tirto.id - “Kemarin aku baca Ramayana, Saudara-saudara, Ramayana! Di dalam Kitab Ramayana itu ada disebut suatu negeri. Namanya negeri Uttara Kuru … di negeri Uttara Kuru itu nggak ada panas yang terlalu, nggak ada dingin yang terlalu. Nggak ada manis yang terlalu, nggak ada pahit yang terlalu. Segalanya itu tenang, tenang. Ora ana panas, ora ana adem. Tidak ada gelap tidak ada terang yang cemerlang. Adem tentrem kadya siniram, banyu ayu sewindu lawase.
“Di dalam Kitab Ramayana itu sudah dikatakan, hmm, negeri yang begini tidak bisa menjadi negeri yang besar! Sebab tidak ada, oh, up and down! Up and down! Perjuangan tidak ada! Semuanya adem tentrem. Senang, senang pun tidak terlalu senang. Sudah, tenang, tenang Uttara Kuru.
“Apakah engkau ingin disebut bangsa yang demikian, Saudara-saudara? Tidak! Kita tidak ingin menjadi suatu bangsa yang demikian. Kita ingin menjadi suatu bangsa yang seperti tiap hari digembleng oleh keadaan. Digembleng, hampir hancur lebur, bangun kembali! Digembleng, hampir hancur lebur, bangun kembali!”
Itu adalah tukilan pidato Presiden Soekarno pada peringatan Maulid Nabi tahun 1963. Sebagaimana biasa, saat itu gelora Paduka jang Mulia bersambut. Kata-kata yang ia sampaikan serupa api menyambar semak kering. Rakyat bertempik sorak dan percaya: kesulitan hidup yang sehari-hari menggilas mereka ialah latihan, ialah pengorbanan kecil buat menjadi bangsa yang besar.
Tak jelas apakah kebesaran yang dimaksud Soekarno sama dengan kemakmuran atau sekadar bengkak dan babak-belur seperti seorang demonstran habis kena gempur tentara. Yang terang, membiasakan diri berada di kubangan lumpur tidak membikin kerbau jadi bersih di masa mendatang. Tak ada hubungan kausal di antara keduanya. Kemiskinan adalah kemiskinan, sementara gemblengan keadaan yang berlangsung terus-menerus ialah bukti keras bahwa penyelenggaraan negara belum berhasil. Tapi, berkat keterampilan bicaranya, Soekarno jadi tak perlu meminta maaf kepada rakyat dan malah membikin semangat mereka berkobar.
“Jangan tanyakan apa yang negara sudah berikan kepadamu, tetapi apa yang telah kau berikan buat negara,” ujar para patriot di mana saja di planet ini saban menjumpai kritik terhadap negara. Sepintas, pernyataan itu terkesan benar, mendalam, dan mencerahkan. Padahal ia keliru. Negara adalah alat yang diciptakan suatu bangsa untuk melindungi, melaksanakan kepentingan, serta mencapai cita-cita bersama para anggotanya. Buat apa, misalnya, habis-habisan merawat sepeda motor yang bahkan tak dapat mengantarkanmu membeli bubur ayam di gang sebelah?
“Patriot,” kata Mark Twain, “adalah orang yang berteriak paling kencang tanpa tahu apa yang ia teriakkan.” Dan Lord Byron, penyair Inggris awal abad ke-19, pernah bertanya dengan masygul: “Untuk apa, sih, para patriot itu dilahirkan? Berburu, ikut pemilu, dan menaikkan harga jagung?”
Tetapi cukuplah tentang negara dan para pembelanya yang terlampau bergairah. Orang meyakini pandangan-pandangan yang keliru atau tidak jelas sebab kena pukau “kata-kata bijaksana/inspiratif/mendalam” bukan hanya dalam perkara itu, melainkan juga urusan-urusan lain, mulai dari relijiusitas, cinta, hingga bisnis.
“Sederhanakanlah cara berpikirmu,” ujar Mario Teguh dalam video berjudul Cara Mengerti Dunia dengan Lebih Jelas yang terpacak di YouTube. “Sederhana itu hukum sebab-akibat. Kalau nggak ada, maka; kalau tinggi, maka; kalau mengabaikan, maka. Ini kan sederhana. Hiduplah dengan baik supaya sedikit keburukan yang terjadi dalam hidupmu. Sederhana. Jauhi keburukan supaya lebih banyak kebaikan dalam hidupmu.”
Hukum sebab-akibat memang sederhana, tetapi Mario tidak memahaminya.
Tidak ada hubungan kausal antara “hidup dengan baik” dan “mengalami sedikit keburukan” sebagaimana, misalnya, antara hantaman batu (+ kerapuhan kaca) dan kaca pecah. Kesalahan Mario itu dikenal dengan nama ilusi kausalitas. Menurut Helena Matute dkk. dalam jurnal Frontiers in Psychology, ilusi kausalitas lumrah mendasari pseudosains dan pikiran klenik, yang umumnya berujung pada konsekuensi-konsekuensi mengerikan dalam urusan-urusan penting dalam hidup, seperti kesehatan, keuangan, dan kesejahteraan.
Situs RedMario.com yang dikelola oleh komunitas Mario Teguh Super Club (MTSC) menyediakan 16.270 nasihat kepada anggota situs tersebut. Jika Anda bukan anggota, penelusuran dengan kata-kata kunci di kotak pencarian hanya akan menghasilkan keterangan jumlah nasihat yang mengandung kata kunci tersebut. Ada 3.432 nasihat yang mengandung kata Tuhan, 2.059 nasihat mengandung cinta, 412 mengandung kaya, 2 sampah, dan 1 busuk.
Meski tak sanggup memahami hal mendasar seperti hukum sebab-akibat, Mario percaya diri dan terampil bicara berputar-putar dan suaranya empuk. Menurut data dari manajemennya pada 2013, tarif jasa motivator yang senang menyapa audiens dengan “Salam Super” (seakan-akan mereka adalah anggota Justice League) ini adalah 110 juta rupiah per jam. Andai tempat pelatihan agak sukar dicapai, tentu lebih mahal. Tarif jasa Mario adalah yang tertinggi di Indonesia. Andrie Wongso, menurut penulis buku-buku motivasi Wuryanano Raden, lazim dibayar 30 juta per dua jam. Sedangkan satu jam bersama Bong Chandra, menurut buku Unlimited Wealth, bernilai 10 juta rupiah.
Berikut ini satu kutipan lagi dari akun Instagram Mario Teguh: “Terkadang kita dimasukkan ke dalam kesulitan agar kita menerima bahwa kemampuan kita tidak cukup, dan bahwa Tuhan-lah yang melebihkan.”
Anda menyukai kutipan itu dan merasa tercerahkan olehnya?
November 2015, kandidat Ph.D. Gordon Pennycook dan sebuah tim peneliti dari University of Waterloo menerbitkan sebuah laporan berjudul “On the Reception and Detection of Pseudo-profound Bullshit.” Kepada Huffington Post, Pennycook berkata: “Saya berpikir apakah orang-orang sungguh menganggap omong kosong yang mencolok [sebagaimana dalam situs parodi New Age Bullshit Generator] sebagai nasihat yang bijak dan mendalam. Penelitian ini bermula dari titik itu.”
Definisi omong kosong menurut penelitian Pennycook ialah ungkapan-ungkapan yang tidak bermakna apa-apa tapi terkesan dahsyat. Misalnya: “Makna tersembunyi menciptakan keindahan niskala yang tiada banding” dan “kita berada di simpang antara hasrat dan perubahan.”
Tim peneliti menulis: “Meskipun pernyataan-pernyataan itu terkesan menyingkapkan makna yang boleh jadi mendalam, ia sebetulnya cuma himpunan kata-kata yang ditaruh secara acak sesuai struktur kalimat.”
Sekitar 800 subjek diminta menilai kedalaman kalimat-kalimat omong kosong tersebut dalam skala satu sampai lima. Selain itu, para peneliti juga memeriksa sejumlah hal terkait kepribadian para responden, mencari tahu bagaimana responden memandang diri dan dunia di sekitarnya. Salah satu hasil utama penelitian itu: orang-orang yang cenderung menerima dan menilai tinggi pernyataan-pernyataan omong kosong itu terbukti adalah orang-orang yang “kurang reflektif” dan lemah dalam kemampuan kognitif. Mereka juga rentan terhadap wabah ide-ide konspirasi.
Para pendengar pidato Soekarno 53 tahun silam, yang terhasut untuk bertahan dalam pelbagai kesulitan hidup demi menjadi bangsa besar, dapat dibela memakai teori-teori psikologi kerumunan. "Akal kerumunan", menurut sejumlah penelitian, tak dapat disamakan dengan akal individu-individu yang menyusunnya. Singkatnya, kerumunan lumrah lebih tolol.
Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang secara pribadi gemar mencari daya hidup alias motivasi dari mulut Mario Teguh atau Deepak Chopra? Tentang merekalah penelitian Gordon Pennycook berbicara.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Dea Anugrah