tirto.id - Sorot sarat semangat terpancar dari wajah Luis Milla sesaat setelah dirinya resmi ditetapkan sebagai pelatih Timnas Indonesia oleh PSSI. Pria asal Spanyol ini tampaknya sangat yakin mampu mengakhiri dahaga prestasi tim merah-putih. Segudang ilmu dan pengalaman selama berkiprah di persepakbolaan Eropa akan dikerahkannya untuk membawa Garuda terbang lebih tinggi lagi.
Siapa sebenarnya Luis Milla?
Namanya mungkin kurang terlalu familiar untuk publik sepakbola Indonesia pada umumnya. Namun, Luis Milla ternyata punya rekam jejak yang sangat mentereng semasa masih merumput. Orang ini adalah jebolan La Masia, lalu meniti karier di Barcelona namun kemudian menyeberang ke Real Madrid sebelum akhirnya gantung sepatu di Valencia.
Berasal dari kota kecil di Spanyol bernama Teruel yang dihuni kurang dari 40.000 orang penduduk, Luis Milla mulai menjajal sepakbola bersama akademi klub di kampung kelahirannya sejak 1982. Sewarsa berselang, ia masuk ke La Masia yang tidak lain adalah akademi sepakbola klub raksasa Barcelona.
Di La Masia, Luis Milla adalah kakak angkatan nama-nama kondang macam Pep Guardiola, Sergi Barjuan, Jordi Cruyff, Javi Moreno, Ivan de la Pena, dan seterusnya hingga era Xavi, Cesc Fabregas, Gerard Pique, Andres Iniesta, Sergio Busquets, serta tentunya Lionel Messi. Milla berposisi sebagai gelandang bertahan.
Tentang La Masia dapat dibaca selengkapnya dalam artikel berjudul: Dari La Masia Bukan untuk Barcelona.
Proses yang dilakoninya di akademi tim Catalan itu pun berjalan mulus. Hanya perlu waktu 2 tahun baginya untuk naik kelas ke Barcelona B pada 1985. Aksi Milla di tim B ternyata menarik perhatian pelatih Barcelona kala itu, Terry Venables, dengan memberinya beberapa kali kesempatan untuk membuktikan diri di skuad senior.
Resminya, Milla berkecimpung di Barcelona B dari 1985 hingga 1988 dengan total tampil di 40 laga. Namun, Venables cukup sering memanggilnya ke tim utama Barcelona sejak 1984 dan turut menjadi bagian dari skuad juara yang meraih trofi La Liga musim 1984/1985.
Selanjutnya, Milla kerap unjuk gigi di tim senior El Blaugrana dengan berperan dalam 54 pertandingan dan ikut menyumbangkan gelar kampiun Piala Winners 1988/1989 serta juara Copa Del Rey 1989/1990.
Memasuki pergantian dekade, Milla membuat fans Barcelona terkejut. Bagaimana tidak? Setelah secara reguler menghuni skuad utama Barcelona sejak 1988, ia nekad membelot ke Real Madrid pada 1990.
Milla mengambil keputusan tersebut dengan kesadaran tinggi. Ia bisa saja memilih klub lain karena saat itu statusnya sedang bebas transfer, tapi Milla dengan mantap melangkah ke seberang, ke arah kubu rival Barcelona paling abadi, El Real.
Usut punya usut, kenekatan Milla tersebut bermula dari sengketa perpanjangan kontrak dengan jajaran petinggi Barcelona yang juga melibatkan campur tangan Johan Cruyff yang menjadi pelatih El Blaugrana saat itu.
Besar kemungkinan lantaran naik pitam, Milla sengaja menyeberang ke Real Madrid secara cuma-cuma. Aksi pembelotan seperti tentu saja memantik murka suporter Barcelona, seperti yang juga dialami oleh Luis Figo tepat berselang satu dasawarsa kemudian.
Sempat mengalami kesulitan di musim debutnya bersama El Real, Milla pada akhirnya menjadi salah satu pemain pujaan Madridista. Selama 7 tahun beruntun, ia bermain bareng para bintang yang silih-berganti memperkuat tim ibukota itu.
Milla bahu-membahu dengan nama-nama top di Real Madrid dari era Fernando Hierro, Gheorghe Hagi, Emilio Butragueno, juga Ivan Zamorano, sampai ke zaman Fernando Redondo, Roberto Carlos, Pedrag Mijatovic, Santiago Canizares, Christian Panucci, dan pastinya sang pangeran Raul Gonzales.
Setelah mempersembahkan 5 trofi untuk El Real, Milla hijrah ke klub mapan La Liga lainnya, Valencia, dan menghuni Mestalla sejak 1997 sampai gantung sepatu pada 2001. Di Los Che, ia mengoleksi 79 pertandingan dan turut mempersembahkan 3 trofi yaitu Copa del Rey, Piala Super Spanyol, dan Piala Intertoto.
Milla menghabiskan 5 tahun berikutnya tanpa kabar berita yang pasti hingga akhirnya ia kembali ke kancah sepakbola dengan peran baru sebagai pelatih sejak 2006. Sempat mengantarkan Spanyol U19 sebagai runner-up Piala Eropa 2010, Milla menggila setahun berikutnya. Tim Matador U21 dibawanya menjadi raja muda Eropa dengan menjuarai Euro U20 edisi 2011.
Prestasi itulah yang dijadikan salah satu pertimbangan utama bagi PSSI untuk memilih Milla sebagai pelatih Timnas Indonesia sekaligus U22. Milla menyingkirkan kandidat kuat lainnya, Luis Fernandez yang pernah membesut Paris Saint Germain (PSG), sebagai pengganti Alfred Riedl.
Tentang kiprah Alfred Riedl dapat dibaca selengkapnya dalam artikel berjudul: Tambah Tua, Opa Riedl Kapan Juara?
Mampukah Luis Milla Berprestasi?
Bukan sekali ini saja Timnas Indonesia ditukangi oleh juru taktik top yang sudah punya nama di panggung sepakbola internasional, baik sebagai pemain maupun pelatih. Sebutlah Ivan Kolev yang pernah menangani Bulgaria U19 dan U12, juga Peter White yang tidak lain adalah legenda Aston Villa sekaligus top skor Liga Utama Inggris musim 1980/1981.
Mantan tim nasional Belanda yang mengawali karier kepelatihannya di Ajax Amsterdam, Wim Rijsbergen, pun sempat melatih Timnas Indonesia. Ada pula Pieter Huistra yang pernah memperkuat De Oranje sekaligus legenda hidup klub Skotlandia, Glasgow Rangers.
Belum lagi jika menyebut nama Alfred Riedl yang senyatanya adalah peraih gelar pencetak gol terbanyak di Bundesliga Austria dan 2 kali top skor di kasta tertinggi kompetisi Belgia. Riedl bahkan pernah menjadi pelatih timnas senior negaranya, Austria.
Hasilnya? Jauh panggang dari api. Belum ada satu pun pelatih yang sanggup memberikan Indonesia trofi bergengsi, bahkan di level Asia Tenggara sekalipun, kecuali medali emas SEA Games 1991 yang hadir pada masa kepelatihan Anatoli Polosin.
Luis Milla adalah pelatih asing ke-18 yang pernah membesut Timnas Indonesia, dan sejauh ini pasukan Merah-Putih masih kering prestasi. Nanti kita lihat, apakah ia hanya numpang lewat seperti kebanyakan pelatih yang sering terlalu cepat dipecat PSSI, atau Milla justru bertahan lama dan berhasil mempersembahkan sesuatu yang berarti bagi pecinta tim nasional Garuda.
Selamat bekerja, Coach Milla!
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS