tirto.id - Jepretan foto yang menangkap gambar Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, dan First Lady AS, Melania Trump, mendadak viral beberapa hari belakangan. Pasalnya, foto yang diambil oleh fotografer Carlos Barria dalam acara G7 tersebut memperlihatkan bagaimana Melania mencium Trudeau dengan tatapan wajah yang hangat. Sementara sang suami, Donald Trump, berdiri di sampingnya dengan wajah cemberut.
Warganet dengan segera menjadi riuh karena foto tersebut. Akun Twitter bernama @LoniLove, misalnya, mencuit: “Melania sudah bersiap mengambil risiko #Trudeau.” Akun @DeanObeidallah juga mengeluarkan tanggapan tak kalah konyol. “Sepertinya Melania berpikir untuk kabur ke Kanada #MelaniaLovesTrudeau,” demikian cuitnya, yang ditanggapi 1,222 orang.
Ini bukan foto pertama yang melibatkan antara anggota keluarga Trump dengan Trudeau dan viral. Dua tahun silam, sang putri, Ivanka, kedapatan menatap Trudeau dengan berseri-seri saat acara di Washington.
Al Gore vs Bush: Ciuman Demi Elektabilitas
Dalam jagat politik, ritus ciuman sesama politikus adalah hal yang lumrah. Kasus Melania dan Trudeau bukanlah yang pertama.
Pada tahun 2000, Wakil Presiden AS, Al Gore, bikin sensasi di Konvensi Partai Demokrat. Sesaat setelah ia berkampanye, mengutip pemberitaan The New York Times, Al Gore langsung menyapa istrinya, Tipper, dengan pelukan dan ciuman di bibir.
Namun, alih-alih segera melepaskannya, sebagaimana yang seharusnya—atau biasa—dilakukan politikus demi menjaga citra, Al Gore justru makin beringas: ia mendekap erat, memejamkan mata, dan memberi istrinya ciuman dengan mulut penuh yang berlangsung intens.
Ciuman Al Gore bikin publik geger. Ada yang menganggapnya tak pantas, namun, ada pula yang menyebut itu tindakan normal belaka. Claire Shipman dari NBC menjelaskan ciuman Al Gore dapat ditafsirkan ke dalam dua hal: ia suami yang setia, sekaligus sebagai bukti bahwa kepolosan yang romantis dan kuno itu masih ada.
Apa yang dilakukan Al Gore rupanya mendorong George W. Bush untuk mengambil langkah serupa. Kejadian yang juga berlangsung di tahun yang sama itu muncul ketika Bush diundang tampil di acara Oprah Winfrey. Usai bincang-bincang berakhir, sebagaimana diwartakan BBC, Bush langsung nyelonong mencium Oprah.
“Terima kasih untuk ciumannya,” kata Oprah.
“Dengan senang hati,” balas Bush.
Bush memang gemar sekali mencium orang di depan publik. Kegemaran tersebut bahkan sampai dibikin parodi oleh BuzzFeed News dalam artikel berjudul “George W. Bush Loves Kissing People.” Artikel tersebut menjelaskan betapa daftar orang-orang yang pernah dicium Bush sangat beragam: istrinya sendiri, istri kepala negara lain, anggota kabinet, sesama politikus, dan orang tua yang mungkin tak dikenalnya secara spesifik.
Kembali ke Oprah. Sekalipun ciuman yang Bush arahkan terlihat aneh, tapi hal itu dianggap sebagai strategi jitu untuk mengejar elektabilitas Al Gore. Catatan: pada 2000, Bush dan Al Gore bertarung dalam ajang pemilihan presiden. Bush mewakili Republik dan Al Gore dari Demokrat.
Selain itu, ciuman Bush di Oprah juga ditujukan untuk menggaet pemilih dari kelompok perempuan. Acara Oprah, masih merujuk pada pemberitaan BBC, ditonton sekitar 22 juta orang. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan pekerja atau kelas menengah, kelompok yang dianggap jadi kunci dalam pilpres 2000.
Tampil di Oprah—sekaligus menciumnya—adalah alat kehumasan yang efektif untuk mengubah citra Bush, yang sebelumnya dianggap seksis dan mantan pemabuk, di mata pemilih perempuan. Apalagi, Al Gore lebih unggul ketimbang Bush di segmen ini.
Entah langkah tersebut benar-benar berkontribusi atau tidak, yang jelas Bush menang dalam pemilu untuk kemudian menjabat selama dua periode—yang ditandai dengan kobaran semangat perang melawan teror pasca-911 di kawasan Asia dan Timur Tengah.
Jagonya Ciuman? Jelas Rusia
Bila ditarik lebih jauh, ciuman sesama politikus sudah menjelma bak tradisi, yang riwayatnya terbentang panjang bahkan sejak era Romawi dan Persia kuno.
Padraig Belton dan Lana Citron dalam “The Politics of the Kiss” yang dipublikasikan di New Statesman (2016) menyebut di era lampau, ciuman merupakan simbol pertemuan. Bentuknya ada tiga: mulut (basium), pipi (osculum), dan ... ciuman kaki.
Seiring berjalannya waktu, ciuman pun memiliki fungsi lain. Seperti, misalnya, yang terjadi di Uni Soviet—sekarang Rusia. Di negara tersebut, ciuman dianggap sebagai simbol kesetaraan, persaudaraan, dan solidaritas. Orang-orang kerap menyebutnya dengan “Ciuman Persaudaraan Sosialis.”
Inspirasinya berasal dari ritus yang dilakukan "Persaudaraan Ortodoks Timur" dan "Ciuman Paskah." Orang-orang Rusia kemudian menjadikan ciuman untuk mengekspresikan dukungan terhadap gerakan buruh yang muncul di pertengahan dan akhir abad 19.
Pada tahun-tahun setelah Revolusi Oktober dan berdirinya Komintern, ciuman seolah menjadi salam resmi di antara orang Rusia. Ia menjadi tanda solidaritas sekaligus pengingat bahwa masyarakat Rusia pernah melewati perjuangan panjang selama era Revolusi Bolshevik—maka dari itu harus dirayakan.
Dengan perluasan komunisme setelah Perang Dunia II, Uni Soviet tidak lagi terisolasi sebagai satu-satunya negara komunis. Konsep "Ciuman Persaudaraan Sosialis" pun menjadi salam ritual di antara para pemimpin negara-negara komunis. Sapaan ini juga diadopsi oleh para pemimpin sosialis di Dunia Ketiga, serta para pemimpin gerakan pembebasan—yang diselaraskan dengan sosialis—seperti Organisasi Pembebasan Palestina dan Kongres Nasional Afrika.
Menyaksikan ritus ciuman yang dilakukan politikus Rusia mungkin terasa aneh. Bila tidak terlalu akrab, ciuman cukup dilakukan tiga kali secara bergantian di pipi, meniru Ortodoks Rusia kuno. Tapi, bila sudah dekat atau mungkin sangat antusias ketika bertemu, ciuman hebat bisa mendarat antar sesama mulut.
Kendatipun di kasus terakhir sudah banyak contohnya, akan tetapi tidak ada yang bisa mempraktikkannya sehebat Leonid Brezhnev, Sekjen Partai Komunis Uni Soviet (1964-1982), tatkala ia mengunci bibir Nikolay Podgorny, Ketua Presidium Majelis Agung Uni Soviet yang menjabat pada 1965-1977.
Yang paling ikonik tentu ketika Brezhnev berciuman dengan pemimpin Jerman Timur, Erich Honecker, pada 1979. Ciuman dahsyat tersebut kemudian diabadikan dalam mural berjudul “God Help Me Survive This Deadly Love” yang terpampang di Tembok Berlin.
Begitu dahsyatnya Brezhnev ketika berciuman, sampai-sampai di Rusia ada anekdot yang kira-kira berbunyi semacam ini: “Sebagai politikus, Brezhnev adalah sampah. Tapi, dia pencium yang baik!”.
Usai Brezhnev, tradisi ini masih diteruskan oleh Mikhail Gorbachev. Dalam beberapa kesempatan, Gorbachev tertangkap kamera mencium kawan politiknya dengan hebat di bibir, seperti yang terjadi dengan Honecker (lagi-lagi).
Di era politik modern, apa yang dilakukan Brezhnev kian jarang dijumpai. Ada semacam citra yang ingin dijaga para politikus hingga mereka tak lagi leluasa berciuman. Paling-paling, mereka hanya menyasar pipi maupun tangan. Atau yang sempat jadi tren: kepala bayi.
Editor: Eddward S Kennedy