiter, mengganggu fungsi otak yang berkaitan dengan logika dan bahasa.
“Kata-kata [negatif] itu mengirim pesan ke otak dan menutup sebagian pusat logika dan penalaran yang terletak di lobus frontal,” tulis Newberg dan Waldman.
Semakin lama dan banyak sugesti positif yang diberikan pada tubuh maka fungsi di lobus parietalis juga akan berubah. Efeknya: citra diri dan orang lain akan menjadi positif, mempermudah kita melihat kebaikan pada orang lain dan terhindar dari stres. Citra diri negatif membuat perasaan menjadi penuh curiga, ragu, dan mudah stres.
Penelitian lanjutan oleh Alexander Ritter, dkk pada tahun 2016 memperkuat bukti bahwa kata-kata berpengaruh pada kesehatan. Selain membikin stres, dilihat dari pemindai fMRI, kata-kata negatif ternyata berhubungan dengan rasa nyeri karena mengaktifkan jaringan daerah otak termasuk korteks singular dan insula.
Peneliti melihat efek kata-kata yang berhubungan dengan rasa sakit, negatif, positif, dan netral pada pasien kontrol kesehatan dan pasien nyeri punggung kronis. Hasilnya kata-kata yang berhubungan dengan nyeri dan kata-kata negatif menunjukkan hubungan linier negatif dengan nyeri pasien. Kata-kata tersebut mengaktifkan jaringan otak yang menyejajarkannya dengan rangsang bahaya. Singkatnya intervensi kata negatif memperburuk keadaan pasien.
Meski begitu, dr. Jiemi Ardian, seorang dokter ahli kejiwaan sekaligus hipnoterapi, mengatakan secara umum kalimat positif memang dapat membawa sugesti baik bagi kehidupan, apalagi disisipkan saat peralihan kesadaran. Namun, jika kalimat positif dilakukan dalam komunikasi sadar, keberhasilan komunikasi sangat bergantung dari respons lawan bicara.
“Meski sebagian orang berhasil [menerima kalimat positif]. Tapi tidak semua orang merespons baik kalimat-kalimat tersebut,” jawabnya ketika saya menanyakan efektivitas berkomunikasi dengan kalimat-kalimat positif.
Di sisi lain, Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence juga mengungkapkan pentingnya mengatakan tidak/no pada anak. Orangtua perlu menerapkan kata tersebut dalam pola pendidikan karena anak perlu belajar kesabaran, keseimbangan, nilai-nilai, dan kode perilaku yang jelas.
"Sama pentingnya menetapkan batas dan mengatakan tidak/no sebagaimana mereka dapat mengatakan YA," tulis Goleman dalam buku tersebut.
Lagipula, mengganti kata no dengan yesn't tentu akan membikin susah karena khalayak pemakai bahasa Inggris harus mengganti semua makna dalam kamus, dan kalimat yang tersebar di internet, buku, jurnal yang mengandung kata "no".
Editor: Maulida Sri Handayani