Menuju konten utama

Dilema Aborsi di RI: Aturan Ketat, Akses Terbatas, Risiko Tinggi

Kriminalisasi aborsi tidak mengurangi angka aborsi, tetapi justru mendorong praktik aborsi tidak aman. Apa yang salah?

Dilema Aborsi di RI: Aturan Ketat, Akses Terbatas, Risiko Tinggi
Ilustrasi Aborsi. foto/istockphoto

tirto.id - Praktik aborsi di Indonesia bukanlah perkara mudah. Selain akses aman yang terbatas, praktik ini kental dengan ancaman kriminalisasi. Pada Minggu (25/5/2025) lalu misalnya, sebanyak tiga orang yang terlibat dalam praktik aborsi di Sulawesi Selatan ditangkap dan diperiksa oleh aparat.

Ketiganya terdiri dari seorang aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di salah satu puskesmas, seorang mahasiswi pascasarjana, serta seorang perempuan yang berperan sebagai penghubung.

Praktik yang disebut ilegal ini dikatakan polisi dilakukan secara terselubung dan diduga merupakan bagian dari jaringan. Sementara biaya jasa aborsi yang ditawarkan dikatakan berkisar antara Rp2,5 juta hingga Rp5 juta per kasus.

“Jadi modusnya, terduga pelaku SA melakukan praktik aborsi dengan mendatangi pasien di tempat-tempat seperti hotel. Dalam hal ini, dia terhubung ke korban melalui RA, teman dari CI,” jelas Panit 1 Resmob Ditreskrimum Polda Sulsel, Ipda Dendi Eriyan, dalam keterangannya kepada wartawan, Minggu (25/5/2025).

Di Indonesia, setiap praktik aborsi memang dianggap ilegal kecuali untuk korban pemerkosaan, kekerasan seksual, dan kondisi kedaruratan medis. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 116 Peraturan Pemerintah (PP) Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024.

Sementara pasal 117 PP itu menyebut, indikasi kedaruratan medis meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu, dan/atau kondisi kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak memungkinkan hidup di luar kandungan.

Dalam aturan yang sama juga dikatakan, pelayanan aborsi yang diperbolehkan hanya dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut, yang memenuhi sumber daya kesehatan sesuai standar yang ditetapkan oleh menteri dan pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis, dibantu oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya (pasal 119).

Pasal 346 KUHP bahkan menyebut bahwa seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Namun, aturan ini diperbaharui dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana alias KUHP baru yang efektif berlaku tahun depan.

Dalam beleid itu tertuang soal pengecualian pidana aborsi bagi perempuan yang merupakan Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan, yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis. Tapi, ancaman sanksi pidana untuk aborsi yang dilarang masih sama, yakni pidana penjara paling lama empat tahun.

Menghambat Akses Layanan Kesehatan

Menurut studi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berjudul Urgensi Demedikalisasi Aborsi Aman di Indonesia: Respons terhadap KUHP 2023, akses terhadap layanan aborsi aman, termasuk bagi korban kekerasan seksual, masih dibatasi oleh berbagai hambatan inkonsistensi perspektif mendasar dalam pengaturan aborsi, termasuk pada PP 28/2024.

Kajian itu menjabarkan catatan kritis terhadap KUHP 2023. ICJR menyebut, meski KUHP 2023 telah mengatur ulang ketentuan mengenai aborsi termasuk pada penambahan usia kehamilan dan perluasan pihak-pihak yang bisa melakukan tindakan aborsi, aturan itu tetap mempertahankan kriminalisasi aborsi, sebagaimana diperkuat dalam UU Kesehatan.

“Permasalahan struktural juga masih ditemukan dikarenakan keengganan aktor-aktor kunci dalam mendukung dekriminalisasi aborsi secara menyeluruh dikarenakan adanya perbedaan interpretasi di antara pemangku kepentingan, serta kurangnya pelatihan mengenai aborsi aman yang masih dibatasi dalam Permenkes 3/2016, semakin membatasi akses terhadap layanan yang seharusnya tersedia bagi individu yang membutuhkan,” tulis ICJR dalam laporannya.

Padahal, kriminalisasi aborsi tidak mengurangi angka aborsi, tetapi justru mendorong praktik aborsi tidak aman, serta meningkatkan risiko komplikasi kesehatan dan kematian maternal. Penelitian de Londras yang terbit di Jurnal BMJ Global Health (2022) menunjukkan bahwa hukum yang membatasi aborsi menciptakan hambatan bagi perempuan untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi yang aman dan legal, termasuk keterlambatan dalam mendapatkan perawatan.

Infografik Aborsi

Infografik Aborsi. tirto.id/Fuad

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan sudah merekomendasikan dekriminalisasi penuh terhadap aborsi. Dekriminalisasi berarti menghapus aborsi dari semua hukum pidana/pidana, tidak menerapkan tindak pidana lain (misalnya pembunuhan, pembunuhan berencana) terhadap aborsi, dan memastikan tidak ada hukuman pidana untuk melakukan, membantu, memberikan informasi tentang, atau menyediakan aborsi, bagi semua pelaku yang relevan.

Menurut WHO, dekriminalisasi aborsi tidak membuat perempuan, anak perempuan, atau orang hamil lainnya rentan terhadap aborsi paksa atau yang dipaksakan. Aborsi paksa atau yang dipaksakan akan menjadi masalah serius lantaran praktik ini merupakan intervensi yang tidak berdasarkan persetujuan.

Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Nanda Dwinta Sari, menyatakan bahwa aborsi memang harusnya bisa dianggap sebagai bagian dari layanan kesehatan. Aborsi yang dipahami masyarakat seringkali berhubungan dengan seks bebas atau hubungan terlarang.

Fakta bahwa seseorang bisa mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) atau adanya potensi kegagalan kehamilan seolah tak dimengerti dan diabaikan. Pola pikir masyarakat semacam ini harus dibenahi agar tak merugikan dan semakin menstigma layanan aborsi.

Apalagi KTD seringkali disebabkan oleh kurangnya otonomi tubuh, rendahnya tingkat pendidikan, dan tingginya kemiskinan. Merujuk data Guttmacher Institute, rata-rata kehamilan tak direncanakan yang berakhir pada aborsi di Indonesia juga cukup banyak, yaitu 63 persen sepanjang 2015-2019.

Dengan begitu, terbatasnya akses aborsi yang aman bisa berimbas buruk pada perempuan dan individu lainnya. Nanda menjelaskan, salah satu dampaknya yakni membatasi seseorang dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif, yang seharusnya bisa melindungi dan menyelamatkan nyawanya.

“Melindunginya tuh ya dari aspek hukum juga, dari aspek sosial stigma tadi gitu ya. Dan dia merasa aman untuk mengakses layanan kesehatan. Itu sih memang jadi dampak gitu ya. Tapi kan sayangnya ancaman kriminal kita ini untuk layanan kespro pada perempuan masih banyak, masih dimuat gitu dalam kebijakan-kebijakan yang ada. Nggak usah bicara aborsi lah, bicara kontrasepsi juga, izin pasangan, padahal itu kan harusnya jadi hak individu, maksudnya yang punya tubuh saja yang bersangkutan, yang harusnya memberikan konsen atau persetujuan,” tutur Nanda saat berbincang dengan Tirto, Rabu (28/5/2025).

Ilustrasi Aborsi

Ilustrasi Aborsi. FOTO/iStockphoto

Dampak lainnya juga termasuk tak adanya pemahaman secara utuh dalam rangka membuat keputusan untuk diri sendiri. Kepentingan perempuan dalam mengakses informasi jadi terhambat, sehingga menyulitkan mereka ketika mengalami persoalan seputar kesehatan dan reproduksi.

“Karena ya tadi ya, informasinya kebanyakan mitos yang diyakini gitu loh. Nah kemudian itu mempengaruhi, dia jadi ragu-ragu juga ini membuat keputusan untuk dirinya. Karena kita juga, apa ya, mungkin akses ke informasi itu juga dibatasi. Atau akses dia untuk berpartisipasi, berkomunikasi gitu ya. Dia bisa berkonsultasi atau mendapatkan layanan konseling untuk dirinya itu juga jadi terbatas, sehingga sulit membuat keputusan,” ungkap Nanda.

Pada akhirnya perempuan hanya dianggap sebagai mesin produksi dan reproduksi, tapi tak diperhitungkan keamanannya, kenyamanannya, dan aksesnya terhadap konseling. Padahal, menurut Nanda, perempuan yang punya dukungan dan akses informasi atau konseling yang mumpuni bakal memiliki kesehatan yang baik.

Kemunduran Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Di tengah aturan aborsi di Indonesia yang masih banyak caatan, kehadiran Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) baru Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi menjadi sorotan.

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi, yang di dalamnya termasuk YKP menilai, dalam hal layanan aborsi, PMK ini berpeluang menambah pengalaman traumatis bagi korban akibat alur yang berlapis, rumit dan penuh dengan syarat administratif.

Mekanisme ini mengabaikan pengalaman perempuan korban, pengalaman individu dengan kondisi darurat medis yang membutuhkan layanan aborsi untuk mengambil keputusan secara utuh.

“Aturan ini menyaratkan empat surat yang harus diperoleh secara kumulatif untuk mengakses layanan, termasuk Surat Keterangan Penyidik (pasal 60), berpotensi menghambat korban mengakses layanan aborsi,” bunyi pernyataan sikap yang dirilis Kamis (6/3/2025).

Sebab, tidak semua korban kekerasan seksual dan korban perkosaan dapat dan berkehendak untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian. Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi menyebut, bahkan ketika korban memilih untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan dan membutuhkan layanan aborsi, hingga kini belum ada mekanisme internal dalam kepolisian yang dapat menerbitkan surat keterangan tersebut.

Di sisi lain, dalam hal situasi darurat medis, PMK 2/2025 ini juga mengharuskan persetujuan suami dan/atau keluarga untuk mengakses layanan aborsi, seperti yang tertuang dalam pasal 62. Ketentuan ini mencabut otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri, bahkan dalam kondisi yang mengancam nyawa.

Oleh karenanya, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi mendorong dihapusnya persyaratan persetujuan suami atau keluarga demi menjamin hak perempuan atas keputusan medisnya sendiri.

Baca juga artikel terkait ABORSI atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang