Menuju konten utama

Sikap Orangtua Saat Anak Menderita Penyakit Berbahaya

Menghadapi anak yang divonis sakit kritis, seperti dialami Denada Tambunan, bukanlah hal yang mudah.

Sikap Orangtua Saat Anak Menderita Penyakit Berbahaya
Ilustrasi: Sarah, penderita leukemia, bercengkrama bersama ibunya saat berada dirumah, sehari setelah dirinya pulang dari rawat inap, (24/2/2018). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Denada Tambunan harus menerima kenyataan pahit kala mengetahui putri tunggalnya, Shakira Aurum, divonis menderita leukemia. Penyakit yang juga jamak disebut kanker darah ini merupakan salah satu penyakit yang membahayakan nyawa. Denada pun membawa putrinya berobat ke Singapura.

Kesedihan yang dialami Denada tersebut tak berbeda dengan perasaan Nofilia Safitri (38), tahun lalu, saat mengetahui putrinya Jahra (9) menderita Leukemia Mylogenous Akut (AML)--salah satu jenis leukemia yang menyerang sel darah putih myelosit. Pergerakan sel kanker di tubuh Jahra saat itu sebesar 18 persen.

Ibu rumah tangga yang berdomisili di Lampung ini menceritakan bahwa dirinya sempat tak bisa menerima kenyataan, saat mengetahui Jahra, menderita kanker darah. Namun, Nofilia sadar: ia tak boleh menyerah begitu saja. Atas saran dokter, ia pun membawa putrinya berobat ke Jakarta untuk mendapatkan perawatan maksimal.

Nofilia sempat bingung lantaran ia tidak punya saudara di Jakarta, apalagi perawatan leukemia tidaklah murah. Di Jakarta, dokter memberi rekomendasi untuk tinggal di Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI). Di situ, ia bertemu dengan orangtua yang mengalami kejadian serupa dengan dirinya.

“Kami sebagai orangtua tidak bisa menyerah gitu aja. Akhirnya kami saling sharing. Kemudian, ada temannya yang survivor, kita tukar pikiran dengan mereka yang sudah survive. Jangan menganggap penyakit itu adalah momok,” tuturnya.

Nofilia sempat merahasiakan penyakit itu dari Jahra. Namun, makin lama putrinya menyadari ada yang tidak biasa dengan dirinya. Sedikit demi sedikit, Nofilia akhirnya menjelaskan kondisi tersebut kepada sang buah hati.

“Dia paham dengan efeknya jika rambutnya rontok, tapi dia diam saja. Akhirnya karena saya enggak kuat untuk menjelaskan, saya minta bantuan kawannya yang sudah survive untuk mengajak Jahra bicara. Akhirnya, mereka katakan agar Jahra jangan minder, jangan takut rambut botak. Mereka tunjukkan foto-foto mereka saat berobat,” ungkap Nofilia.

Lama kelamaan, kepercayaan diri anaknya terus tumbuh. Bahkan, Nofilia sempat memakaikan kerudung pada putrinya agar tak malu dengan rambutnya yang menipis. Lama-lama, anaknya bisa menerima.

“Jahra bilang: ‘udah mama, enggak apa-apa, aku kan lagi berobat jadi enggak usah pakai kerudung’. Aku jadi malu sendiri. Tahu anakku bangkit, aku semakin bangkit,” ujar Nofilia.

Nofilia terus berdoa dan mengusahakan yang terbaik untuk kesehatan putrinya. Sempat dua kali menjalankan protokol--salah satu proses penyembuhan untuk leukimia jenis MLA--tapi Jahra belum dinyatakan sembuh. Akhirnya, dokter membuat protokol khusus untuk Jahra.

“Akhirnya konsultasi ke seorang profesor. Sebenarnya termasuk sulit, karena Jahra belum remisi. Akhirnya dibuatkan protokol khusus untuk Jahra. Nah, protokol khusus itu dua siklus, siklus pertama belum juga remisi. Akhirnya masuk siklus kedua, dievaluasi lagi. alhamdulillah dinyatakan pengobatan selesai,” kata Nofilia.

Nofilia pun bercerita bahwa ia sempat mendapat masukan orang-orang untuk memberi anaknya obat di luar pengobatan kedokteran modern. Namun, Nofilia menolak. Ia tak mau obat-obatan itu menghambat kinerja obat yang diberikan oleh dokter.

Kini, sel kanker di tubuh Jahra telah dinyatakan hilang. Namun, Nofilia tetap menjaga putrinya untuk berpola hidup sehat. “Saya tidak memperkenalkan dengan makanan berpenyedap, pengawet, dan pewarna. Semua yang dia makan, hasil olahan saya sendiri. Saya juga mengikuti pola hidup sehat,” katanya.

Nofilia dan Jahra kini sudah kembali ke Lampung setelah 9 bulan tinggal di Jakarta. Meski begitu, sebulan sekali ia harus mengantarkan Jahra ke Jakarta untuk kontrol.

Menghadapi Anak dengan Penyakit Berbahaya

Kyle Boyse, dkk dari University of Michigan menyebutkan ada beberapa jenis penyakit menahun atau kronis yang sering dijumpai pada anak-anak. Ada asma, celebral palsy, diabetes, kanker, AIDS, epilepsi, kelainan jantung, cystic fibrosis, sickle cell anemia, dan spina bifida.

Infografik Kala Si Kecil Kronis

Tak banyak orangtua yang bisa menerima dengan lapang dada ketika anaknya mengidap penyakit serius. Alina Morawska dan Amy Mitchell dari University of Queensland dalam artikel berjudul “What parents can do to make a child’s chronic illness easier” mengatakan bahwa orangtua harus percaya diri, menekan stres, dan berupaya mengubah pola pikir sang buah hati.

Menurut Morawska dan Mitchell, orangtua harus konsisten dalam mendampingi sang buah hati. Konsistensi ini dapat membantu untuk mengurangi stres. Dalam menghadapi anak berpenyakit kronis, orangtua juga membutuhkan pikiran yang selalu jernih, agar dapat menemukan cara efektif dalam proses penyembuhan sang buah hati. Pola hidup yang sehat juga harus dijalani, tak hanya untuk anak saja, tapi juga untuk orangtua.

Dalam artikel tersebut, Morawska dan Mitchell juga menyampaikan bahwa orangtua perlu mengupayakan pengobatan maksimal terhadap anak yang mengidap penyakit serius.

Di sisi lain, sikap perlu dijaga. Anak sebisa mungkin tak dianggap berbeda dengan anak lain secara umum. Bagaimanapun, yang anak-anak hadapi adalah kondisi yang bisa membuat mereka stres. Pada anak penyandang kanker, misalnya, mereka bisa minder akibat rambut rontok saat menjalani kemoterapi.

Merahasiakan penyakit sang anak, menurut kedua peneliti tersebut, bukanlah cara yang tepat. Anak harus tahu ihwal penyakit yang sedang dihadapinya serta segala kemungkinan yang akan terjadi. Orangtua bisa mengajak saudara atau teman dari sang anak untuk membantunya menghadapi dan mengatasi apa yang sedang terjadi.

Cara ini penting agar anak tak merasa ditinggalkan oleh orang-orang di sekitarnya. Selain itu, cara ini dapat menjaga perasaan kakak atau adik dari anak sakit. Jangan sampai mereka merasa diabaikan saat orangtua sibuk dengan kondisi kesehatan saudaranya.

Baca juga artikel terkait LEUKEMIA atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani