tirto.id - Pemilu presiden Amerika 2016 yang mengantarkan Donald Trump ke Gedung Putih rupanya masih meninggalkan jejak negatif. Setelah beberapa waktu lalu diributkan dengan kabar keterlibatan Rusia dalam pemenangan Trump, kali ini muncul berita yang tak kalah menghebohkan: Cambridge Analytica, firma yang ditunjuk Trump untuk mengurusi kampanye pada pemilihan lalu, terindikasi kuat telah melakukan pengambilan data pribadi secara ilegal.
Seperti diwartakan Politico, pihak yang pertama kali membuka aib ini adalah The New York Times dan The Observer. Kedua media tersebut dalam laporannya menyatakan bahwa Cambridge Analytica telah menyedot data pribadi sekitar 50 juta akun Facebook pemilih Amerika secara ilegal pada 2014. Aksi tersebut kemudian berlanjut pada pemilihan 2016 lalu.
Dari laporan itu, Channel 4 News kemudian melakukan investigasi. Dalam video berdurasi sekitar 20 menit yang dipublikasikan pada Senin (19/3) lalu, salah satu reporter Channel 4 News menyamar menjadi calon klien Cambridge Analytica. Ia bertemu dengan Alexander Nix, pimpinan Cambridge Analytica di sebuah restoran hotel.
Dalam perbincangan tersebut, Nix mengatakan bahwa selama ini perusahaannya punya andil besar dalam memenangkan para klien yang bertarung pada pemilihan. Untuk mewujudkan kemenangan si klien, mereka menggunakan taktik—yang kebanyakan kotor—mulai dari mengumpulkan bahan yang merusak reputasi lawan hingga mengirim “beberapa gadis ke rumah pesaing” yang kemudian direkam secara sembunyi-sembunyi.
Sehubungan dengan meluasnya video itu, pihak Cambridge Analytica menolak segala tuduhan. Mereka beranggapan tidak pernah menggunakan taktik kotor untuk tujuan apapun—termasuk pemenangan klien.
Buntut atas kisruh ini, Mark Zuckenberg telah diminta memberi kesaksian di hadapan Kongres Amerika perihal bagaimana Facebook melindungi data pengguna. Di lain sisi, Kepala Parlemen Eropa, parlemen Inggris, dan Perdana Menteri Inggris, Theresa May, menyatakan keprihatinannya serta akan menyelidiki apakah ada indikasi penyelewengan data pengguna Facebook untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
“Kami akan menghubungi Alexander Nix pada pekan depan dan memintanya menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi,” jelas Damian Collins, ketua komite budaya, media, dan urusan digital parlemen Inggris.
Siapa Cambridge Analytica?
Menurut laporan Reuters, Cambridge Analytica adalah cabang perusahaan yang berinduk pada SCL Group, kontraktor yang kerap menggarap proyek pemerintah maupun militer seperti penelitian keamanan hingga operasi pemberantasan narkoba. SCL Group sendiri berdiri pada 25 tahun silam, tepatnya 1993.
Pada 2013, Cambridge Analytica didirikan. Lingkup kerja mereka berada di bidang penelitian konsumen, iklan, hingga layanan terkait data baik untuk klien yang berhubungan dengan partai politik maupun perusahaan.
Cambridge Analytica bisa dibilang berawal dari proyek profesor Oxford, Aleksandr Kogan. Sebelum Cambridge Analytica berdiri, Kogan dan kawan-kawannya punya perusahaan bernama Global Science Research. Kerja mereka adalah meneliti dan menyimpulkan kepribadian hingga kecenderungan politik seseorang dari profil Facebook lewat sebuah aplikasi.
Aktivitas Kogan dan GSR kemudian masuk radar SCL Group. Pihak SCL pun akhirnya mengajak GSR bekerjasama dan terbentuklah Cambridge Analytica.
Seiring waktu, keberadaan Cambridge Analytica mulai mencuri perhatian. Khususnya ketika mereka memutuskan untuk terjun ke dalam dunia politik AS sebagaimana yang dibuktikan dengan masuknya dana sebesar $15 juta dari milyader Republikan, Robert Mercer. Dari situ, mereka lantas menggarap kampanye senator Ted Cruz sebelum akhirnya turut serta dalam pemenangan Trump pada 2016.
Pertemuan Mercer dengan Cambridge Analytica diatur oleh Steve Bannon, mantan Kepala Strategi pemerintahan Gedung Putih yang pada 2014 sampai 2016 menjadi wakil presiden Cambridge Analytica. Selain memberikan modal ke Cambridge Analytica, Mercer juga diketahui mendanai situs ultra-kanan seperti Breitbart.
Setelah kesuksesan Trump, Cambridge Analytica melebarkan sayapnya hingga ke Kenya. Mereka aktif dalam kampanye Uhuru Kenyatta dalam pemilu 2017. Selain Kenya, Cambridge Analytica juga menggarap proyek pemilu di Kolombia, India, serta St Kitts & Nevis.
Kantor perusahaan Cambridge Analytica tersebar di New York, Washington, London, Brasil, serta Malaysia. Saat ini, perusahaan itu dijalankan oleh Alexander Nix yang merupakan lulusan Manchester University dan telah bekerja di SCL Group sejak 2003. Ia dibantu Mark Turnbull yang menempati posisi direktur pelaksana.
Yang jadi persoalan, selama berkiprah, Cambridge Analytica mengumpulkan data pribadi dari Facebook secara ilegal dan tanpa seizin pemilik akun. Menurut Christopher Wylie, mantan pegawai Cambridge Analytica yang sekarang jadi whistleblower, semua data yang dikumpulkan perusahaan—lewat kuis maupun kuisioner berkedok akademis—rencananya digunakan untuk membangun “sebuah program perangkat lunak yang kuat” untuk “memprediksi dan memengaruhi pilihan di kotak suara.” Salah satunya di pilpres Amerika 2016.
Wylie menggambarkan perusahaan tersebut sebagai "mesin propaganda dengan layanan yang lengkap" dan dengan demikian membantah klaim Nix pada Februari silam yang menjelaskan ke parlemen Inggris bahwa Cambridge Analytica “tidak menggunakan data Facebook dalam kerja-kerjanya.”
“Peraturan tidak berlaku untuk mereka. Bagi mereka yang terpenting adalah ini perang dan itu cukup adil,” tegas Wylie.
Keterlibatan dalam Pilpres Amerika
Catatan Komisi Pemilihan Federal AS (Federal Election Commisions) menunjukkan Trump merekrut Cambridge Analytica pada Juni 2016 dan membayar mereka dengan mahar sebesar $6,2 juta. Seperti yang diwartakan Wired, kala itu, Cambridge Analytica mengirim tiga staf yang dipimpin oleh Matt Oczkowski ke markas kampanye Trump di San Antonio. Dari tiga orang, tim tersebut lantas bertambah jumlah jadi 13 orang. Tim ini bekerja di bawah Bred Parscale.
Menurut pengakuan Parscale, Cambridge Analytica hanya membantu timnya menganalisis data pemilih Amerika. Namun, keterlibatan mereka lebih dari itu. Cambridge Analytica menyediakan hampir semua data mentah mengenai informasi demografi, kontak pribadi, sampai kecenderungan politik atau bagaimana pemilih Amerika menyikapi berbagai macam masalah di sekeliling mereka.
Kelihatannya sepele, tapi, bagi Cambridge Analytica, data semacam itu merupakan sesuatu yang besar dan bernilai tinggi. Dengan data-data di atas, Cambridge Analytica membangun apa yang disebut “penargetan psikografis.”
Dari “penargetan psikografis,” Cambridge Analytica kemudian memetakan pemilih yang masih ragu menentukan suaranya (swinging voters) dan membujuk mereka untuk memilih Trump. Cambridge Analytica juga menyusun daftar pemilih yang sedianya bisa dijadikan pendonor kampanye Trump. Lewat metode ini Trump sukses mengumpulkan sekitar $80 juta dana kampanye.
Kendati demikian, Parscale menyebut bahwa kampanye Trump hanya mengandalkan “data pemilih dari Komite Nasional Partai Republik.”
Dalam membangun “penargetan psikografis,” mengutip laporan The New York Times, mereka menggunakan data pribadi dari Facebook pemilih yang dibentuk berdasarkan analisa "like" hingga jaringan pertemanan masing-masing akun.
Teknik semacam ini sebetulnya sudah dikembangkan oleh Pusat Psikometrik Universitas Cambridge. Namun, pihak Cambridge tidak “menjual” teknik maupun hasil tersebut mengingat apa yang mereka lakukan—menganalisa data pribadi pengguna Facebook—adalah hal yang dilarang.
Akan tetapi, larangan itu tidak berlaku bagi Aleksandr Kogan. Ia lantas membuat aplikasi sendiri untuk mengumpulkan data media sosial yang menuntunnya pada pendirian Cambridge Analytica.
Bagi Facebook sendiri, insiden ini punya makna yang signifikan: mereka masuk penyelidikan otoritas terkait, kepercayaan pengguna menurun akibat ketidakpastian jaminan keamanan untuk data-data pribadi, harga saham anjlok (turun 6,7% setelah laporan dirilis), serta kemunculan tagar #DeleteFacebook. Guna meredam gejolak dari bawah, Facebook menunjuk perusahaan forensik digital Stroz Friedberg untuk melakukan penyelidikan.
“Jika data-data ini masih ada, hal itu akan menjadi pelanggaran berat terhadap kebijakan Facebook serta merusak kepercayaan pengguna. Aksi mereka tidak dapat diterima,” tegas Facebook dalam sebuah pernyataan resmi.
Lewat tulisannya yang dimuat di Open Democracy, peneliti teknologi dari Universitas Cambridge, Jennifer Cobbe menyatakan bahwa masalah ini bukan sebatas pencurian data pribadi yang dilakukan Cambridge Analytica semata, tapi juga soal “kapitalisme pengawasan” (surveillance capitalism)—istilah yang dicetuskan akademisi Harvard, Shoshanna Zuboff, pada 2015 untuk menggambarkan pengawasan besar-besaran via internet yang berefek pada perubahan perilaku manusia.
Cobbe menjelaskan bahwa tiap kali menggunakan internet, kita mungkin sedang menjadi subjek percobaan internet untuk mendapatkan uang secara efektif. Kapitalisme pengawasan, tulis Cobbe, "memonetisasi kehidupan kita demi laba [perusahaan-perusahaan digital] dan mengubah semua hal yang kita lakukan lewat internet menjadi paketan data yang menjelaskan siapa kita secara rinci." Oleh perusahaan-perusahaan digital, data tersebut lantas dijual ke pasar periklanan.
Tapi, bukan hanya profil saja yang dijual melainkan juga informasi perihal “kerentanan psikologis” yang sudah diasah melalui eksperimen menahun. Dari situlah internet membangun informasi rumit tentang para pengguna dan seluk beluknya yang berjumlah ratusan juta orang serta kemudian membebankan biaya kepada mereka yang ingin memanfaatkan data tersebut.
Kenyataannya, tambah Cobbe, pengawasan tersebut tidak hanya menguntungkan perusahaan kapital tetapi juga menguntungkan firma macam Cambridge Analytica hingga partai-partai politik dan politisinya.
“Begitulah cara internet dibangun. Nyatanya, internet ada bukan untuk kita, melainkan untuk mereka, para perusahaan kapital dan pemodal besar. Kita perlu melihat lebih dari kasus Cambridge Analytica dan Facebook. Sudah saatnya kita membicarakan peran pengawasan dalam kehidupan masyarakat yang semakin digital dalam konteks yang lebih luas.”
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf