Menuju konten utama

Cuci Tangan Menghindari Kewajiban ala Newmont

Newmont akhirnya memilih hengkang dari Indonesia, di tengah ruwetnya polemik pembangunan smelter dan kewajiban divestasi saham. Tambang mereka akhirnya jatuh ke tangan Medco.

Cuci Tangan Menghindari Kewajiban ala Newmont
Area Tambang PT Newmont. Foto/www.ptntt.co.id

tirto.id - Di penghujung Juni, manajemen Newmont Mining Corporation dan Sumitomo Corporation secara resmi mengumumkan langkah mereka melepas saham mereka di PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) kepada PT Amman Mineral Internasional (AMI) yang merupakan anak perusahaan Medco. Newmont rupanya lebih memilih hengkang daripada harus membangun smelter dan melakukan divestasi saham.

Sejak awal, perusahaan asal Amerika Serikat ini memang enggan untuk membangun smelter yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Padahal poin penting membangun industri pengolahan dan pemurnian bahan mineral di dalam negeri ini untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan agar berdaya saing dan mendapatkan nilai lebih, sehingga pemasukan negara juga bertambah.

Sayangnya, ketentuan pemerintah ini tidak direspons positif oleh Newmont. Mereka memilih hengkang ketimbang berurusan dengan rumitnya pembangunan smelter ataupun dikejar-kejar soal kewajiban divestasi.

Memilih Hengkang

Kepastian hengkangnya perusahaan asal negeri Paman Sam itu diungkapkan langsung oleh Presiden dan CEO Newmont Mining Corporation, Gary Goldberg. Total saham Newmont yang ada di PTNNT diperkirakan mencapai 1,3 miliar dolar Amerika Serikat [sekitar Rp16,9 triliun].

Dalam penjelasannya, Newmont tidak menyinggung soal kewajiban membangun smelter dan divestasi. Newmont menyebut salah satu alasan menjual sahamnya adalah karena butuh uang dan ingin mencari proyek lain yang lebih menguntungkan.

“Menjual kepemilikan saham kami di PTNNT untuk nilai yang wajar sesuai prioritas strategis kami untuk memangkas utang, mendanai proyek-proyek berprofitabilitas tinggi, dan menciptakan nilai tambah untuk para pemegang saham kami,” kata Gary Goldberg seperti dilansir bloomberg.com.

“Kami yakin PT AMI, yang didukung oleh tim operator tambang Batu Hijau yang sangat berpengalaman, akan dapat memiliki semua yang dibutuhkan untuk terus mengoperasikan aset tersebut dengan baik. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada tim di proyek Batu Hijau, Pemerintah Indonesia, dan mitra kami, Sumitomo, atas segala dukungan mereka bagi keberhasilan penyelesaian transaksi dan transisi ini,” imbuhnya.

Berselang beberapa saat setelah Newmont mengkonfirmasi penjualan saham mereka di PTNNT ke PT AMI, melalui siaran persnya, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) mengumumkan kalau pihaknya sudah resmi menguasai saham PTNNT dengan cara mengakuisisi saham PT AMI.

Kini, Medco akhirnya benar-benar mewujudkan niatnya untuk mengakuisisi saham PTNNT. Seperti dikutip kontan.co.id, Medco yang berkongsi dengan AP Invesment harus mengeluarkan dana hingga 2,6 miliar dolar AS untuk bisa menguasai 82,2 persen saham Newmont.

Transaksi jual beli saham ini diawali dari penjualan saham Newmont oleh pemilik lama, yakni Nusa Tenggara Partnership B.V, PT Multi Daerah Bersaing (PT MDB), dan PT Indonesia Masbaga Investama menjual 82,2 persen sahamnya ke PT Amman Mineral Internasional. Total nilai transaksi jual beli saham itu mencapai 2,1 miliar dolar AS. Pasca pelepasan saham tersebut, secara otomatis, maka pemilik saham PTNNT hanya tersisa dua perusahaan, yaitu PT AMI dan PT Pukuafu Indah.

Namun, tak lama kemudian, PT AMI menjual saham PTNNT ke Medco dan AP Investment dengan harga 2,6 miliar dolar AS. Artinya dalam sekejap PT AMI sudah bisa cuan 500 juta dolar AS. Akankah di tangan pemilik baru smelter akan dibangun? Kita patut tunggu keseriusan perusahaan nasional untuk mewujudkan pembangun industri pengolahan dan pemurnian bahan mineral di dalam negeri ini untuk mendapatkan nilai lebih, sehingga pemasukan negara juga bertambah.

Akal-akalan

Newmont tidak secara spesifik menyebut masalah kewajiban membangun smelter sebagai alasan hengkang. Namun, jika dirunut ke belakang, Newmont selalu bersikeras tak mau memenuhi kewajiban itu yang telah diatur dalam UU Minerba. Hal itu dapat dirunut dari beberapa peristiwa penting sejak Pemerintah Indonesia secara tegas melaksanakan UU Minerba, di mana setiap perusahaan tambang wajib melakukan pengolahan ore di dalam negeri sebelum melakukan ekspor.

Pengamat energi dan pertambangan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmi Radhi mengatakan, selama ini Newmont dan Freeport paling getol menentang smelter sebagaimana diamanatkan dalam UU Minerba.

Mereka beranggapan, kalau harus memproses melalui smelter dalam negeri, maka akan ketahuan berapa konsentrat yang sudah dikeruk dan diekspor ke luar negeri. Hal ini berpotensi mengurangi keuntungan mereka yang sangat besar dan selama ini tanpa kontrol sama sekali.

“Dengan berkurangnya keuntungan mereka pasca smelterisasi, investasi Newmont dinilai tidak lagi menarik. Dalam konteks itu, mereka memutuskan untuk melakukan divestasi secara bertahap, yang pada saatnya hengkang dari Indonesia,” ujarnya pada tirto.id.

Pernyataan Fahmi tersebut terkonfirmasi oleh berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Newmont, baik melalui salah satu pemegang saham di PTNNT atau melalui Newmont Mining Corp secara langsung.

Misalnya, pada 1 Juli 2014, Newmont mengumumkan gugatan arbitrase terhadap Pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor bahan mineral mentah. Dalam keterangan tertulisnya, manajemen Newmont menjelaskan alasan gugatan tersebut untuk memperoleh putusan sela agar Newmont diizinkan mengekspor konsentrat tembaga sehingga operasional Newmont tetap berjalan.

Saat itu,manajemen Newmont menegaskan keinginannya agar dapat tetap mengekspor bahan mineral mentah sekaligus juga untuk menyelamatkan sekitar 8.000 karyawan dan kontraktor yang terancam menerima pemutusan hubungan kerja atau PHK.

Namun, Pemerintah Indonesia saat itu bersikap tegas dan tidak mau didikte oleh Newmont. Chairul Tanjung yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bahkan mengancam bahwa pemerintah bakal menutup kesempatan berunding dengan Newmont dan menyiapkan gugatan balik.

“Filosofisnya, kalau dia [Newmont] enggak mencabut arbitrasenya, maka pemerintah akan menutup perundingan,” kata Chairul, seperti dikutip kompas.com, Juli 2014 silam. Namun, akhirnya Newmont mengurungkan niatnya membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional.

Ironisnya, meskipun Newmont telah menarik rencana gugatannya ke arbitrase internasional, salah satu pemegang saham PTNNT justru melakukan uji materi UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemegang saham PTNNT, PT Pukuafu Indah, mengajukan gugatan uji material UU Minerba ke MK. Pasal 169 b UU tersebut dinilai oleh pemilik 17,8 persen saham Newmont itu telah merampas hak konstitusional mereka. Namun, akhirnya MK menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

Nasib Divestasi Newmont

Saat Newmont memutuskan untuk menjual sahamnya pada PT AMI, perusahaan asal Amerika Serikat itu masih memiliki kewajiban untuk melakukan divestasi saham sebesar 7 persen. Kewajiban divestasi saham perusahaan tambang asing mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Seperti dikutip dari laman resmi ptnnt.co.id pemilik saham PTNNT adalah Nusa Tenggara Partnership B.V. (56 persen), PT Multi Daerah Bersaing (24 persen), PT Pukuafu Indah (17,8 persen), dan PT Indonesia Masbaga Investama (2,2 persen). Artinya, Nusa Tenggara Partnership B.V. sebagai pemegang saham mayoritas PTNNT harus menjalankan kewajiban divestasinya ke pemerintah dan beberapa perusahaan nasional.

Sebelumnya, sejak 2006 hingga 2009 silam, NTPBV telah melego 24 persen sahamnya ke PT Multi Daerah Bersaing dan 20 persen saham lainnya ke perusahaan nasional bernama PT Pukuafu Indah dan PT Indonesia Mabaga Invesma. Karena dalam peraturan tersebut perseroan diwajibkan untuk melepas 51 persen sahamnya, maka masih terdapat sisa saham sebesar 7 persen yang harus dilepas manajemen.

Ironisnya, hingga Newmont Mining Corporation dan Sumitomo Corporation sebagai pemilik saham Nusa Tenggara Partnership B.V. di PTNNT melepas sahamnya pada PT Amman Mineral Internasional, proses divestasi masih terus menjadi perdebatan. Padahal, akhir perjanjian jual beli yang diteken Newmont bersama Pusat Investasi Pemerintah (PIP) telah habis pada 26 Juli 2013 silam dan terus diperpanjang. Lalu, bagaimana nasib divestasi saham Newmont yang 7 persen tersebut?

Kalau mengacu pada peraturan yang berlaku, maka secara otomatis kewajiban divestasi saham Newmont menjadi gugur. Sebab, dalam aturan mengenai kewajiban divestasi perusahaan tambang yang sahamnya telah dimiliki perusahaan nasional lebih dari 50 persen tidak perlu lagi melakukan divestasi. Artinya, walaupun Newmont masih memiliki hutang divestasi 7 persen, tapi dengan keputusan Newmont menjual sahamnya tersebut, maka secara otomatis divestasi tersebut dianggap tidak berlaku.

“Mestinya begitu [divestasi Newmont gugur], kecuali setelah dibeli, Medco yang melakukan divestasi, bisa juga,” kata Fahmi Radhi.

Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro juga menyambut baik keputusan Medco mengambil alih saham PTNNT. Bambang juga mengatakan, pemerintah tidak akan memburu lagi divestasi saham 7 persen yang ditawarkan oleh Newmont. Sebab, bagi pemerintah, Medco adalah perusahaan nasional yang akan menguntungkan bagi bangsa dan negara. Artinya, proses divestasi yang cukup panjang dan melewati masa jabatan tiga menteri keuangan, mulai Agus Martowardojo, Chatib Basri hingga Bambang Brodjonegoro tidak akan diungkit lagi oleh pemerintah.

Kini, pemilik saham PTNNT sudah beralih, tidak lagi dimiliki asing. Namun, apakah negara akan semakin diuntungkan dan pembangunan smelter terealisasikan seperti yang dijanjikan? Kita tunggu komitmen PTNNT di bawah manajemen Medco.

Baca juga artikel terkait BISNIS atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti