Menuju konten utama

Selamat Tinggal, Pekerjaan Rumah!

Semakin banyak guru yang menghapuskan pekerjaan rumah untuk murid-muridnya. Selama guru tidak memiliki konsep yang benar, maka pemberian PR akan cenderung membuat siswa tidak bahagia.

Selamat Tinggal, Pekerjaan Rumah!
Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - “Belum apa-apa, Brooke sudah sayang sekali pada guru barunya,” tulis Samanta Gallagher pada laman Facebook-nya Agustus lalu. Bersama status itu ia melampirkan foto sebuah surat dari wali kelas Brooke, anaknya yang baru naik kelas dua sekolah dasar.

Surat itu berjudul “Kebijakan Baru tentang Pekerjaan Rumah”. Isinya kurang lebih pemberitahuan pada orang tua kalau wali kelas ini tak akan memberikan anak-anak mereka pekerjaan rumah alias PR sampai akhir tahun. Kebijakan itu diambil karena wali kelas Brooke menilai tak ada penelitian yang membuktikan PR meningkatkan performa siswa.

“Karenanya saya menyarankan Anda untuk melakukan hal yang sudah terbukti berpengaruh pada kesuksesan siswa. Makan malam dan membaca bersama keluarga, jalan-jalan keluar rumah, dan antarkan anakmu tidur cepat,” tulis sang wali kelas dalam surat itu.

Samanta mengunggah foto surat itu sebagai tanda kegembiraan. Tak hanya dirinya, ada 48 temannya yang menyukai status itu, 13 lain menekan “love”. Semua komentar yang muncul juga mendukung sang wali kelas. Bahkan, 72.850 akun lainnya telah membagikan unggahan itu.

Unggahan Samanta menjadi viral. Sang wali kelas bernama Brandy Young itupun menjadi tenar. Guru asal Texas ini melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan guru lain sebelumnya. Sebulan kemudian, sejumlah media melaporkan angka sekolah dasar yang mengikuti jejak Young terus menanjak. Salah satunya Kimberly Mitchell, guru kelas 4 dari Arlington, Virginia. Seperti yang dilaporkan USA Today, Kimberly menuruti kehendak para muridnya yang enggan dibebankan PR setelah jam sekolah selesai.

“Aku jadi stress,” kata salah satu murid Kimberly. Yang lainnya bilang, “Aku merasa diburu-buru di rumah. Dan seperti tak punya waktu main di luar rumah.”

Keluhan seperti itulah yang menginspirasi Young menghapuskan PR. “[Siswa] sudah kerja keras di siang hari. Saat pulang ke rumah, mereka punya hal lain untuk dipelajari. Aku ingin mengembangkan karakter mereka; dan tujuan itu tak berfaedah kalau mereka dibebankan sejumlah tugas sama seperti di sekolah,” kata Young pada CBS News.

Selain Kimberly, sejumlah sekolah lain turut mengikuti jejak Young. Di antaranya sekolah dasar di Vermont, Fruithurst, dan Oakridge.

Tak sampai sebulan jaraknya, di Indonesia adalah Dedi Mulyadi yang melakukan aksi kontroversi serupa Young. Bupati Purwakarta ini mengeluarkan surat edaran Bupati untuk melarang sekolah negeri memberikan PR pada muridnya. Aksi Dedi lebih bombastis. Tak hanya sekolah dasar, SMP dan SMA juga turut dilarang. Namun, alasan Dedi lebih sederhana. Seperti dilansir dari Liputan6.com, Ia beralasan, selama ini PR yang diberikan kepada siswa umumnya berupa materi akademis yang serupa dengan tugas di sekolah.

Keputusan sang Bupati rupanya dinilai baik oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadijir Effendy. Kementerian pun berencana mengikuti jejak Purwakata, sehingga semester depan pelarangan PR akan diterapkan. Dikutip dari Hai Online, Muhadjir berencana menerbitkan larangan tersebut dalam bentuk peraturan menteri.

Infografik PR

Pemberian PR ramai-ramai disetop. Sebenarnya, seberapa buruk dampak PR terhadap siswa selama ini?

Alasan Brandy Young tak memberikan PR lagi rupanya betul. Sejumlah penelitian memang menunjukkan PR dapat meningkatkan nilai ujian dan memperluas daya ingatan siswa, tapi tak ada yang menunjukkan kalau PR bisa membuat siswa berprestasi di bidang tertentu. Dikutip dari Livescience.com, ilmuan Richard Walker dari Universitas Sydney lebih menyarankan siswa untuk les musik atau melakukan kegiatan olahraga selepas sekolah ketimbang harus berkutat dengan PR. Sebab, ia menilai waktu yang wajar untuk siswa mengerjakan PR adalah satu atau dua jam per minggu, tidak lebih. Sementara, agar PR bisa mendongkrak nilai akademis siswa di sekolah, satu atau dua jam saja tak cukup.

Profesor dari Universitas Duke Harris Cooper, ilmuan yang menemukan kalau PR dapat meningkatkan nilai ujian siswa, dan telah melakukan lebih dari 60 studi dari tahun 1987-2007 mengenai PR, memang tak setuju PR dihapuskan. Namun, Cooper sepakat kalau pemberian PR yang terlalu banyak punya efek jelek bagi anak-anak. “PR itu seperti obat. Dosis kecil tak akan berpengaruh apa-apa, terlalu banyak justru akan membunuhmu,” katanya pada CBS News.

Gerald LeTendre, Profesor bidang Pendidikan di Universitas Negeri Pennsylvania justru menemukan hubungan bagaimana PR dapat mengganggu kesehatan anak. Hampir 10 persen murid kelas empat dilaporkan menghabiskan berjam-jam setiap malam untuk mengerjakan PR. Secara global, satu dari lima murid kelas empat dilaporkan menghabiskan 30 menit atau lebih untuk mengerjakan PR matematika, tiga sampai empat kali seminggu. “Kenyataan ini harusnya membuat orangtua, guru, dan para pembuat kebijakan tersadar,” tulis LeTendre di The Washington Post.

Secara empiris, banyaknya jumlah PR ini berdampak buruk pada kesehatan pikiran dan fisik siswa. Jumlah PR yang banyak berkaitan dekat dengan gangguan tidur, dan stres yang dialami jiwa dan raga mereka.

Di Indonesia, Majalah Hai melakukan survei kecil-kecilan untuk mengetahui jumlah PR yang dibagikan sekolah pada siswa selama seminggu. Dari 417 responden yang disebar dari berbagai kota, 100-nya mengaku punya minimal 7 PR selama seminggu, sementara ada 30 responden yang mengaku punya lebih dari 10 PR dalam seminggu.

Alfie Kohn, penulis buku “Mitos PR” prihatin dengan jumlah PR yang memang kelewat banyak ini. Ia menyebut, PR sebagai penghancur rasa ingin tahu paling berbahaya di dunia. Sebab PR yang terlalu banyak menguras waktu siswa bermain di luar, sebagai sarana mengasah daya imajinasinya.

Baca juga artikel terkait PR atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti