tirto.id - Pertumbuhan kota-kota global menuju pada tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut perkiraan PBB, wilayah kota, pada 2050, akan ditempati sekitar ¾ dari populasi dunia. Kota-kota di Asia dan Afrika dianggap menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan tersebut.
Padatnya wilayah perkotaan karena lonjakan perpindahan penduduk itu tak ayal menimbulkan konsekuensi berupa kemacetan. Di Asia, kondisinya lebih parah. Berdasarkan laporan TomTom Index, enam dari sepuluh kota di dunia yang menghadapi kemacetan tinggi lalu lintas berasal dari Asia. Salah duanya yakni Jakarta (Indonesia) dan Mumbai (India).
Berbagai langkah lantas diambil guna mengurai sekaligus meluruskan sengkarut bernama kemacetan ini. Membangun sistem transportasi massal, membuka jalan tol dalam kota, hingga menerapkan rekayasa lalu lintas. Namun, upaya tersebut seolah belum membuahkan hasil. Lihat saja bagaimana Jakarta, sekalipun upaya untuk mengatasi kemacetan digencarkan dengan begitu masif, kemacetan tetap terus ada setiap saat.
Kuncinya: Teknologi
Di sinilah, perlahan, teknologi mengambil perannya. Ini bisa dilihat dari Hangzhou, kota yang kemacetannya tak kalah bikin pusing dibanding Jakarta. Tapi, itu dulu.
Kota yang berpenduduk 7 juta orang ini kemudian berbenah dan hasilnya mulai terlihat. Ye Bojie, pegawai di Didi Chuxing, perusahaan ride sharing, misalnya, mengatakan kepada CNN bahwa sekarang untuk berkendara sejauh 3 kilometer (1,8 mil), dibutuhkan waktu di bawah 40 menit, turun drastis dibanding beberapa tahun silam.
Pencapaian itu tak bisa dilepaskan dari andil Alibaba. Lewat salah satu penemuannya yang diberi nama “City Brain,” Alibaba berkontribusi untuk membantu pemerintah kota setempat mengatasi permasalahan macet.
Program city brain sendiri pada dasarnya merupakan program yang menggunakan bantuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) untuk mengumpulkan informasi di seluruh Hangzhou, seperti CCTV di persimpangan jalan hingga data GPS yang dipasang di mobil maupun bus.
Dari situ, data lalu diolah dengan memanfaatkan empat komponen, perhitungan algoritma, sistem komputasi awan, motorik, serta sensorik, sebelum akhirnya dilemparkan kembali ke user berupa informasi real-time. (Rute mana yang harus dihindari pada jam tertentu, contohnya.)
Gambarannya kira-kira seperti ini: Alibaba menyediakan software-nya, kota melengkapinya dengan tumpukan data. Keduanya lalu menciptakan simbiosis mutualisme.
Proyek city brain di Hangzhou dimulai dua tahun silam tatkala kemacetan di wilayah ini sudah seperti penyakit kanker. Pada 2015, kemacetan membikin Hangzhou menempati peringkat kelima daftar kota paling macet di Cina. Dari skala global, Hangzhou duduk di urutan 30, demikian mengutip riset TomTom.
Melihat kenyataan tersebut, pemerintah mengajak Alibaba untuk berkolaborasi guna mencari solusi yang tepat mengatasi keruwetan yang ditimbulkan macet. Langkah awal yang dilakukan, sebagaimana diwartakan WIRED, adalah mengawasi lalu lintas, sistem angkutan massal, aplikasi pemetaan, serta ratusan ribu kamera yang terpasang di sudut-sudut kota.
Percobaan pertama diterapkan di Distrik Xiaoshan. Alibaba diberi wewenang untuk mengendalikan 104 perangkat lalu lintas. Percobaan ini mulai berdampak. Selama satu tahun masa percobaan, tingkat kecepatan kendaraan di jalanan bisa naik sebesar 15 persen. Bukan hanya itu saja, kecelakaan lalu lintas juga bisa dideteksi secara otomatis sehingga dapat direspons secara tepat. Selepas kesuksesan itu, program city brain diluncurkan ke seluruh penjuru Hangzhou pada 2017.
Kesuksesan di Hangzhou mendorong Alibaba untuk melakukan ekspansi. Tujuannya: Kuala Lumpur, Malaysia. Sama seperti di Hangzhou, city brain di Kuala Lumpur meliputi pengawasan lalu lintas, penghitungan volume kendaraan di jalan, hingga identifikasi rute tercepat yang bisa ditempuh pengendara.
“Kami melihat Malaysia sebagai negara dengan potensi besar untuk mengadopsi sistem komputasi awan, kecerdasan buatan, serta teknologi big data, mengingat permintaan dari sektor pemerintah dan swasta untuk beberapa hal tadi cukuplah tinggi,” terang peneliti Alibaba, Wanli Min, kepada South China Morning Post.
Para ahli menyebut bahwa penerapan city brain di berbagai kota di dunia hanyalah permulaan. Proyek city brain mewakili tren yang sedang berkembang manakala pemerintah kian aktif bekerjasama dengan perusahaan teknologi untuk menyediakan sistem informasi dan komunikasi yang canggih di berbagai sektor publik yang fungsional, dari transportasi, energi, keamanan, sampai kesehatan.
Beberapa hal yang diyakini menjadi faktor pendorong penerapan city brain antara lain meningkatnya pertumbuhan penduduk di kota, permintaan untuk efisiensi energi, serta upaya untuk meningkatkan kualitas hidup warga, demikian menurut IHS Markit, perusahaan riset dan konsultasi.
McKinsey Global Institute dalam laporannya mencatat bahwa kota-kota yang menerapkan city brain dapat memangkas durasi tempuh perjalanan rata-rata 15 sampai 20 persen pada 2025.
Apabila kota membutuhkan layanan seperti ini untuk menyediakan sistem informasi dan komunikasi yang canggih, bagi Alibaba, city brain digunakan untuk mengejar ambisi mereka sebagai pemain AI nomor satu di dunia. Bahkan, saking giatnya mewujudkan impian tersebut, Alibaba tercatat telah menanam investasi di tujuh laboratorium penelitian yang akan berfokus pada kecerdasan buatan, pemrosesan bahasa, hingga jaringan keamanan. Di saat bersamaan, city brain juga bisa dibaca dalam konteks upaya Cina menyalip AS di bidang teknologi.
Masalahnya Adalah Privasi
Dalam “City Brain, a New Architecture of Smart City Based on the Internet Brain,” (PDF, 2017) Liu Feng menjelaskan bahwa manfaat yang bisa didapatkan ketika menggunakan teknologi city brain yang berbasis komputasi awan dan kecerdasan buatan antara lain: hemat biaya, analisis real-time yang tepat guna, hingga punya akurasi yang cukup tinggi dalam memetakan persoalan perkotaan.
Kendati begitu, program city brain tak luput dari konsekuensi yang buruk. Pasalnya, untuk menerapkan city brain dengan baik, Alibaba diharuskan mengambil data dari user. Itu artinya, masyarakat berpotensi menghadapi masalah soal privasi dan pengawasan.
“Implikasinya sangat besar,” Gemma Clavell, pakar etika teknologi, bilang. “Tidak akan ada pengawasan [terhadap program ini] baik sekarang maupun di masa depan.”
Gemma menambahkan, dirinya cukup khawatir dengan adanya program macam city brain ini, mengingat pengambilan data pribadi untuk menunjang city brain bisa sangat disalahgunakan demi kepentingan komersial. Selama tidak ada kontrol yang jelas, maka potensi pelanggarannya cukup besar.
“Apa yang dijual sebagai inisiatif publik pada akhirnya bisa juga dipakai untuk menambang data pribadi,” jelasnya. “Kita perlu melihat kerjasama ini secara utuh. Bagaimana kota menyikapinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah bentuk pelanggaran. Berdasarkan pengalaman saya, kota hanya memberikan segalanya kepada kontraktor swasta dan tidak melindungi data dalam kontrak yang disepakati.”
Bisakah Diterapkan di Jakarta?
Teknologi city brain dinilai jadi terobosan penting dalam mengatasi kemacetan di kota-kota besar. Pertanyaannya sekarang: bisakah teknologi ini diaplikasikan di Jakarta?
Sebelum menginjak pada penggunaan teknologi berbasis kecerdasan buatan untuk mengakhiri masalah macet, Endrawati Fatimah, dosen Perencanaan Wilayah Kota (PWK) Universitas Trisakti, mengatakan bahwa masalah macet adalah imbas dari pembangunan yang terpusat.
Jakarta, Endrawati bilang, sudah penuh sesak. Alih-alih terus memusatkan pembangunan di kota ini, pemerintah seharusnya mulai mendistribusikannya ke daerah lain agar beban Jakarta tak kelewat berat. Pembangunan yang terpusat seperti efek domino yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi lainnya, termasuk kemacetan akut.
"Permasalahannya, kota-kota di Indonesia tak direncanakan dengan baik. Kota-kota berkembang dulu dengan bermacam pembangunan seperti perumahan, pusat perbelanjaan, dan lain-lain, baru dibuat rencana pendukungnya. Hampir sebagian besar kota-kota di Indonesia tidak dibangun dari nol," ujar Endrawati pada Tirto.id.
Sementara itu, Nurrohman Wijaya dari Kelompok Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan (P2PK) Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB menjelaskan, hal yang penting dilakukan untuk menyelesaikan macet adalah tersedianya sistem jaringan transportasi publik. Faktor ini adalah vital semata dalam menangani kemacetan. Transportasi publik yang layak dan terakses bisa menarik warga dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
"Transportasi massal itu krusial. Keberadaannya bisa mengurangi hambatan jalan sekaligus bisa mengurangi volume kendaraan pribadi," tegas Nurrohman.
Sebetulnya, kota-kota besar di Indonesia, dari Jakarta sampai Surabaya, telah menggunakan bantuan teknologi untuk menyediakan layanan yang efektif dan efisien bagi warganya. Jakarta, ambil contoh, menggandeng perusahaan teknologi informasi bernama PT Qlue Indonesia guna membikin aplikasi Qlue untuk melaporkan permasalahan kota kepada pemerintah.
Contoh lain, Surabaya, tercatat berkolaborasi dengan Institut Teknologi Surabaya (ITS) untuk menyediakan aplikasi dan jejaring internet yang mendukung terciptanya e-government. Keinginan Surabaya untuk mengelola kotanya dengan bantuan teknologi ini terangkum dalam slogan: “Surabaya Light of Java.”
Namun, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dengan memanfaatkan keberadaan teknologi (smart city) seringkali mendapatkan kendala, seperti besarnya biaya yang dibutuhkan, kurangnya infrastruktur penunjang, hingga inkompetensi sumber daya manusia yang ada.
Mungkin masih sulit membayangkan masa depan ketika setiap kota dijalankan dengan teknologi. Tapi, itu bukanlah hal yang mustahil. Cina sudah memulainya dan siapa tahu, beberapa tahun dari sekarang, Indonesia mampu menerapkan langkah yang serupa.
Editor: Nuran Wibisono