tirto.id - Video viral Jeng Ana yang sedang membicarakan tumor otak dari berkas hasil pemeriksaan medik mengundang reaksi keras dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Lewat akun Facebook dan Twitter-nya, IDI menyatakan, “Serahkanlah urusan pada ahlinya. Jika tidak, maka tunggu kehancurannya.”
Nama Jeng Ana populer dalam beberapa tahun ini, terutama setelah ia kerap diwawancarai televisi terkait penanganan kesehatan pesohor Olga Syahputra yang meninggal dunia dua tahun lalu. Jeng Ana, seperti beberapa orang lain yang disebut pakar kesehatan, memang sering mengisi acara kesehatan di televisi.
Dalam rekaman video di acara di stasiun televisi yang viral itu, Ana menyebut beberapa istilah teknis dalam dunia kedokteran dan menjelaskannya satu per satu layaknya seorang dokter.
"Dia menggunakan dokumentasi medik, hasil pemeriksaan laboratorium, kemudian diinterpretasikan sendiri berdasarkan persepsi dia. Dan dari video itu kami melihat beberapa informasi sangat salah," kata Mahesa Paranadipa, Ketua Bidang Keorganisasian dan Sistem Informasi Kelembagaan PB IDI. "Misalnya dia menyebut basalis berasal dari otot dan segala macam. Itu, kan, salah."
Meski hak masyarakat dalam memilih pelayanan kesehatan dilindungi undang-undang, Mahesa menekankan bahwa informasi kesehatan tetap harus diberikan oleh orang yang kompeten di bidangnya.
"Ini kan masalahnya ada pemeriksaan-pemeriksaan yang [dibaca dan] disampaikan bukan oleh orang yang kompeten. Itu berbahaya," kata Mahesa. "Hasil CT Scan kepala tidak bisa disampaikan oleh dokter umum saja, misalnya. Atau oleh dokter kandungan. Enggak bisa, karena dokter kandungan enggak diajari tentang CT Scan kepala."
Ana sendiri saat dikonfirmasi reporter Tirto mengakui dirinya melakukan kesalahan. Ia mengakui penyebutan yang dilakukannya banyak yang tak sesuai dengan kaidah medis. "Saya memang bukan seorang dokter. Jika kemarin dengan bicara saya semuanya salah aturan, saya sekali lagi minta maaf," tukasnya.
Tanggung Jawab Kementerian Kesehatan
Selama ini, bukan hanya Jeng Ana saja "pakar kesehatan" non-kedokteran modern yang kerap diundang televisi. Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media, pernah melakukan kajian tentang komersialisasi kesehatan di televisi. Ulasan dalam format video buatan Remotivi di Youtube itu, selain mencuplik Jeng Ana, juga menampakkan seorang dokter kecantikan yang mempromosikan khasiat kulit manggis dalam pengobatan kanker.
Ada juga Ratu Givana yang menahbiskan dirinya sebagai "the queen of medical cancer" dan Johan Zhou yang disebut presenter acara televisi sebagai "the king of herbalist." Ratu Givana mengklaim bisa menyebuhkan kanker, sedangkan Zhou mendaku dapat menyembuhkan HIV dalam 15 hari.
Menurut Remotivi, tayangan-tayangan itu bermasalah. Remotivi mencuplik Permenkes Nomor 1787 tahun 2010 Pasal 5 ayat f menyebut iklan atau publikasi kesehatan tidak diperbolehkan apabila "memublikasikan metode, obat, alat dan/atau teknologi pelayanan kesehatan baru atau non-konvensional yang belum diterima oleh masyarakat kedokteran dan/atau kesehatan karena manfaat dan keamanannya sesuai ketentuan masing-masing masih diragukan atau belum terbukti."
Karena peraturan itu pulalah IDI berpendapat seharusnya ada sikap dari kementerian kesehatan. "Itu kan [acaranya] di televisi. Seharusnya tanpa perlu dilaporkan, pihak-pihak seperti kementerian kesehatan, yang bertanggung jawab melakukan pembinaan dan pengawasan terutama informasi-informasi kesehatan di media massa, bersikap," kata Mahesa.
Mahesa juga menuturkan bahaya dari hujan informasi menyesatkan yang memenuhi kecenderungan masyarakat yang ingin pengobatan cepat. Ia mencontohkan banyaknya pasien pengobatan kanker terjerumus informasi sesat.
"Seharusnya dari stadium awal diobati secara medis, tapi dia [pasien] beralih ke pengobatan tradisional yang tidak jelas. Akibatnya kondisinya semakin buruk, dan kankernya sudah mencapai stadium akhir."
Bagaimana dengan televisi yang menjadi medium siar dari tayangan-tayangan tersebut?
Peneliti Remotivi, Wisnu Prasetya Utomo, menunjuk contoh di Amerika Serikat yang membikin regulasi ketat setelah periode bombardir iklan dan tayangan di televisi yang banyak menipu publik pada dekade 1950-an.
"FCC [Semacam KPI, regulator penyiaran] punya aturan yang ketat soal tayangan kedokteran/kesehatan. Hanya orang yang sudah terakreditasi di organisasi profesinya yang boleh berkomentar soal vonis kesehatan atau penyakit tertentu," kata Wisnu.
Namun, ada persoalan terkait kewenangan. Kementerian Kesehatan, menurut Wisnu, memang punya peraturan menteri soal iklan dan publikasi layanan kesehatan, tapi mereka tidak berwenang menindak lembaga penyiaran/TV. "Mereka cuma berwenang ke orang atau institusi pelayanan kesehatan," katanya. "Maka, KPI harus duduk bareng dengan Kemenkes buat menyelaraskan aturan."
IDI sendiri, seperti dituturkan Mahesa Paranadipa, berharap pemerintah daerah bisa lebih berperan. "Karena yang memberi izin [klinik kesehatan] adalah pemerintah daerah."
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Maulida Sri Handayani