tirto.id - Sejumlah isu yang melibatkan anak tengah menjadi sorotan di kalangan publik. Meningkatnya kasus kekerasan dan penyimpangan seksual di ranah digital, seperti mencuatnya grup Facebook Fantasi Sedarah menandai kedaruratan perlindungan anak di Indonesia.
Grup tersebut tak hanya menjadi pengingat akan kerentanan anak terhadap predator dan konten menyimpang, tetapi juga memperlihatkan celah besar dalam pengawasan digital dan pendidikan nilai di keluarga serta sekolah.
Di sisi lain, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi memilih cara mendidik anak bermasalah lewat pendidikan karakter di barak militer. Anak-anak akan diberikan pendidikan selama berbulan-bulan sebagai bentuk pembinaan. Kebijakan baru ini juga menuai kritik sejumlah pihak karena dinilai berisiko mengabaikan hak dan kondisi psikologis anak, apalagi jika dilakukan tanpa landasan dan persiapan yang kuat.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) misalnya. Lembaga tersebut menilai kebijakan ini perlu diberhentikan sementara setelah periode pertama selesai. Menurut KPAI hal ini penting untuk dilakukan evaluasi menyeluruh agar nantinya diterapkan kembali dalam versi lebih baik.
KPAI menyatakan bahwa kepala daerah bersifat sementara dan dipilih secara periodik, namun ekosistem perlindungan anak harus tetap terjaga tanpa terpengaruh pergantian kepemimpinan.
“Pemimpin itu bisa datang dan pergi gitu ya. Kepala daerah itu bisa dipilih dan dia ada batasannya. Tapi terkait sistem perlindungan anak, ekosistem perlindungan anak it selama-lamanya,” kata Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, kepada Tirto.
Dalam Wawancara Khusus bersama Tirto, Jasra menceritakan mengenai bagaimana lembaganya menilai isu perlindungan anak, termasuk kasus grup Facebook ‘Fantasi Sedarah’ hingga kebijakan pendidikan barak militer Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Berikut petikan wawancara Tirto dengan Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, di Podcast For Your Politic.
Bagaimana KPAI melihat kasus grup ‘Fantasi Sedarah’ atau grup sejenis yang menyimpang?
Ya, jadi ketika ada aduan yang disampaikan ke kita melalui WA grup maupun melalui teman-teman media, kita beberapa hari setelah itu langsung melakukan rapat koordinasi dengan kementerian dan lembaga. Dihadiri dari Kementerian PPA, Kemensos, Kemenkes, dari Mabes Polri dan termasuk juga lembaga-lembaga perlindungan anak lainnya.
Jangka pendek kita mendorong agar pelaku itu segera ditangkap karena satu itu setelah meresahkan. Kemudian kedua mengandung unsur pornografi dan itu adalah anak yang ada bahasa-bahasa dan foto-foto yang saya kira pengikutnya cukup banyak, sekitar 32 ribu.
Dan kita dapat informasi pelakunya itu kan sudah ditangkap ya. Informasi terbaru yang saya peroleh ada enam orang, terutama admin dan termasuk juga anggota yang cukup aktif mengupload [mengunggah] foto-foto dan konten tersebut gitu ya. Dan tentu kita tunggu apa motifnya dan siapa pelakunya, kita tahu apakah itu usia anak atau dewasa ya.
Karena kita pernah peristiwa yang sama di 2017 ada dengan sebutan ‘Candy’, grup ‘Candy’ tahun 2017. Itu juga dalam temuan juga ada pedofilia anak internasional yang juga bergabung disitu. Tentu kita akan tunggu hasil rilis kepolisian dan termasuk juga kalau ada pengembangan-pengembangan lain.
Nah yang agak berat setelah rilis kepolisian adalah bagaimana pendampingan gitu ya. Kita ingat ada 80 ribu anak yang kena judi online, itu data setahun yang lalu. Nah ini kan pendampingannya tidak mudah gitu ya, anaknya berada di bermacam daerah dan sekolah.
Tentu ini kemarin dengan pertemuan dengan kementerian/lembaga semuanya berkomitmen sesuai dengan tugasnya masing-masing. Misalnya kementerian sosial tentu siap melakukan rehabilitasi kalau memang ada usia anak yang menjadi korban. Di kementerian kesehatan juga sama, sesuai dengan tugasnya, mau cek kesehatan, kalau memang perlu rujukan kesehatan jiwa, dan seterusnya, siap.
Poinnya adalah ini adalah data yang saya kira cukup besar gitu ya. Dan oleh sebab itu, satu kita berharap media sosial dan termasuk juga teman-teman media untuk tidak mengupload wajah atau alamat-alamat anak gitu ya. Karena ini terkait tumbuh kembang mereka. Dan yang kedua kita khawatir akan terjadi stigma sepanjang hidupnya.
Kemudian tentu pendampingan lintas profesi. Kita berharap ini bisa masuk baik psikolog, tenaga kesehatan, guru gitu ya. Karena saya yakin ini ada cukup banyak ya datanya gitu ya. Dan kita terus nanti akan meminta dan me-mapping data-data ini agar semuanya bisa berperan gitu ya. Baik pemerintah dan pemerintah daerah dan termasuk juga lembaga-lembaga masyarakat gitu. Nah itu jangka panjang gitu yang saya kira ini agak berat ya. Tapi tentu negara tidak boleh kalah dengan situasi ini gitu ya.
Dan juga jangka panjang adalah pencegahan gitu ya. Pencegahan jangan sampai peristiwa berulang karena 2017 kan sudah terjadi juga seperti ini dengan model lain gitu ya. Kemudian pencegahan ini mulai di tingkat keluarga, di tingkat masyarakat, kemudian anak itu sendiri ya harus diberi pemahaman bagaimana ketika berada di media sosial gitu ya.
Karena kita sudah memiliki peraturan pemerintah ya tentang tata kelola anak di ranah daring atau [Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak] PP Tunas gitu ya. Tentu kita dorong ini segera aturan turunannya segera dibuat oleh Komdigi gitu ya. Dan mudah-mudahan ini adalah salah satu upaya serius kita dalam memitigasi dan mencegah jangan sampai peristiwa serupa terjadi lagi.
Apakah akan ada upaya menjangkau anak yang berpotensi menjadi korban di dalam grup tersebut, Pak? Atau seperti apa koordinasi dengan kementerian dan lembaga lainnya?
Iya jadi tentu penegakan hukum penting ya, termasuk juga kalau memang keluarga menjadi pelaku itu kan ada pemberatan di Undang-Undang Perlindungan Anak kita. Saya kira kita dorong arah ke sana.
Nah kalau keluarga menjadi pelaku pertanyaan kita siapa pengasuh selanjutnya? Nah di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak itu ada disebut sampai derajat ketiga, Kakek, Nenek, Tante itu bisa. Dengan catatan tentu harus di-assessment [penilaian] apakah keluarga ini siap [atau] enggak untuk melanjutkan pengasuhannya? Karena orang tuanya katakanlah mengalami tindak pidana gitu ya.
Ini upaya-upaya jangka pendek dan termasuk juga kalau tidak ada keluarga, katakanlah karena orang tuanya berhalangan karena mengalami tindak pidana, ya maka ada lembaga, lembaga pengasuhan gitu ya. Lembaga kesejahteraan sosial asuhan anak kita. Baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun yang dimiliki oleh masyarakat.
Tapi ini kan pilihan terakhir ya lembaga pengasuhan. Kalau ada, masih ada keluarga besar atau foster care ya, keluarga pengganti yang dimana keluarga pengganti ini di peraturan pemerintah diatur sangat ketat ya soal usia, kemampuan pengasuhnya, dan sebagainya.
Jadi komponen sistem perlindungan anak ini saya kira harus bergerak ya setiap saat ya, kita berharap seperti itu. Maka peran KPAI adalah mengingatkan agar ini bisa bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing. Kemudian yang terkait efektivitasnya gitu ya, jangan sampai datanya sudah ada, mapping-nya sudah disampaikan gitu ya, tapi kita tidak melakukan apa-apa gitu ya. Saya kira ini tentu momentum bagi kita ya apalagi ini menjelang hari anak bulan Juli nanti ya. Kita berharap ini adalah kasus yang terakhir gitu ya.
Oleh sebab itu hulu hilir ditangani gitu ya. Di hulu ada problem keluarga, kalau kita lihat postingan-postingan itu kan diduga keluarga yang melakukan. Tapi lagi-lagi ya kita tunggu ya. Apakah itu memang memakai akun palsu gitu ya atau seperti apa gitu ya. Nah ini yang kita tunggu dari penyelidikan kepolisian gitu.
Apakah KPAI mendorong penguatan regulasi di ranah media sosial atau masyarakat agar kasus serupa tak terulang?
Ya jadi di Rakor [Rapat Koordinasi] kemarin dari perwakilan META juga hadir ya. Karena peristiwa ini kan di Facebook ya, di META. Nah META ini memiliki mekanisme dia punya AI untuk mendeteksi kasus-kasus serupa.
Tapi AI ini kan harus diajar juga gitu. Ada anonim-anonim yang mungkin tidak berbau seks gitu ya, berbau apa ya, kayak ini kan grup sedarah gitu ya. Kalau tidak ada laporan atau tidak terdeteksi kan anonim ini kan tidak dikenal secara internasional gitu ya, di kita ya dikenal gitu ya.
Nah saya kira kemarin salah satu rekomendasi kita ke META agar mengembangkan ya anonim-anonim yang itu bisa dicegah dari awal gitu ya. Dan kami tentu akan menyampaikan berdasarkan aduan, berdasarkan temuan-temuan. Ada pengembangan-pengembangan istilah di media sosial tersebut. Saya kira ini upaya kita ke depan untuk mencegah.
Nah kemudian tugas pemerintah-pemerintah daerah adalah mengedukasi keluarga. Karena dari 24 jam waktu anak gitu ya, ya sebagian besar itu berada di keluarga. Kalau dia sekolah ya mungkin ada 7 atau 8 jam di sekolah atau sebagian di masyarakat ya. Tapi yang bisa mengawasi anak 24 jam adalah keluarga. Baik yang secara nyata maupun di dunia maya.
Saya kira literasi digital tentu harus dibangun di tingkat keluarga, diberikan pemahaman secara baik gitu dan termasuk juga anak-anak juga diberikan pemahaman gitu ya. Dan di PP Tunas itu kan disebutkan ya usia 13 tahun ke atas, kemudian itu kan tidak dibatasi gitu ya, kemudian usia 16 atau 17 itu harus konfirmasi orang tua gitu ya.
Jadi saya kira ini butuh, karena beberapa pasal-pasal di PP Tunas itu kan ada turunan dari peraturan Komdiginya. Nah kita berharap ini bisa dipercepat gitu ya. Sehingga PP ini yang dimana PP turunan dari undang-undang data pribadi gitu ya mudah-mudahan ini bisa dijalankan sesegera mungkin.
Berdasarkan data KPAI, bagaimana gambaran kondisi anak mengalami kasus pelecehan atau kekerasan?
Ya dari 2069 aduan sepanjang 2024 gitu ya, memang hampir 60 persen aduan tersebut adalah isu keluarga. Jadi dampak pandemi ini kan isu perceraian belum selesai, ada perceraian. Kemudian dari dampak perceraian itu terjadi perebutan hak asuh anak, penelantaran anak gitu ya. Dan termasuk juga dari situasi konflik keluarga itu ya beberapa kasus ya pada akhirnya anak menjadi korban gitu ya. Dan bahkan kasus Jagakarsa kan dimana orang bapaknya membunuh tiga anaknya gitu ya. Ini kasus-kasus keluarga gitu, itu yang paling banyak diadukan ke kita.
Karena situasi keluarga yang tidak ideal itu dari sisi pengasuhan maka dia kalau kita mengistilahkan bermigrasi ke klaster lima yang disebut dengan perlindungan khusus gitu ya. Nah perlindungan khusus anak ini ada 15 jenis gitu ya. Misalnya anak korban pornografi gitu ya, kalau kita lihat di kasus ini kan anak menjadi korban ya.
Dan bahkan anak ada juga yang lain adalah anak dalam perlakuan salah gitu ya. Karena keluarga relasi kuasa, kemudian keluarga kita gak tau apakah ini ada motif ekonomi kita belum tau ya, tentu kita tunggu dari kepolisian gitu ya. Nah maka dia mengeksploitasi anaknya gitu ya. Nah ini yang temuan-temuan kita dari kasus-kasus klaster lima itu gitu ya.
Maka di keluarga yang bermasalah, bercerai gitu ya. Pada akhirnya anak-anak ini mengalami kerentanan yang sangat luar biasa gitu ya. Dan ketika kerentanan ini terjadi maka disini peran atau celah ya dari penjahat anak termasuk juga pedofilia di media sosial, karena pada akhirnya anak-anak curhat di media sosial.
Curhat di media sosial terkait dirinya, mungkin terkait keluarganya. Atau penjahat anak ini juga mempelajari profil keluarga gitu ya. Karena sebagian kasus juga kita kenal gitu ya anak ini berkenalan di media sosial, kemudian menceritakan terkait dia kenal dengan bapak, ibu kerjanya ini dan seterusnya. Dan anak ini perjanjian gitu ya dan pada akhirnya disitu terjadi situasi yang tidak kita inginkan. Dan bahkan terjadi eksploitasi seksual gitu ya.
Ini kasus-kasus yang kita lihat gitu ya. Memang kejahatan ranah cyber ini kecenderungannya meningkat seiring dengan dimana anak-anak kita dari 84 juta menurut asosiasi penggunaan jasa internet, 30 persennya atau sekitar 30 juta ya itu sudah berada di media sosial. Ini saya kira dampak yang tentu harus kita mitigasi gitu ya. Kita juga tentu hulu hilir harus ditangani secara baik gitu.
Bagaimana KPAI melihat kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menempatkan sejumlah anak tertentu dididik dalam barak militer?
Ya kita melihat ada 3 hal ya dari kebijakan ini. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Dari sisi perencanaan kita melihat dari surat edaran Pak Gubernur gitu ya dan kita rujuk dengan undang-undang perlindungan anak dan termasuk juga PP 79 tahun 2021 tentang perlindungan khusus anak. Ini kan menjadi masalah. Dan kita harus ketahui bahwa kita sudah meratifikasi konvensi hak anak ya. Ada 190 negara kita bersetuju untuk melindungi anak-anak kita baik hak nya maupun perlindungan khusus.
Kita ingatkan gitu ya bahwa surat edaran ini kan sudah menstigma anak, anak nakal, anak perokok, kemudian anak tawuran gitu ya. Nah kita tidak mengenal istilah itu gitu di undang-undang gitu, yang kita kenal adalah perlindungan khusus anak. Itu ada 15 jenis. Diantaranya dari 15 jenis itu dari kriteria yang disampaikan oleh Pak Gubernur misalnya anak suka merokok, itu kan anak yang terpapar dengan narkotika, kemudian zat adiktif lainnya gitu ya. Jadi sangat soft undang-undang menyampaikan gitu ya.
Dan tata caranya juga ada gitu ya. Misalnya anak perokok. Nah anak perokok itu kan tahapan-tahapan yang harus dilakukan di PP 79 itu adalah satu mau lakukan edukasi kepada keluarga. Jangan-jangan dalam data temuan kita orang tuanya ada merokok. Dan kalau orang tuanya perokok maka anak ini akan meniru. Karena anak ini kan bukan pendengar terbaik. Tapi dia adalah peniru ulung, tokoh dekatnya, tokoh idolanya gitu ya.
Nah apa lagi yang harus dilakukan? Yaitu edukasi di sekolah. Apa lagi yang harus dilakukan? Jangan sampai anak ini mengakses rokok. Kalau kita lihat kan hari ini kan warung, kemudian jual ketengan, vape [rokok elektrik], itu kan sangat mudah didapatkan oleh anak kita. Nah sudahkah pemerintah melakukan pembatasan itu?
Kita sudah memiliki undang-undang kesehatan gitu ya. Ada aturan zona antara sekolah dengan penjual rokok. Nah sudahkah itu dilakukan? Jadi maksud saya adalah mungkin niatnya baik ya. Tapi kita tetap mengingatkan ada peraturan, ada tata cara, ada kelembagaan yang itu harus dilakukan dulu.
Kalau memang tidak efektif, dievaluasi dulu gitu ya. Apakah kelembagaannya problemnya daya tampungnya kurang? Atau anggarannya enggak ada? Atau SDM-nya seperti apa? Karena dalam kajian kita dari 23 lembaga rehab ini kan 60 persen kan nggak tuntas gitu ya. Ya problemnya klasik lah soal anggaran, soal SDM terbatas gitu ya, waktunya cuma 6 bulan gitu ya.
Jadi dari sisi perencanaan kita melihat surat edaran ini kan berpotensi melanggar hak anak, terutama prinsip non-diskriminasi. Kita kan nggak boleh mendiskriminasikan anak gitu ya. Apalagi prinsip lain, prinsip partisipasi anak, mendengarkan suara anak.
Karena juga data menyebutkan kami datang seminggu setelah program ini jalan gitu ya. Kami berdialog dengan penyelenggara, baik yang pemerintah maupun militer sendiri. Kemudian kita bertanya kepada anak ya, ada instrumen tertulis, ada dialog tertutup yang dimana tidak ada orang, hanya kami di situ. Ya ini kan bagian mendengarkan suara anak. Dan itulah data-datanya kami peroleh.
Misalnya dari 90 anak yang mengisi kuesioner, 6,7 persen dia nggak mengerti kenapa dia dikirim ke sini. Berarti kan enggak ada apa, di perencanaan tadi nggak ada proses sosialisasi gitu ya, menyampaikan. Karena salah satu tahapan partisipasi anak itu kan satu diberikan informasi secara jelas kepada anak. 'Nak, kamu akan dididik ya di barak militer sekian minggu gitu ya. Materinya ini, ini loh. Kamu harus siap begini, begini gitu ya'.
Kemudian setelah itu disosialisasikan termasuk juga keluarga, baru didengar bagaimana pendapat mereka gitu ya. Jadi kan nggak ujug-ujug langsung dibawa aja ke situ. Ini yang saya kira kan berpotensi melanggar HAM, ini yang kita ingatkan gitu ya.
Kemudian lalu nanti bagaimana feedback-nya [responsnya], perubahan perilakunya seperti apa. Ini kan PR ya nggak mudah juga gitu ya. Karena kan negara ini bertanggung jawab anak itu sampai usia 18 tahun, bukan 15 hari atau 6 bulan. Nah ini yang kita ingatkan, ekosistem perlindungan anak harus dievaluasi.
Kami karena lembaga pengawas ya, mengumpulkan data, berdialog dengan anak gitu ya dan kita lakukan kajian ya, ada seminggu setelah itu kita coba lakukan kajian, ya kita sampaikan hasil pengawasan kita. Karena publik bertanya, seperti apa rekomendasi KPAI.
Ini yang peran-peran kita, makanya tentu kita berharap peran masing-masing ini kan, satu ya kami tentu menghormati ya. Kemudian yang kedua ya kita berharap rekomendasi KPAI ini kan bisa ditindaklanjuti.
Misalnya rekomendasi kita itu segera dilihat lagi undang-undang yang ada, termasuk juga Jawa Barat itu punya peraturan daerah tentang perlindungan anak. Saya kira harus kesana rujukannya gitu, tidak cukup hanya Perda terkait pendidikan gitu ya.
Kemudian yang kedua rekomendasi kita juga untuk sementara dihentikan agar dilakukan evaluasi dulu gitu ya. Evaluasi dari sisi regulasinya, harmonisasi, kebijakan gitu ya. Surat edaran tadi diperbaiki gitu ya. Kemudian dari sisi SOP, pedoman gitu ya dan kita berhadapan dengan anak ini kan gak bisa coba-coba begitu gitu ya, harus detail gitu ya. Karena ini adalah manusia yang punya hak, yang punya perasaan, punya keinginan gitu ya. Dan kita gak tahu anak-anak yang mengalami perlindungan khusus ini kan ke depan dia memiliki cita-cita yang sangat luar biasa gitu ya. Nah ini yang kita inginkan.
Dan termasuk juga infrastruktur yang ada di sana, karena di dua lokasi yang saya datang ini kan infrastrukturnya berbeda ya. Kalau di Purwakarta, adik-adik ini kan ditempatkan di ruangan pertemuan gitu ya, disekat jadi ada ruangan tidur dengan tempat tidur velbed gitu ya. Velbed tentara yang saya coba tidur agak keras juga, gak bisa tidur saya kalau gitu ya.
Nah kemudian ada ruangan makan juga disitu ya, disekat kayak masjid itu ada antara laki-laki dan perempuan gitu ya, kemudian ada ruangan belajar gitu ya. Tapi kalau di Lembang karena itu lembaga pendidikan TNI, jadi itu cukup siap ya. Ada kasurnya, ada dipan, ada lemari, kemudian toiletnya cukup inilah gitu ya. Nah ini kan infrastruktur ini harus disiapkan gitu ya. Standarnya harus sama kalau perlu dilakukan ya. Karena kan itu kan anak gitu ya, ‘kok saya berbeda dengan titik ini dengan titik yang lain'.
Begitu juga terkait yang juga menjadi rekomendasi kita adalah ada assessment dari psikolog profesional. Karena anak yang memerlukan perlindungan khusus ini biasanya kita bekerja dengan anak ya dari para profesional itu, psikolog profesional gitu. Ini rekomendasinya harus diapain? Kalau memang cukup di keluarga ya saya kira keluarga disiapkan. Kalau cukup sekolah mengintervensi ya dilakukan intervensi sekolah gitu ya. Jadi tidak ujug-ujug anak ini masuk ke lembaga barat militer itu. Nah ini yang juga kita sampaikan gitu ya agar sistem perlindungan anak kita ini kan tetap jalan ya.
Pemimpin itu bisa datang dan pergi gitu ya. Kepala daerah itu bisa dipilih dan dia ada batasannya. Tapi terkait sistem perlindungan anak, ekosistem perlindungan anak itu selama-lamanya. Itu yang kita ingatkan gitu ya. Maka kita KPAI tetap kita memberikan masukan gitu ya mudah-mudahan rekomendasi kita ini ditindaklanjuti.
Bagaimana KPAI melihat label anak nakal itu bisa berdampak terhadap psikologisnya anak?
Ya makanya kan dari surat edaran itu kan kita mohon Pak Gubernur untuk memperbaiki gitu ya, jangan sampai ada pengistilahan anak nakal gitu ya. Ya sebutkan anak-anak dalam perlindungan khusus gitu ya. Ada 15 jenis ya, silakan yang mana jenis yang mana yang akan ditangani gitu ya sesuai dengan aturan yang ada.
Kemudian ada peraturan pemerintah juga ada tahapan-tahapannya gitu ya dan tidak bisa semuanya diratakan gitu ya. Misalnya yang kita temukan itu kan ada anak yang marah betul kepada bapaknya karena bapaknya bercerai gitu ya. Kemudian bapak datang hanya ngasih uang tapi tidak ada interaksi gitu ya, apa iya penyelesaiannya ke barak militer gitu ya? Jadi kan ada dendam keluar, dendam terkait ayahnya yang tidak hadir gitu ya. Kita wawancara seperti itu gitu ya.
Kemudian ada anak yang yatim gitu ya. Kemudian ibunya sebagai PMI difasilitasi ATM segala macam, hidup sendirian, ada keluarga besar tapi tidak ada pengawasan. Apa iya anak ini yang kita selesaikan melalui barat militer?
Nah jadi aturan ini sudah ada, kelembagaan ada gitu ya. Nah maka kita terus dorong agar Pak Gubernur itu mengevaluasi ini. Apakah problemnya di kelembagaannya, ini SDM nya kurang kah atau apa gitu ya. Harus transparan gitu ya. Ini yang kita inginkan. Jadi masing-masing anak itu beda, masalahnya, tentu beda penyelesaiannya gitu ya.
Jangan sampai dia sudah luka menjadi luka kembali. Ya memang kalau saya lihat dari tayangan dari media yang sampai ke teman-teman, ya memang terjadi perubahannya anaknya. Memeluk keluarganya, nangis gitu ya. Tapi ada kajian yang sudah kita baca dari Amerika dengan cara yang kurang lebih sama gitu ya, ya perubahannya itu tidak signifikan gitu, hanya sesaat. Nah ini yang menjadi kekhawatiran kita.
Negara ini bukan bertanggung jawab 15 hari kepada anak, bukan 6 bulan, tapi sampai usia 18 tahun. Di undang-undang kan disebutkan anak adalah usia 0 sampai 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. Nah ini yang bukan berteori, ini komponen sistem yang harus bergerak gitu kan. Tidak di ujung gitu, yang langsung diselesaikan oleh bapak ibu yang ada di TNI. Dan bahkan kita melihat kenapa tidak bapak ibunya masuk ke barak dulu, karena kan problemnya di keluarga kan.
Seharusnya kan keluarga ini, karena perintah konvensi hak anak dan undang-undang perlindungan anak, peran pemerintah, pemerintah daerah adalah memampukan orang tua untuk melakukan berbagai hal. Pengasuhan, kalau memang problemnya ekonomi membantu ekonomi keluarga itu. Kalau problem perlindungan tidak maksimal bagaimana keluarga itu mampu melindungi. Ini dulu dimampukan.
Ya memang tugas berat. Ya inilah saya kira kehadiran negara sebagai penanggung jawab terkait perlindungan anak. Nah ini yang saya kira apakah sudah dilakukan? Sudah. Tapi seperti apa efektivitasnya? Ini yang perlu dievaluasi. Itu yang diminta oleh KPAI, evaluasi. Kalau memang problem keluarga ya di keluarga diselesaikan, bukan anaknya sudah korban kemudian dalam tanda petik menjadi korban lain kedua kali.
Ya tentu kami akan melihat perubahan berlaku itu, kita berharap ada perubahan dari lingkungan positif yang dibangun oleh TNI. Kita berharap ini kan bisa bertahan selamanya sampai usia 18 tahun. Ya tapi akan kita pantau. Mudah-mudahan seperti itu.
Soal kajian di Amerika yang disinggung, bagaimana pola pendidikan militer di sana?
Ya kalau penamaannya kan beda, ada nama istilahnya kalau tidak salah family center, dari sisi penamaannya. Kemudian kedua memang anak-anak yang mengalami perlindungan khusus gitu ya dan ada juga residivis gitu, ya tapi itu tadi, tidak berdampak signifikan perubahan itu.
Apakah KPAI melihat hal ini berpotensi menjadi program Nasional?
Ya kalau yang baru kita dengar itu kan dari media ya, ada Bengkulu, saya juga melihat YouTube-nya di beberapa daerah, tapi yang agak masif itu baru Jawa Barat. Yang mana misalnya yang di Lembang itu, itu adalah sekitar 273 anak tingkat SMA, SMK sejenis. Itu memang anak dari berbagai macam kabupaten kota yang ada di Jawa Barat. Kalau di Purwakarta itu hanya SMP ya, kabupaten Purwakarta gitu ya.
Nah, apakah ini menjadi kebijakan nasional? Saya belum dengar gitu ya. Karena kalau itu kebijakan nasional ya dalam Undang-Undang Perlindungan Anak kita itu kan peran pemerintah dalam ini kementerian dan lembaga, kemudian ada pemerintah daerah gitu ya sampai hari ini kan belum ada koordinasi terkait itu ya, bahkan melakukan kebijakan itu secara nasional dan termasuk juga kebetulan kita ada audiensi dengan Pak Menteri Pendidikan [atau] Mendikdasmen, ya dia tidak ikut juga dengan program itu, tetap menguatkan ekosistem pendidikan, terutama di satuan pendidikan, baik formal maupun non formal gitu ya.
Ya yang baru kita lihat baru Jawa Barat. Jawa Tengah, misalnya Pak Gubernur menyampaikan dia model lain. Kalau ada anak berhadapan dengan hukum, ya ada tata caranya dengan anak berhadapan dengan hukum, baik korban, pelaku, dan saksi.
Kemudian DKI Jakarta lain lagi, ada bershalawat atau mau membuka seluas-luasnya pusat kreativitas anak, baik melalui perpustakaan, melalui ruang-ruang publik, ramah anak gitu ya, dan termasuk juga Jawa Timur, Bu Khofifah, juga punya model lain.
Jadi ya tentu kita lihat ya bagaimana kreativitas daerah dan tentu kami akan melakukan pengawasan memberikan masukan dan kajian-kajian yang dilakukan sehingga efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak itu bisa berjalan secara baik. Karena saya tentu percaya kepala daerah tentu niatnya baik, tapi tentu tata cara, prosedur, itu perlu kita ingatkan. Nah disinilah keberadaan kelembagaan KPAI.
Dengan banyaknya isu terkait anak, bagaimana seharusnya kita melindungi agar hak anak tak banyak dilanggar?
Ya kalau kita menyebutnya kasus-kasus anak ini seperti fenomena gunung es yang sebagian terlaporkan itu kan hanya permukaan saja, termasuk yang terlaporkan ke KPAI. Datanya cukup besar, apalagi dari 84,3 juta anak kita ini kan tersebar ya, 70 persen berada di daerah Jawa atau pulau Jawa.
Data dari kementerian PPA juga sama, kekerasan terhadap anak ini meningkat terutama psikis, kekerasan psikis. Keras psikis siapa pelakunya adalah orang terdekat, keluarga, bapak, ibu, kakek. Siapa lagi ya, oknum tenaga kependidikan. Siapa lagi ada juga aparat hukum, kemudian siapa lagi ada juga di orang-orang yang dikenal di sekitar anak, baik di media sosial maupun di lingkungan pertemanan.
Jadi karena data ini besar, termasuk juga Jawa Barat, karena Jawa Barat tentu populasi anaknya pasti 30 persen dari jumlah penduduk. Jadi apa yang sampaikan oleh Pak Gubernur soal kekerasan seksual, penelantaran, saya kira itu banyak. Nah saya kira disinilah tentu bagi kami angka-angka statistik ini kan tidak hanya dilihat soal besarannya. Bagi kita satu anak pun kasusnya sudah besar.
Maka bagaimana peran pemerintah dan pemerintah daerah? Menangani, mencegah gitu ya, kalau happy kita sebetulnya pencegahan gitu, happy kita. Kalau penanganan itu dari ujung, apa yang dilakukan oleh Pak Gubernur ini kan udah di ujung nih. Tapi di pencegahan tadi ya. Penguatan keluarga, penguatan tokoh agama, tokoh adat kita agar berperan, tokoh pendidik kita berperan, siapapun itu berperan, anak muda termasuk juga anak sendiri peer-to-peer ya, mengajak temannya supaya tidak melakukan upaya-upaya yang bisa mengganggu terkait tumbuh kembangnya dan termasuk juga lingkungan.
Nah ini kan upaya-upaya pencegahan, apakah itu bisa dilakukan? Bisa. Apakah di dalam situasi sekarang ini dengan adanya media sosial, saya kira sangat mudah. Ini kampanye ini harus kita lakukan sekreatif mungkin.
Nah anak-anak yang korban, katakanlah dengan anak dalam perlindungan khusus ini, ini ada lembaga rehabnya, ada lembaga-lembaga ekosistem yang perlu didorong. Katakanlah keluarga tidak mampu, karena kalau dimampu keluarga kan butuh waktu, sementara anak ini kan dalam situasi darurat. Kita berharap ada lembaga-lembaga pengasuhan, lembaga-lembaga rehab yang selama ini dimiliki oleh Pemda, itu dulu didorong.
Karena di lembaga pengasuhan atau lembaga rehab atau lembaga pendidikan, ini SDM-nya ada. Apakah kurang SDM, ya kalau dievaluasi ya tentu di tambah. Apakah pembiayaan APBD ini kurang, saya kira Jawa Barat bisa menambah.
Jadi saya belum melihat ini secara masif digerakkan. Kalau jalan iya pasti jalan, tanpa diperintah pun itu sudah tugasnya. Termasuk juga di Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak itu kan ada UPTD-PPA kita, ada Rumah Aman, ada juga Puspaga, Pusat Pendidikan Keluarga di Kabupaten Kota di Jawa Barat. Sudahkah ini digerakkan instrumen ini? Kalau memang adalah problemnya birokrasi ya saya kira disinilah. Satu sisi bagaimana memberikan inovasi.
Rekomendasi KPAI terkait program barak militer apakah sudah disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat secara formal tertulis?
Ya dalam minggu ini kita sampaikan tertulis. Kemudian kita juga sudah mengirim kepada Pak Gubernur permohonan audiensi, kita minta di tanggal 22 Mei. Kalau hari ini 21 Mei ya besok. Mudah-mudahan beliau berkenan.
Tapi informasi yang saya dapat kan baru Dinasnya yang bersedia, terutama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mungkin ada teman-teman yang akan berangkat ke sana, memberikan rekomendasi ini dan termasuk juga rekomendasi lain, pengawasan lain.
Saya kan kemarin juga mengawasi tentang terkait makan bergizi gratis. Nah ini kan bicara pemenuhan, pemenuhan gizi. Nah jadi kalau pemenuhan ini gagal, dia bermigrasi ke perlindungan khusus, jadi kita melihat mapping perlindungan anak kita itu kan, pemenuhan itu kan dari klaster 1 sampai klaster 4.
Klaster 1 itu terkait hak sipil dan kebebasan, hak sipil itu terkait identitas anak, akte lahir anak. Karena kalau dokumen anak ini tidak lengkap, ini kan potensi kerentanannya cukup besar, termasuk juga trafficking, termasuk juga kalau dia nanti kekurangan pembiayaan. Ini kan gak bisa mengakses terkait bantuan-bantuan sosial yang ada, nah ini harus dipastikan. Tidak ada satu pun anak yang tidak memiliki akte lahir.
Kemudian kedua ada terkait partisipasinya, partisipasi ini kan bisa dibangun di lingkungan keluarga. Di tempat ketika keluarga makan, bertanya kepada anak 'Nak hari ini bagaimana perasaan kamu di sekolah? Nak hari ini apa yang menyenangkan? Nak hari ini kita seperti apa?' dan sebagainya. Saya kira ini partisipasi di lingkungan keluarga harus didorong dan termasuk juga di sekolah, dan pemerintah daerah itu sudah punya yang namanya forum anak. Forum anak daerah itu sampai ke tingkat kelurahan, desa.
Ini instrumen ini kan harus digerakkan, harus ditanya. Jangan sampai anak sebagai objek, tapi harus sebagai subjek. Dia manusia loh. Dia punya perasaan loh. Dia punya, mungkin punya solusi yang lebih efektif dari problem dia daripada kita termasuk juga KPAI. Makanya kami terus bertanya kepada anak. Karena apa yang menjadi kekhawatiran dia? Kira-kira bagaimana solusi yang bisa kita bantu? Bukan kita biarkan, tapi kita bantu. Nah itu terkait klaster satu. Dan itu harus dilakukan.
Nah, klaster keluarga dan pengasuhan alternatif. Nah di isu keluarga ini kan tidak mudah dan berbagai macam negara juga menghadapi situasi itu. Tapi bukan hal yang tidak bisa dilakukan, bisa. Apalagi Indonesia ini kan kita kenal dengan budaya pengasuhan yang sangat luar biasa. Kalau di Jawa Barat itu kan ada ketika keluarga intinya bermasalah, nanti ada keluarga mukut. Kalau di Jawa keluarga nyengir. Di Sumatra Barat ada keluarga pengasuhan Nenek-Mama, ini kan pengusung budaya yang saya kira cukup tua yang harus digerakkan. Karena memang terjadi pergeseran hari ini. Tapi itu diingatkan kembali dan dilatih. Kemudian diminta tanggung jawabnya.
Keluarga-keluarga Indonesia ini kan harus disiapkan. Misalnya dari 13 ribu keluarga yang kita survei 2020 di 34 provinsi. 60 persen keluarga itu nggak ngerti, nggak paham cara mengasuh anak. Kemudian kita dalami profil keluarga ini, rata-rata tamatan SD. Dalam analisa kami ada relate ya antara pendidikan keluarga dengan pengetahuan dia, kemudian kemampuan dia belajar. Ini kan tantangan gap yang sangat besar.
Dan KPAI 10 tahun yang lalu sudah menyuarakan kepada DPR, kepada pemerintah agar rancangan undang-undang pengasuhan segera disahkan. Karena kita ingin membayangkan seperti 991-nya Amerika. Ketika ada kasus anak atau ada dugaan-dugaan potensi di keluarga atau isu-isu privat itu ada petugas yang datang ke rumah. Mengecek kulkasnya, tersedia kah makanan yang bisa dimakan oleh anak, bagaimana pengasuhannya, nah seperti itu. Hari ini kan kita seperti pemadam kebakaran, ada kasus dulu kita berteriak, mengutuk dan tapi tidak menyelesaikan masalah, itu isu keluarga.
Saya kira pemerintah sudah banyak melakukan program parenting dan semacamnya. Tapi ya tidak, kasusnya ya seperti itu. Perceraian, kemudian keluarga gak mengerti dan gak paham cara berkomunikasi dengan anak. Kelekatan dan kedekatan tidak terbangun, terutama anak-anak remaja, SMP, SMA itu kan sudah remaja. Dia butuh tempat curhat. Butuh situasi yang dimana mungkin dia dari sisi informasi sangat luar biasa didapatkan tapi dia mungkin bingung dan memilih informasi, nah disini peran keluarga, dan itu harus dikuatkan.
Isu ketiga adalah isu kesehatan. Hari ini terkait stunting, terkait kesehatan jiwa remaja kita, terkait anak melukai dirinya, kemudian mengakhiri hidupnya, nah ini kan harus ditangani secara baik. Dan termasuk juga ya tentu kita apresiasi pemerintah hari ini dengan program makan bergizi gratisnya setidaknya 30 persen pemenuhan kalori anak kita setiap hari kan bisa terpenuhi gizinya. Baik untuk ibu hamil, menyusui, kemudian balita dan termasuk juga anak sekolah. Nah ini kan isu-isu kesehatan yang saya kira harus didorong gitu ya bagaimana ini bisa efektif.
Kemudian yang keempat adalah di pemenuhan terkait pendidikan. Pendidikan, waktu luang, budaya, dan agama. Nah saya kira di pendidikan ini tentu kalau kita definisikan pendidikan tentu luas ya baik di pendidikan formal maupun non-formal gitu ya. Ada persekolahan, ada keluarga, ada di lembaga-lembaga lain gitu ya. Ini juga digerakkan gitu ya bagaimana guru kita ketika anak datang ke sekolah melihat satu persatu problemnya, apakah dia bisa senyum atau dia dalam keadaan lapar atau masalah apa gitu ya.
Saya kira ini harus dilakukan, guru harus dilatih seperti halnya bagaimana tentang ilmu ke-BK an gitu ya. Karena hari ini kan guru BK ini kan terbatas ya, kemarin di Purwakarta itu dinas juga menyampaikan gitu ya ada tiga sekolah negeri yang tidak ada guru BKnya. Kalau ada anak yang dari sana pertanyaan kita siapa yang merekomendasikan anak ini masuk ke barak gitu ya. Apakah gurunya atau kepala sekolahnya gitu ya. Jadi tidak dilakukan dengan assessment profesional.
Jadi di pendidikan ini saya kira kemarin kita kebetulan bertemu dengan Pak Mendikdasmen [Abdul Mu’ti] ya kita sampaikan, satu terkait isu anak tidak sekolah. Ini kan datanya cukup besar ya. Data yang terupdate di kita ada sekitar tiga setengah jutaan anak kita tidak sekolah gitu ya. Jawa Barat angka putus sekolahnya nomor satu, nomor satu dia. Kemudian ada Jawa Tengah dan Jawa Timur setelah itu. Nah ini kan PR yang tidak mudah itu harus diselesaikan gitu ya. Jangan sampai anak sudah korban kemudian korban selanjutnya gitu ya.
Nah begitu juga ruangan budaya, ruangan kreatifitas anak-anak kita gitu ya. Saya ada pernah nonton film ya anak-anak kriminal gitu ya. Awalnya dia pendekatan militer tapi gak menyelesaikan gitu ya. Film ini kalau gak salah di Perancis gitu ya. Tapi saya lihat baru trailernya gitu ya dan ada guru musik yang datang mendekati anak yang kriminal itu yang ada di sekolah gitu ya.
Dengan pendekatan musik dia bisa mengajarkan anak ini, menumbuhkan potensinya gitu ya, kemudian dia mengerti dengan potensinya dan dia terlibat berpartisipasi gitu ya. Nah saya kira cara-cara ini kan harus dihidupkan ya. Apalagi di Jawa Barat dengan kesenian yang sangat kaya gitu ya. Harus kita kenalkan ke anak-anak kita budaya yang sangat kaya gitu ya.
Kalau nggak ada pusat-pusat kreatifitas atau pusat budaya yang dalam tanda petik gratis ya, kalau berbayar mungkin ada. Termasuk juga tempat-tempat mainan yang sekarang kan yang berbayar kan banyak gitu ya. Tapi kan gak semua anak bisa masuk ke situ. Ini ya makanya pemerintah kan sudah punya namanya kebijakan kabupaten kota layak anak. Saya kira bagaimana kabupaten layak anak ini hadir di setiap anak-anak yang ada di sana. Jadi tidak hanya mengharapkan penghargaan atau mendapatkan predikat, tapi juga harus dipertanggungjawabkan gitu ya.
Saya kira ini tentu KPAI akan melihat komponen sistem perlindungan anak. Karena tugas KPAI itu adalah meningkatkan efektivitas pemenuhan perlindungan anak dengan tujuh tugas yaitu melakukan pengawasan, mengumpulkan data dan informasi, melakukan telaah kajian, kemudian bermitra dengan lembaga perlindungan anak gitu ya, kemudian melakukan mediasi, dan terakhir juga melaporkan terkait dugaan pelanggaran hukum ini pada aparat hukum.
Klaster kelima itu perlindungan khusus yang kami tidak happy. Sudah di ujung tadi. Ya perlindungan khusus itu kan macam-macam, anak berhadapan dengan hukum, anak terpapar dengan napza, anak terpapar narkoba, perlakuan salah lain, anak korban kekerasan fisik, psikis, seksual, kemudian anak terpapar pornografi gitu, anak yang terstigma karena situasi keluarga. Ini tata caranya kalau ada anak seperti itu, ada tata caranya.
Di peraturan-peraturan itu ada. Siapa profesinya ada di situ, siapa bertanggung jawab di situ ada. Nah kita ingin ini yang digerakkan, ya kalau enggak ya dievaluasi dulu, nampaknya enggak efektif. Karena begitu banyaknya problem anak kita, kan nampaknya enggak cukup ini, baru pilihan ini. Kita pengennya begitu.
Ya, saya kira kan kita kan pernah jadi anak ya. Kita pernah anak, bagaimana kita ingin bermain, bagaimana kita berteman, bagaimana kita merasakan kenang-kenang baik lah, saya kira setiap anak hampir sama lah ya. Jadi tadi soal ruang kreatifitas, ruang berdaya itu harus dibuka selebar-lebarnya, diinformasikan kepada anak, dan bahkan suruh anak ngisi di kegiatan-kegiatan itu, saya kira dia akan teralihkan perhatiannya. Tidak direbut oleh lingkungan yang tidak bertanggung jawab itu, geng motor, lingkungan perokok, dan sebagainya. Yang saya kira itu dari ujung lah.
Berarti pencegahan tampaknya menjadi poin terpenting di sini?
Iya, karena klaster pencegahan ini kan, dananya triliunan lah ya. Menteri Kesehatan, kemudian Kemendikdasmen, kemudian BKKBN, PPPA, dan sebagainya, di daerah juga sama. Kita happy-nya bagaimana upaya pencegahan itu, kalau memang tidak efektif, direvitalisasi kembali. Apakah kelembagaannya, atau orangnya, atau anggarannya yang kurang ya harus didorong. Lalu-lalu di anggaran yang ada, baik dimiliki oleh pemerintah daerah, maupun dengan termasuk juga dunia usaha. Kalau ini dikira-kira, saya kira apa yang menjadi cita-cita Pak Gubernur itu, mungkin akan lebih efektif ya, dibanding kita berkontroversi, dan sebagainya.
Apa peran yang dapat dilakukan masyarakat agar turut menjaga tumbuh kembang anak dan perlindungannya?
Iya kan, negara kan punya harapan terkait generasi emas ya, 2045 atau 100 tahun Indonesia. Tentu yang kita harapkan, anak-anak hari ini usia 0 sampai 18 tahun itu kan akan mengisi peran-peran kebangsaan, peran keluarga, peran apapun lah. Oleh sebab itu, kita berharap bahwa hari ini anak-anak kita itu memang tidak baik-baik saja.
Namun tidak cukup kita mengeluarkan statement seperti itu, perlu langkah-langkah, terutama upaya pencegahan di tingkat keluarga, bagaimana memampukan keluarga, bagaimana keluarga mengerti dan memahami mengasuh anak, bagaimana keluarga punya waktu untuk mengasuh anak. Karena hari ini kalau kita lihat, keluarga yang sibuk ya, secara fisik dia hadir tapi sibuk dengan gadgetnya. Nah saya kira ini kan harus diedukasi, karena usia anak itu kan bukan mundur, dia terus maju. Kebutuhannya juga berbeda-beda, tumbuh kembangnya juga berbeda-beda. Setiap usia anak tentu berbeda-beda.
Bagaimana memampukan orang tua, mungkin saya lihat sudah banyak dilakukan oleh pemerintah, misalnya ada pendidikan pranikah di calon pengantin, di berbagai macam agama melakukan itu. Ini kan salah satu upaya. Kemudian apalagi di pemerintah daerah ada namanya pusat pendidikan keluarga (Puspaga).
Bagi keluarga yang tidak paham menghadapi anak, mengasuh anak, kita berharap Puspaga-nya bisa datang kepada keluarga, tidak duduk di balik meja. Karena dalam data kita menyebutkan, kemarin kita tanya ke pengelola Puspaga sudah berapa keluarga yang berkonsultasi, ini tidak bisa dijawab juga. Jadi ini harus direvitalisasi, karena di puspaga ini ada psikolog, ada pendamping-pendamping lain, yang bisa diberikan pemahaman pada keluarga.
Kalau keluarga problemnya adalah ekonomi, ini diberikan skema bantuan ekonomi. Atau yang agak masif itu PKH, itu juga bagus. Karena di program PKH itu ada temu keluarga, ada isu pengasuhan juga, saya kira ini harus digerakkan.
Kemudian juga peran masyarakat. Jadi komponen sistem pelindung anak itu keluarga, orang tua, keluarga, kemudian pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, dan masyarakat ini kan cukup banyak. Termasuk teman-teman media, dunia usaha, organisasi keagamaan, lembaga pelindung anak. Ini komponen sistem ini harus bergerak dan mengambil peran.
Di sinilah peran pemerintah, pemerintah daerah mau menggerakkan itu, mengedukasi atau bekerjasama. Kalau memang lembaganya tidak mampu, ya membantu agar lembaga ini berperan. Termasuk juga di keluarga. Termasuk juga bagaimana informasi-informasi ini disampaikan ke media sosial, yang saya kira hari ini sosialisasi terkait perlindungan anak itu sangat mudah kita lakukan, melalui podcast seperti ini, kemudian media-media lain. Ini harus dilakukan.
Karena kalau kita lihat kejahatan terhadap anak itu kan model dan modusnya terus berkembang ya, dan bahkan regulasi pun tertinggal dengan situasi-situasi itu. Kalau kita lihat situasi FB Sedarah itu sangat luar biasa untuk merekrut identitas-identitas yang itu adalah ada anak di sana.
Oleh sebab itu, generasi emas itu harus kita wujudkan, butuh peran lintas sektor, butuh kerjasama semua pihak. Dan KPAI memastikan itu bagaimana efektivitas para pihak ini bisa menunaikan tugasnya, menjalankan mandat undang-undang. Sehingga dimanapun anak-anak berada tetap dalam lingkungan mendukung.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Anggun P Situmorang