tirto.id - Sebagai salah satu kota satelit Jakarta, Depok adalah yang termuda. Daerah ini menjadi kota administratif pada tahun 1981, dan baru tahun 1999 menjadi kota mandiri. Di era Orde Baru, Depok dijadikan sebagai wilayah hunian perintis Perumahaan Nasional (Perumnas). Perkembangannya seiring dengan pembangunan kampus Universitas Indonesia dan Jalan Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi).
Di era kolonial, seturut Amanda Uma Zahra dan Fajar Muhammad Nugraha dalam “Dinamika Kehidupan Sosial Belanda Depok dalam mempertahankan Budaya Leluhurnya periode 1913-1945” (2024), juga menurut beberapa peneliti sejarah lainnya, Cornelis Chastelein (1657-1714) menjadi tokoh sentral dalam pendirian Kota Depok.
Sebagai seorang Kristen yang taat, Cornelis Chastelein mendirikan pemukiman bagi para budaknya yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara, dengan tugas menghidupi perkebunan yang membentang di sekitar wilayah lama Depok sejak tahun 1696.
Hal lain yang dapat digali dari Depok adalah sisi kepurbakalaan. Para arkeolog menemukan beberapa artefak kebudayaan yang cukup kuno di wilayah ini, bahkan beberapa di antaranya berasal dari masa prasejarah dengan rentang waktu ribuan tahun yang lalu. Dengan demikian, Depok menjadi salah satu hunian nirleka yang menarik untuk diungkap lebih lanjut.
Perbengkelan Batu
Sejumlah besar temuan arkeologis paling awal di Depok telah dilaporkan secara rinci dalam Rapporten van den Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indië (1914) yang dikompilasikan oleh N.J. Krom. Sebaran temuan saat itu meliputi beberapa daerah di Keresidenan Buitenzorg (Bogor), yang saat ini masuk ke dalam wilayah Kota Depok.
Wilayah itu antara lain Onderdistrik Depok (sekitar Depok Lama sekarang) dan Onderdistrik Cilodong. Di kedua tempat ini pemerintah kolonial menemukan alat batu era praaksara dan semacam altar pemujaan yang terbuat dari batu dengan penggarapan kasar.
Selain uraian akan penemuan-penemuan itu, tidak ada laporan lebih lanjut yang mengesankan para orientalis kolonial, kecuali catatan bahwa alat batu dari Depok itu telah dibawa ke Museum Nasional dengan nomor inventaris 2075.
Penelitian lebih lanjut muncul pada periode setelah kemerdekaan. Mulai dihuninya beberapa daerah di pelosok selatan Jakarta menyebabkan banyaknya laporan masyarakat tentang penemuan tinggalan-tinggalan arkeologis di sekitar Depok.
Menurut Hasan Djafar dalam “Sejarah Peradaban Jakarta Sebelum Jayakarta: 3000 Sebelum Masehi sampai 1527 Masehi” (2018), penelusuran arkeologi paling awal di Depok berlangsung di daerah Kelapa Dua, Cimanggis, yang berlangsung sejak 1967 hingga 1970, yakni berupa survei permukaan oleh Lembaga Purbakala dan Penelitian Nasional (LPPN).
Atas dasar hasil survei yang mereka lakukan, Dinas Museum dan Sejarah Jakarta beserta para peneliti LPPN kemudian melaksanakan serangkaian kegiatan ekskavasi besar-besaran pada tahun 1971, dengan fokus penggalian di daerah sempadan Sungai Ciliwung.
Hasil dari penggalian itu amat melimpah. Para arkeolog menemukan pecahan gerabah, gelang batu, manik-manik batu mulia, beliung persegi, dan “bakal” beliung persegi. Temuan yang terakhir disebut merupakan indikasi terkuat bahwa Situs Kelapa Dua merupakan situs perbengkelan alat batu prasejarah yang telah eksis setidaknya pada masa bercocok tanam (beberapa ribu tahun sebelum Masehi sampai awal Masehi).
Situs yang terdekat dan mungkin terasosiasi dengan Situs Kelapa Dua adalah Situs Pondok Cina, yang juga terletak di daerah aliran Sungai Ciliwung—walau lokasinya lebih ke hulu. Ali Akbar dalam Zaman Prasejarah di Jakarta dan Sekitarnya (2008) mencatat bahwa penggalian pada situs itu sudah berlangsung sejak 1984 dengan jenis temuan yang hampir serupa.
Cakupan penelitian arkeologi prasejarah di Depok kemudian kian menyebar ke berbagai daerah dengan indikasi serupa. Pembukaan kotak gali selanjutnya adalah di Situs Bukit Sangkuriang dan Bukit Kucong, di sekitar wilayah Limo-Cinere.
Seturut Hasan Djafar dalam “Sejarah Peradaban Jakarta Sebelum Jayakarta: 3000 Sebelum Masehi sampai 1527 Masehi” (2018), penggalian di kawasan ini sangat intensif yang berlangsung berturut-turut pada tahun 1976, 1977 dan 1980. Hasilnya, temuan dari daerah ini lebih melimpah serta lebih beragam.
Selain ditemukan indikasi artefak prasejarah seperti beliung dan alat batu lain, di kawasan ini juga para arkeolog menemukan keramik Cina dari era Dinasti Song (abad ke-13) hingga Dinasti Qing (abad ke-17 sampai 18). Artinya, Situs Bukit Sangkuriang dan Bukit Kucong telah dihuni dalam rentang waktu yang sangat panjang, dari era prasejarah sampai masa awal kolonial.
Peradaban Ciliwung
Lantas, kehidupan manusia seperti apa yang berlangsung di Depok sebelum Cornelis Chastelein membuka lahan perkebunan?
Wanny Rahardjo dalam tesisnya yang berjudul Sisa-sisa Kegiatan Masyarakat Prasejarah di Daerah Aliran Sungai Ciliwung: Suatu Kajian Arkeologi Ekonomi (1991) menduga bahwa di Depok terdapat satu kelompok masyarakat yang disebut sebagai masyarakat “Peradaban Ciliwung”.
Orang yang menghuni sempadan Sungai Ciliwung di daerah Depok mungkin sekali berhubungan secara ekonomi dan sosial dengan masyarakat di sekitar sempadan Ciliwung lain di daerah Jakarta, misalnya mereka yang menghuni wilayah Tanjung Barat, Kalibata, hingga Kramat Jati.
Situs-situs di sekitar Depok bagi Rahardjo bisa dianggap sebagai wilayah produksi peralatan batu era bercocok tanam, sebab di daerah Depok terdapat persediaan batu-batu bahan beliung untuk kegiatan bercocok tanam. Sebagian dari batu itu didistribusikan dan ditukar dengan wilayah penghasil logam seperti daerah Pejaten dan Condet yang berada di wilayah hilir Sungai Ciliwung.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































