Menuju konten utama

Masa Orientasi Sekolah Tak Seharusnya Jadi Ajang Kekerasan

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) atau masa orientasi atau masa perpeloncoan adalah kegiatan yang rawan ajang kekerasan.

Masa Orientasi Sekolah Tak Seharusnya Jadi Ajang Kekerasan
Sejumlah murid kelas 7 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 19 Surabaya melihat isi komposter saat mengikuti Layanan Orientasi Siswa (LOS) di halaman sekolah mereka di Surabaya, Jawa Timur, Senin (17/7). ANTARA FOTO/Moch Asim

tirto.id - Pada sebuah malam di bulan Oktober, empat tahun lalu, Sayyidina bersama teman-temannya sesama pelajar angkatan baru di sebuah akademi maritim, Jawa Tengah, dikumpulkan di dalam satu ruangan. Para senior mengajak mereka saling berkenalan dan berbincang satu sama lain.

Setelah obrolan mulai cair, para senior mulai mencari-cari kesalahan para juniornya. Awalnya, mereka memerintahkan pria yang akrab dipanggil Sayyid ini untuk mengobrol dengan salah satu seniornya. Namun, setelah Sayyid melakukan perintah itu, ia malah dihukum dengan vonis "kebanyakan ngobrol."

"Mereka mencari-cari kesalahan sepele. Mereka suruh saya ngobrol, tapi tiba-tiba dia marah. Katanya saya banyak ngobrol," kata Sayyid. Ia kemudian mendapat bogem mentah, ditampar, dan diminta untuk push-up. Beruntung, ia tidak mengalami cedera yang berarti, sementara temannya ada yang mengalami luka lebih berat.

"Teman saya ada yang sampai berdarah pada bagian bibir, dan kuping berdenging," ujar Sayyid. Menurutnya, kejadian tersebut merupakan bentuk balas dendam seorang senior yang juga mendapat perlakukan serupa dari senior mereka.

Kisah serupa dialami Andryan Raka Putra, 7 tahun lalu, saat ia menjadi siswa baru di sebuah SMK di Bogor, Jawa Barat. Andryan bersama teman-temannya mesti melewati masa pelantikan demi mendapatkan baju khusus. Dalam masa pelantikan tersebut, mereka diwajibkan untuk mengitari satu kampung di daerah Semplak, Kota Bogor. Senior selaku panitia menyiapkan beberapa pos yang harus dilewati, dan tiap-tiap pos para peserta wajib push-up ratusan kali.

Selain itu, di pos tersebut Andryan mengaku mendapat hukuman karena dirinya tidak dapat menjawab pertanyaan dari sebuah mata pelajaran komputer. "Saya digebukin di bagian perut," kata Andryan. Ia juga dikata-katai dengan umpatan kasar dan diperlakukan dengan tidak layak.

"Maskeran pake tanah dicampur kotoran senior juga pernah," ujarnya.

Asal-usul Masa Orientasi

Masa orientasi siswa, yang kini memakai nama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), bukanlah hal baru di negeri ini. Tradisi ini sudah terjadi sejak era kolonial. Di Stovia, sekolah kedokteran yang merupakan cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Perpeloncoan digelar sebagai masa perkenalan antara peserta didik yang baru masuk dengan para seniornya.

Menurut R. Darmanto Djojodibroto dalam bukunya Tradisi Kehidupan Akademik (2004), masa orientasi siswa ini dulu lebih dikenal dengan sebutan perpeloncoan atau dalam bahasa Belanda disebut dengan ontgroening. Ia mencatat kegiatan ini dilakukan tidak secara resmi atas nama institusi pendidikan, melainkan oleh masyarakat peserta didik Stovia. Ia dilaksanakan di asrama--tempat mahasiswa tinggal--selama tiga bulan pada sore hari di luar jam belajar.

Kegiatan perpeloncoan ketika itu dianggap memberi memberi manfaat kepada para junior: menciptakan keakraban di antara anggota masyarakat siswa, dan para senior menjadi mentor yang mampu membimbing para juniornya. "Hukuman", tulis Darmanto, dimaksudkan untuk menghadirkan peristiwa lucu yang dapat dikenang.

Setelah Indonesia merdeka, kegiatan perpeloncoan terus masih terus dilaksanakan. Mahasiwa yang hendak menjadi anggota masyarakat mahasiswa haruslah terlebih dahulu melalui masa perpeloncoan ini. Mahasiswa baru boleh saja tidak mengikuti kegiatan orientasi siswa, tapi mereka harus menghadapi konsekuensinya: tidak bisa mengikuti kegiatan masyarakat mahasiswa, misalnya inaugurasi.

Dalam sejarahnya, terdapat peristiwa penolakan terhadap perpeloncoan. Menurut Darmanto, pada saat itu, organisasi-organisasi masyarakat berpaham komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) menolak perpeloncoan karena menganggapnya sebagai tradisi kolonial.

Oleh karena itu, pemerintahan Sukarno sempat melarang kegiatan semacam ini dan mengganti istilah perpeloncoan dengan sebutan lain. Tidak hanya namanya yang diubah, wewenang penyelenggaraannya pun diambil alih oleh institusi pendidikan. Ia jadi kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru.

Infografik Belajar dihajar di sekolah

Kekerasan dalam Masa Orientasi

Masih menurut Darmanto, ketika kegiatan orientasi siswa baru masih bernama perpeloncoan, kegiatan ini tidak menghasilkan korban. Namun, setelah namanya diganti dengan tujuan agar tidak bersifat feodal kolonial, malah terjadi kekerasan yang mengakibatkan cedera hingga merenggut nyawa. Ada yang menjadi korban karena cedera terkena air keras, bahkan ada pula yang meninggal karena sakit kelelahan.

Jejen Musfah dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan (2016) mencatat beberapa model orientasi siswa yang dapat memicu para senior melakukan kekerasan terhadap juniornya. Pertama, senior memerintahkan junior berpakaian tidak lazim. Siswa perempuan, misalnya, diwajibkan untuk mengikat rambut menggunakan pita warna-warni ditambah hiasan permen. Laki-laki biasanya disuruh mengenakan dasi dari tali plastik dan pada bagian bahunya dipasangi kemasan biskuit.

Kedua, siswa baru diminta membawa sejumlah minuman, snack, dan sembako ataupun barang lain yang dinilai memberatkan siswa. Meski pengumpulan sembako dipakai untuk bakti sosial, hal tersebut tetap melanggar Permendikbud No. 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Peserta Didik: sekolah dilarang memungut biaya apa pun dari siswa.

Ketiga, ada praktik eksploitasi aktivitas fisik: hukuman berjemur, push up, sit up.

Jejen menekankan kegiatan orientasi yang luput dari pengawasan guru. Tanpa kontrol guru, orientasi siswa hanya akan menjadi ajang “unjuk taring” senior kepada juniornya.

Senada dengan Jejen, pengamat pendidikan Arief Rahman Hakim mengatakan kekerasan seharusnya tak terjadi saat masa orientasi siswa. Caranya, kegiatan tersebut harus diawasi.

"Pengawasannya harus benar. Di sekolah itu kan ada kepala sekolahnya, ada OSIS. Mereka harus mengawasi setiap kegiatan tersebut," kata Arief saat dihubungi Tirto.

Guru besar Universitas Negeri Jakarta ini mengatakan kegiatan orientasi siswa sangat penting untuk siswa baru agar siswa lebih mengenal sekolah tempat belajar barunya.

"Dengan adanya masa MOS, siswa jadi tahu di mana mereka belajar nanti, di mana ruang tata usaha, dan semua lingkungan yang ada di sekolah. Misalnya di tempat yang saya naungi itu, mereka tahu bagaimana pinjam buku di perpustakaan karena ikut kegiatan orientasi," imbuhnya.

Keakraban antara senior dan junior dalam satu sekolah juga tak kalah penting. "Kemarin di tempat saya, antara senior dan junior terlihat sangat kompak saat dibuat kegiatan menari dan bernyanyi bersama," pungkasnya.

Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengimbau kepada seluruh penyelenggara pendidikan untuk memastikan proses pengenalan lingkungan sekolah harus bebas dari tindak kekerasan dan perisakan. Komisioner KPAI Jasra Putra meminta kepala sekolah dan guru untuk melakukan pendampingan secara baik kepada anak didik.

Sekolah juga harus menjelaskan bahwa perpeloncoan dan bullying merupakan tindakan yang tidak diperbolehkan. "Dibutuhkan kerjasama antara guru, orang tua, komite sekolah, dinas pendidikan termasuk peserta didik," tegasnya.

Baca juga artikel terkait PENERIMAAN SISWA BARU atau tulisan lainnya dari Ramdan Febrian

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Ramdan Febrian
Editor: Maulida Sri Handayani