tirto.id - “Hari ini, kami memblokir myPersonality,” tulis Ime Archibong, Vice President of Product Partnerships dalam blog resmi Facebook yang berjudul “An Update on Our Investigation" 22 Agustus 2018.
Pemblokiran myPersonality terjadi setelah tim Facebook mengaudit dan menemukan aplikasi yang terintegrasi dengan sistem Facebook itu menyalahgunakan ketentuan, yakni membagi data pengguna Facebook yang mereka peroleh kepada peneliti dan juga perusahaan yang tak jelas bagaimana mereka melindungi data pengguna Facebook.
Aplikasi myPersonality bukan satu-satunya yang diblokir. Dalam publikasi Facebook mengaku telah menangguhkan 400 aplikasi atas kekhawatiran yang sama: penyalahgunaan data pengguna Facebook.
Bukan kali ini Facebook menangguhkan atau memblokir aplikasi/situsweb yang terintegrasi dengan sistem mereka. Dilansir Futurism, pada Mei, Facebook memblokir 200 aplikasi dengan alasan yang sama. Aksi bersih-bersih yang dilakukan Facebook merupakan respons atas terkuaknya skandal Cambridge Analytica.
Cambridge Analytica, firma riset politik yang disewa Donald Trump terbukti “mencuri” data-data pengguna Facebook untuk kepentingan politik pencapresan Trump. Cambridge Analytica sukses “mencuri” 50 juta data pengguna Facebook dengan menggunakan aplikasi kuis bernama “thisisyourdigitallife”.
Keterbukaan ala Facebook Platform
“Hingga kini, media sosial merupakan platform tertutup,” kata Mark Zuckerberg dalam acara yang digagas Facebook bernama F8 di Mei 2007. Ia menegaskan “kita akan mengakhirinya!”
Pada acara yang dihadiri lebih dari 750 pengembang aplikasi/situsweb, Zuckerberg mengumumkan media sosial ciptaannya bukan semata-mata media sosial biasa, tetapi bertransformasi menjadi semacam sistem operasi. “Melalui evolusi yang dihadirkan, setiap pengembang aplikasi/situsweb bisa membangun aplikasi sosial seutuhnya,” kata Zuckerberg.
Saat pengumuman dilakukan, telah ada 85 aplikasi/situsweb yang memanfaatkan integrasi dengan sistem Facebook itu. Hingga April 2012 terdapat 9 juta aplikasi/situsweb yang terintegrasi dengan Facebook.
Apa yang diumumkan oleh Zuckerberg itu merupakan cikal bakal Platform Facebook. Dengan Platform Facebook, pengembang aplikasi/situsweb bisa mengintegrasikan aplikasi/situsweb buatan mereka ke sistem Facebook, alias Facebook memberikan akses data penggunanya pada pihak lain, misalnya menggunakan username dan password yang digunakan untuk login ke Facebook, digunakan pula untuk login ke aplikasi/situsweb manapun.
Kemampuan login atau registrasi layanan aplikasi/situsweb memanfaatkan data Facebook bisa ditemukan pada fitur bernama “Login with Facebook” yang terdapat di aplikasi seperti Spotify, Tinder, atau Airbnb.
Kevin Roose, jurnalis The New York Times, dalam tulisannya mengatakan di awal kemunculan, Platform Facebook hanya bergaung di kalangan pengembang semata, tak muncul dalam perbincangan dunia politik. Saat itu, aplikasi yang terintegrasi dengan Facebook hanya merupakan aplikasi bertema hiburan semata. Randezbook, aplikasi kencan pra-Tinder serta game online FarmVille yang dikembangkan oleh Zynga. Kedua aplikasi itu berjalan dengan memanfaatkan data pengguna Facebook.
Platform Facebook tak hanya berguna bagi pengembang aplikasi/situsweb. Roose mengatakan dengan membuka keran data pengguna Facebook ke pihak luar, Facebook lantas memiliki kemampuan untuk mengenali lebih dalam penggunanya. Situsweb apa yang mereka kunjungi, aplikasi mana yang digunakan, hingga data-data rinci lainnya. Menggunakan aplikasi Spotify dengan “Login with Facebook” misalnya, sanggup memberi informasi pada raksasa media sosial itu lagu apa yang disukai penggunanya.
Data-data rinci tersebut penting, khususnya bagi teknologi kunci dalam Platform Facebook bernama Social Graph. Dilansir Business Insider, Social Graph merupakan “tarikan benang merah antara Anda dan teman-teman, lokasi-lokasi yang dikunjungi, dan hal apapun yang dilakukan di dunia online.”
Tarikan benang merah ini, sanggup memberikan kemampuan bagi Facebook, dan juga pengembang aplikasi/situsweb, memahami pengguna seutuhnya. Dalam kasus Facebook, pengetahuan ini bisa dimanfaatkan untuk memberikan iklan spesifik bagi pengguna.
Masih dalam laporan Roose, penyalahgunaan Platform facebook tercium di tahun 2010. Saat itu, RapLeaf, perusahaan perangkat lunak asal Amerika Serikat, menggunakan beragam aplikasi/situsweb untuk menjaring data pengguna Facebook. Perusahaan tersebut menjual data yang diperolehnya pada firma pemasaran hingga konsultan politik.
Penyalahgunaan data seperti yang dilakukan RapLeaf berlanjut. Pada 2015, Facebook lalu mengurangi kemampuan seberapa jauh data taman si pengguna bisa diintip.
Sebelum ada pengurangan kemampuan, pengembang punya akses jauh ke data pengguna Facebook. Misalnya, jika ada seorang pengguna Spotify yang masuk dengan “Login with Facebook,” Spotify tak cuma bisa menengok data si pengguna tersebut, melainkan juga melihat data teman-teman si pengguna.
Sayangnya, “Thisisyourdigitallife” aplikasi bertema kuis yang dibuat Profesor Aleksandr Kogan dari University of Cambridge, mesin penjaring data Cambridge Analytica, aktif bekerja pada 2014, sekitar setahun sebelum ketentuan baru Facebook berlaku. Meskipun hanya dipasang oleh 270 ribu orang, aplikasi itu sanggup menjaring 50 juta data pengguna Facebook.
Kurt Wagner, jurnalis Recode, dalam tulisannya mengatakan masalah penyalahgunaan data pengguna Facebook terjadi karena media sosial terlalu percaya pada pengembang. Facebook hanya membentengi data penggunanya dengan ketentuan bahwa pengembang "dilarang mentransfer data yang diperoleh dari Facebook ke jaringan iklan, broker data, atau pihak lainnya".
Namun, ini mudah diterabas pihak-pihak pengembang nakal, sama seperti bocah berusia di bawah 13 tahun yang mengaku-ngaku 17 tahun untuk membuat akun Facebook. Facebook kebablasan dalam membuka data penggunanya, padahal ada lebih dari 2,3 miliar pengguna aktif bulanan medis sosial itu.
Tak Hanya Pengembang Nakal
Kasus “mencuri” data pengguna bukan hanya dilakukan pengembang nakal, seperti RapLeaf atau pengembang di balik aplikasi myPersonality. Perusahaan teknologi besar pun melakukannya, tak kecuali Facebook. Onavo, aplikasi VPN milik Facebook, ditendang Apple gara-gara dianggap mengumpulkan data pribadi penggunanya di iOS.
Sebagaimana diwartakan CNBC, pihak Apple mengatakan diblokirnya Onavo dari App Store karena “Apple secara tegas melarang suatu aplikasi mengumpulkan informasi tentang aplikasi apa saja yang dipasang pengguna (selain aplikasinya sendiri) untuk keperluan analisis atau pemasaran dan periklanan.”
Selain Facebook, Google adalah perusahaan teknologi besar yang “nakal” untuk mendulang data-data pengguna. Dilansir Associated Press, Google ketahuan menyimpan data lokasi penggunanya meskipun fitur Location History telah dinonaktifkan oleh pengguna. Aksi nakal Google ini diketahui selepas pihak Associated Press (AP) dan peneliti dari Princeton University menguji apakah ketika fitur Location History dinonaktifkan raksasa mesin pencari itu menyimpan data lokasi penggunanya atau tidak.
Temuan AP berkebalikan dengan klaim Google. AP mengutip laman dukungan Google, menyebutkan “ketika Location History dimatikan, tempat-tempat yang telah dikunjungi tidak akan disimpan.” Sayangnya, mengunjungi laman dukungan Google kini, kalimat tersebut tak ditemukan.
Data mendalam tentang seseorang merupakan “mata uang” di zaman ini. Iklan, optimalisasi konten, hingga keperluan politik, bisa dipermudah dengan memperoleh data mendalam pihak yang disasar. Ini nampaknya jadi motivasi pengembang nakal, Facebook, Google, dan pihak-pihak lain, mencoba mencari jalan apapun memperoleh data pengguna..
Editor: Suhendra