tirto.id - Seperti banyak orang yang mengikuti budaya turun-temurun, saya juga melakukan perjalanan mudik menjelang hari Lebaran kemarin. Saat itu, tanpa tanpa memperhitungkan ongkos menuju dan dari bandara, saya hanya menghabiskan uang Rp558.802 untuk membeli tiket Jakarta-Lombok pada Januari alias lebih dari tiga bulan sebelum hari raya.
Saya juga tak mengeluarkan uang sepeser pun untuk membeli makanan/minuman di bandara yang terkenal mahal itu karena perjalanan dilakukan di bulan puasa.
Saya anggap perjalanan ini sebagai berkah; kemenangan kecil. Kemenangan terhadap harga tiket pesawat yang kian melambung. Saat berbincang dengan sesama pemudik di bandara, hampir semuanya mengaku harus mengeluarkan kocek satu hingga tiga juta rupiah per tiket untuk sampai tujuan, jauh dari harga "normal."
Bahkan sampai sekarang harga tiket perjalanan udara masih tetap di atas normal. Tiket jurusan Jakarta-Padang yang umumnya dapat ditebus di kisaran Rp500 ribuan, misalnya, kini bertarif sekitar Rp1 juta. Untuk melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Singapura, tiket termurah saat ini berada di angka Rp3,4 juta.
Secara umum, melambungnya harga tiket pesawat tak hanya dirasakan masyarakat Indonesia, tetapi juga warga dunia. Menurut data yang dipaparkan Bureau of Labor Statistics, harga tiket pesawat di Amerika Serikat mengalami peningkatan rata-rata sebesar 33,3 persen dibandingkan tahun lalu, alias "yang terbesar sejak 1863 silam." Sementara tiket perjalanan di Eropa, menurut klaim bos Ryanair Michael O'Leary, saat ini meningkat "tak kurang dari satu digit terbesar (8 atau 9 persen)."
Mengapa harga tiket pesawat melambung? Jawabannya adalah mekanisme pasar yang didukung melejitnya harga bahan bakar.
Covid-19 Melandai, Masyarakat Mengangkasa, Bahan Bakar Melambung
Merujuk data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), sebulan selepas pemerintah Indonesia mengumumkan adanya penularan lokal SARS-CoV-2, jumlah penumpang penerbangan mengalami penurunan signifikan.
Mengakomodasi 1,5 juta dan 1,2 juta penumpang perjalanan lokal pada Februari-Maret 2020, Bandara Soekarno-Hatta kemudian hanya melayani 200 ribu penumpang di bulan April. Total, pada tahun tersebut, lapangan terbang utama di Indonesia itu hanya melayani 8,6 juta penumpang--atau 700 ribuan penumpang per bulan.
Penurunan berlanjut tahun berikutnya, bahkan lebih dalam. Bandara Soekarno-Hatta hanya memberangkatkan 7,9 juta penumpang tujuan lokal.
Sebagai perbandingan, sebelum Covid-19 menampakkan diri di Indonesia dan para pejabat pertama-tama meremehkannya, tak kurang 19 juta penumpang terbang dari Bandara Soekarno-Hatta setiap tahun.
Fenomena ini tentu saja berdampak pula ke maskapai. Jumlah penumpang yang melorot membuat mereka menurunkan kapasitas penerbangan demi menjaga ritme permintaan-penawaran.
Restrukturisasi pun dilakukan, misalnya oleh Lion Air dan Airasia. Pada Juli 2021, Lion Air mengurangi jumlah karyawan sebanyak 25 persen. Sementara Airasia, pada Oktober 2020, melakukan pemutusan hubungan kerja pada 24 ribu pekerja.
Situasi mulai berubah setelah dua tahun pandemi. Permintaan atas penerbangan mulai meningkat meskipun Covid-19 belum benar-benar sirna dari muka bumi. Dalam empat bulan pertama 2022, dimotori oleh perayaan tahun baru dan Idulfitri serta restu dari negara yang memperbolehkan masyarakat berlalu-lalang di masa pandemi, jumlah penumpang domestik di Bandara Soekarno-Hatta merangsek menyentuh angka 4,2 juta--atau lebih dari 1 juta penumpang per bulan.
Maka hukum permintaan dan penawaran pun bekerja. Terjadinya peningkatan terhadap jasa penerbangan tidak dibarengi dengan penambahan penawaran karena maskapai menurunkan kapasitasnya. Akibatnya tidak lain adalah tak terelakannya kenaikan harga tiket.
Namun harga tiket pesawat saat ini tetap terasa tak wajar karena dapat menyentuh dua kali lipat dari harga "normal". Ketidakwajaran ini baru menjadi sebaliknya setelah mempertimbangkan satu variabel lain: tarif bahan bakar.
International Air Transport Association (IATA) menyatakan gara-gara invasi Rusia terhadap Ukraina, per akhir Mei lalu, harga avtur melonjak hingga 150 persen dibandingkan setahun sebelumnya. Avtur yang tadinya dijual di kisaran 50 dolar AS per barel (1 barel sama dengan 158,97 liter) di wilayah Asia, kini harus ditebus dengan mahar senilai 147,09 dolar AS per barel.
Kenaikan harga avtur, ditambah strategi maskapai yang mengurangi kapasitas penerbangan gara-gara terbelenggu Covid-19 selama dua tahun, akhirnya menciptakan malapetaka bagi siapa pun yang hendak bepergian.
Kenaikan bahan bakar menjadi faktor kunci karena itulah beban terbesar saat sebuah pesawat melaksanakan tugasnya--mengangkut penumpang lewat udara. Artikel Scott McCartney untuk The Wall Street Journal pada 2012 silam menjelaskan hitung-hitungan teoretisnya.
Katakanlah ada sebuah pesawat berisi 100 penumpang dan masing-masing dari mereka membayar tiket sebesar 164 dolar AS. Biaya bahan bakar itu setara dengan ongkos yang dikeluarkan 29 penumpang, yakni 4.726 dolar AS atau hampir sekitar Rp70 juta. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan beban apa pun, termasuk untuk menggaji pilot dan pramugari--yang hanya menghabiskan penghasilan dari 20 tiket (3.280 dolar AS atau Rp47 juta).
Dikurangi beban untuk memiliki/sewa pesawat (menghabiskan 16 tiket), pelbagai pajak negara (14 tiket), perawatan pesawat (11 tiket), serta katering, biaya parkir, dan asuransi (9 tiket), merujuk hitung-hitungan tersebut, maskapai hanya memperoleh untung dari satu penumpang.
Terasa aneh, memang. Namun kita tentu tak bisa melihatnya dari satu penerbangan saja. Ambil contoh operasional US Airlines (kini American Airlines) yang melayani 6.700 penerbangan per hari. Dengan hanya memperoleh untung dari 1 tiket per penerbangan, maskapai tersebut mendulang keuntungan sebesar 1.098.800 dolar AS atau setara dengan Rp15,9 miliar per hari.
Tentu keuntungan yang menggiurkan dari satu tiket per satu penerbangan di atas hanya hitung-hitungan teoretis semata. Itu hanya mungkin terjadi apabila tiket terjangkau alias dibeli masyarakat, sesuatu yang tidak terjadi di mana saja.
Di Nigeria, misalnya, merujuk laporan Emele Onu untuk Bloomberg, pelbagai maskapai terpaksa menghentikan seluruh penerbangan. Langkah ini harus dilakukan karena harga tiket yang melesat tinggi gara-gara bahan bakar membuat masyarakat berpikir ulang untuk bepergian.
Editor: Rio Apinino