tirto.id - Kaku sedingin es, mimik nir ekspresi, tapi punya disiplin tinggi: Alfred Riedl. Sudah 3 kali ia menjadi pelatih Timnas Indonesia, namun belum pernah sekalipun membawa Garuda juara. Begitu pula dengan tim-tim lain yang pernah dibesutnya, baik di level klub maupun tim nasional.
Tanggal 2 November 2016 lalu, Riedl merayakan ulang tahunnya yang ke-67. Usia yang sarat pengalaman. Orangtua asli Austria ini memang punya rekam jejak panjang di kancah sepakbola dunia, baik saat masih menjadi pemain maupun kini selaku pelatih.
Milad Riedl kali ini bertepatan dengan persiapan Timnas Indonesia menuju Piala AFF 2016 yang akan digelar di Filipina dan Myanmar pada 19 November hingga 17 Desember 2016 mendatang.
Tentunya pecinta sepakbola di tanah air berharap Riedl bisa mewujudkan mimpi juara AFF untuk pertamakalinya bagi Indonesia, dan di kesempatan ketiga yang telah diberikan kepadanya.
Mister Runner-up
Alfred Riedl selalu akrab dengan status runner-up atau posisi kedua setiap menukangi tim nasional. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bukan satu-satunya negeri yang timnasnya sempat dipegang oleh Riedl. Vietnam dan Laos juga pernah.
Bahkan, seperti Indonesia, dua negeri tetangga itu juga bukan sekali saja ditangani Riedl. Vietnam dibesutnya 3 kali, yakni pada 1998–2000, 2003–2004, dan 2005–2007. Sementara Laos sudah 2 kali merasakan tangan dinginnya, pada 2009–2010 selaku pelatih dan 2011–2012 sebagai direktur teknik.
Hasilnya? Nihil trofi semua!
Selama menukangi 3 tim nasional di ASEAN, termasuk Indonesia pada 2010–2011, 2013–2014, dan tahun 2016 ini, prestasi Riedl paling mentok hanya finish di urutan kedua.
Vietnam bahkan dibawanya 5 kali runner-up, yakni di Piala AFF (1998) dan King's Cup (2006), serta 3 kali di SEA Games (1999, 2003, dan 2005). Sebagai catatan, King’s Cup adalah turnamen tahunan garapan Federasi Sepakbola Thailand sejak 1968 dan masih ada hingga kini.
Capaian serupa juga ditorehkan Riedl untuk Timnas Indonesia meskipun tidak sebanyak Vietnam, yakni hanya sekali saja sebagai runner-up di Piala AFF 2010. Padahal, saat itu Jakarta menjadi tuan rumah bersama Hanoi.
Di partai puncak, Indonesia diganyang Malaysia 3 gol tanpa balas dalam final pertama di Kuala Lumpur. Di final kedua di Jakarta, tim Merah-Putih hanya menang 2-1. Kegagalan itu ini masih menyisakan teka-teki, termasuk dugaan konspirasi yang menyeret nama Rield dan PSSI.
Perkasa di Masa Muda
Alfred Riedl ternyata punya torehan menawan semasa aktif sebagai pesepakbola. Pria kelahiran Vienna (Wina), Austria, 2 November 1949, ini dikenal sebagai penyerang yang lumayan garang. Total, Riedl telah melesakkan 210 gol dalam 427 laga kompetitif bersama 8 klub profesional dari berbagai negara.
Tahun 1961, Rield mengawali kiprah di akademi klub lokal, ATSV Teesdorf. Ia berkarier lebih serius sejak 1967 saat direkrut FK Austria Wien, klub kontestan Bundesliga Austria, pada usia 18 tahun.
Rield remaja bahkan menjadi salah satu legenda di klub kota kelahirannya itu. Bertahan 5 musim, ia membukukan 58 gol dalam 98 pertandingan. Riedl langsung menuai karier gemilang di umur yang masih sangat muda.
Selain turut membawa klubnya 2 kali beruntun juara Bundesliga Austria pada 1969 dan 1970, Riedl juga tampil sebagai top skor alias pencetak gol terbanyak di musim terakhirnya bersama FK Austria Wien, tahun 1972.
Dari Austria, ia merantau ke Belgia dan bergabung dengan Sint-Truiden selama 2 musim. Di musim debutnya, 1973/1974, Riedl langsung menjadi top skor kompetisi Divisi Utama Belgia.
Prestasi tersebut diulanginya dua musim berselang saat memperkuat FC Antwerp di kompetisi yang sama. Dengan demikian, Riedl sudah 3 kali meraih sepatu emas bersama 3 klub dari 2 liga di negara yang berbeda.
Aksi Riedl membuat klub raksasa Belgia, Standard Liege, memboyongnya. Ini adalah salah satu klub tersukses di negara tetangga Belanda tersebut yang hingga kini telah mengoleksi 10 gelar liga, 7 kali juara Piala Belgia, 4 trofi Piala Super Belgia, serta masing-masing 1 kali juara Piala Liga Belgia, Piala Winners UEFA, dan Piala Intertoto.
Setelah 4 tahun membela Standard Liege dengan gelontoran 53 gol dalam 106 laga, Riedl digaet klub Ligue1 Prancis, FC Metz, pada 1980. Sayangnya, ia hanya setengah musim bertahan di sana dengan tampil di 19 pertandingan dan mencetak 6 gol.
Sejak saat itu, performa Riedl menurun. Ia pulang ke negaranya dan memperkuat Grazer AK selama semusim, 11 gol dalam 42 laga dibuatnya. Lalu, ia pindah ke klub semenjana Austria lainnya, Wiener Sportclub, dengan torehan 15 gol dalam 52 pertandingan selama dua musim.
Musim 1984/1985 menjadi akhir kariernya sebagai pemain, dan sayangnya, dituntaskan dengan ironis. Riedl gantung sepatu di sebuah klub kecil bernama VfB Modling tanpa pernah tampil sekalipun.
Untuk tim nasional, Riedl pernah memperkuat Austria U18 dengan 5 caps, kemudian 6 caps di Austria U23, dan hanya 4 caps di timnas senior pada 1975-1978. Di tiga tingkatan usia timnas tersebut, Rield sama sekali tidak mencetak gol.
Riedl menapak babak baru sebagai pelatih di usia 41 tahun. Hebatnya, ia langsung dipercaya menukangi Austria pada 1990, namun hanya setahun. Selanjutnya, Riedl berkelana ke berbagai belahan bumi untuk membesut klub atau timnas di banyak negara.
Di level klub, Riedl pernah menangani Olympique Club de Khouribga (Maroko), Zamalek SC (Mesir), Khatoco Khanh Hoa dan Hai Phong FC (Vietnam), Al-Salmiya SC (Kuwait), CS Vise (Belgia), hingga klub tertua di Indonesia, PSM Makassar.
Sedangkan untuk timnas, selain Austria, Vietnam, Laos, serta Indonesia, Riedl juga pernah menjadi pelatih tim nasional Liechtenstein (1997–1998) dan Palestina (2004–2005). Sialnya, dari sederet portofolio itu, Riedl belum pernah mempersembahkan gelar juara untuk klub atau timnas yang dinahkodainya.
Asa Terakhir di Ujung Karier
Penunjukan Alfred Riedl sebagai juru taktik Timnas Indonesia untuk ketigakalinya sempat menuai kontroversi. Banyak pihak pesimis tim Merah Putih bakal sulit berkembang mengingat dua pengalaman sebelumnya bersama pelatih kawakan itu.
Tak disangka, Riedl tampil berani. Dengan persiapan yang mepet dan situasi yang belum sepenuhnya stabil karena Indonesia baru saja bebas dari sanksi FIFA, ia mengambil keputusan frontal dengan tidak menyertakan banyak nama paten di tim Merah-Putih yang akan tampil di Piala AFF 2016.
Selain itu, Riedl sejauh ini hanya melibatkan satu pemain naturalisasi saja, yakni Stefano Lilipaly, dan mengabaikan nama-nama besar macam Cristian Gonzales, Victor Igbonefo, Greg Nwokolo, Bio Paulin, Sergio van Dijk, hingga Raphael Maitimo.
Meskipun hanya bisa memakai maksimal 2 pemain dari setiap klub, Riedl percaya diri dengan menyertakan banyak pemain muda, bahkan debutan, di timnas senior. Sebut saja Evan Dimas, Bayu Pradana, Dedi Kusnandar, Rudolof Yanto Basna, Septian David Maulana, Hansamu Yama Pranata, juga Abdul Rachman.
Hasil racikan terbaru Riedl ternyata tak begitu buruk. Indonesia melakoni laga internasional pertamanya setelah lepas dari skorsing FiFA dengan mulus. Malaysia digasak 3-0, kemudian imbang 2-2 melawan Vietnam. Dua laga ujicoba kontra lawan yang persiapannya lebih matang itu dihelat di negeri sendiri.
Yang paling anyar, pasukan Garuda berhasil menahan seri tuan rumah Myanmar tanpa gol dalam pertandingan antarnegara selanjutnya di Thuwanna YTC Stadium, Yangon, pada Sabtu petang tanggal 4 November 2016, waktu setempat.
Akan tetapi, kendati mengantongi modal cukup baik dari 3 laga ujicoba dengan kondisi seadanya, Riedl belum juga bernyali mematok target juara secara tegas untuk Timnas Indonesia di Piala AFF 2016 mendatang.
“Saya tentunya punya target, tapi waktu terbatas. Jadi, target kami adalah bermain semaksimal mungkin dan berharap mendapat hasil terbaik di Piala AFF 2016 nanti,” kata Riedl seperti dikutip dari Goal.
Akhir kata, usia semakin senja, Pak Tua. Kesempatan kali ini sangat mungkin menjadi asa terakhir bagi Riedl untuk menggenapi karier melatihnya dengan sebuah trofi sebelum benar-benar undur diri.
Kapan lagi juara kalau tidak sekarang, Opa Riedl?
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS