tirto.id - Siapakah belahan jiwamu? Mirip dengan pesohor manakah kamu? Berapa persen kadar setan dan malaikat dalam dirimu? Mana teman-teman terbaikmu? Apa kata yang paling banyak kau gunakan di Facebook? Karakter Game of Thrones yang manakah kamu?
Anda melihat judul-judul dan hasil kuis yang nampak menarik itu terpampang di dinding teman Facebook saat sedang dilanda kebosanan, atau sedang menunggu teman di kafe, atau sedang menumpang di dalam kendaraan menuju tempat kerja. Spontan, Anda mengklik tautan kuis itu.
Tak berapa lama, tentu tergantung seberapa cepat koneksi internet yang Anda pakai, Anda pun masuk ke laman kuis yang dimaksud. Lalu, lagi-lagi, tanpa pikir panjang Anda menyetujui dan mengklik apapun yang diminta si penyedia kuis. Dan … muncullah hasil kuis untuk segera dipampang di dinding pribadi.
Menyenangkan, apalagi Anda tak perlu bayar. Terkait yang terakhir, ingatlah kata-kata Andrew Lewis, seorang pengembang software: “Jika kau mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma, kau bukanlah konsumen, melainkan produk yang sedang dijual.”
Ucapan Lewis memang generalisasi yang secara faktual belum tentu berlaku dalam semua hal, tapi ia sangat mengena dalam urusan kuis iseng-isengan ini. Kebanyakan orang mengklik dan memampangkannya di media sosial tanpa peduli bahwa ada uang di balik semua tombol “iya” dan “setuju” yang diklik itu. Uang atas apa? Di antaranya: data Anda.
Kita membayar layanan kuis menggemaskan serta aplikasi-aplikasi seru lainnya dengan data profil dan jejak digital lain yang kita tinggalkan di internet. Maka, jangan heran jika ada perusahaan yang tidak tampak mendatangkan untung, tapi kemudian dibeli dengan harga miliaran dollar.
WTOP.com mencatat banyak perusahaan rintisan ini kebijakan privasinya sangat lentur. Pada dasarnya, situs-situs itu menyatakan mereka tidak akan menjual informasi Anda kepada pihak ketiga, tetapi kelak mereka bisa melakukannya jika mereka mau. Mereka bilang tak akan memberikan informasi pada pihak ketiga, tapi ada pengecualian atas jaminan itu.
Salah satu penyedia layanan kuis yang produknya berhasil viral dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “Siapa belahan jiwamu?” dan “Apa kata yang paling kau gunakan di dalam Facebook?” adalah Vonvon.me.
Dalam kebijakan privasinya, tertera: “Kami tidak akan pernah menjual ataupun membuka hasil layanan kami pada pihak ketiga dengan cara yang bisa diidentifikasi secara personal.”
Namun pada bagian selanjutnya: “Kami memiliki hak mengubah atau memodifikasi kebijakan privasi ini dari waktu ke waktu dan, dalam kasus semacam itu, kami akan membuat pemberitahuan publik dalam laman kebijakan privasi ini (atau melalui pemberitahuan individu seperti dokumen tertulis, faksimili atau e-mail) dan mendapatkan persetujuan dari para pengguna jika diharuskan oleh hukum yang berlaku.”
Mungkin ada yang membaca dan sadar atas konsekuensi kalimat-kalimat itu. Tapi kebanyakan dari kita tak membacanya. Saat diminta persetujuan untuk mengakses data-data kita dalam media sosial, kerapkali jempol atau telunjuk spontan saja mengklik tombol “setuju.”
Vonvon, startup yang kuis-kuisnya menjadi hits itu, didirikan oleh Jonghwa Kim, pebisnis muda asal Korea yang sebelumnya mendirikan dua bisnis rintisan. Yang pertama adalah Wingbus, situs blog perjalanan, yang dijual pada 2009. Setahun kemudian, Kim membuat Dailypick, websitus ecommerce yang berhasil ia jual seharga 9 juta dolar.
Awal 2015 ia membangun Vonvon dan mendapat investasi dari Altos Ventures sebesar 2,6 juta dolar. Tak sampai setahun, Vonvon populer dengan kuis-kuisnya yang menggemaskan. Kuis “Apa kata yang paling banyak kau gunakan di dalam Facebook?” atau “What are your most used words on Facebook?” meraih 50 juta klik pada akhir November 2015, seperti dilansir BBC. Kuis “Siapakah belahan jiwamu?” lebih dahsyat lagi: jumlah penggunanya melebihi 120 juta.
Seiring dengan popularitas itu, kuis-kuis Vonvon juga disambut dengan kritik. Startup ini disorot karena karena mengakses informasi rinci dari pengguna kuis, dari mulai nama, foto profil, umur, jenis kelamin, ulang tahun, semua sejarah klik, check in, IP address, bahkan semua piranti yang dipakai seperti browser dan bahasa. Salah satu yang paling keras kritiknya adalah artikel di comparitech.com bertajuk “That 'most used words' Facebook quiz is a privacy nightmare.”
Di artikel ini, Paul Bischoff menyebut kebijakan privasi Vonvon sangat memungkinkan data para pengguna bisa dijual kembali karena redaksionalnya—seperti terpetik sebelumnya—amat licin.
Menanggapi artikel pedas Bischoff dan lainnya, Jonghwa Kim, sang CEO, menyangkal pihaknya akan menjual data. Ia meyakinkan bahwa data-data yang diakses saat kita mengikuti kuis itu hanya digunakan untuk menentukan hasil kuis.
“Ada beberapa kabar bohong yang mengatakan kami mengumpulkan informasi orang agar kami dapat menjualnya kepada pihak ketiga,” kata Kim pada venturebeat.com. "Kami tidak mengambil informasi berharga saat orang menggunakan aplikasi kami.”
Tak hanya menampik tudingan, perusahaan Kim ini pun akhirnya meminimalisasi informasi yang diaksesnya. Kini Vonvon hanya mengakses hanya menggunakan linimasa pengguna, tak memakai daftar teman.
Tapi Bischoff bergeming. Ia tetap meragukan pernyataan-sangkalan yang disampaikan pengelola Vonvon. Pada BBC, ia berkata, “Sulit untuk percaya bahwa aplikasi ini mengumpulkan data hanya untuk membuat kuis lebih baik. Terutama ketika kebijakan privasinya memperinci bagaimana mereka bisa menggunakan data pribadi.”
Sikap skeptis Bischoff sejalan dengan hukum Murphy yang terkenal itu: "Sesuatu yang bisa jadi bencana, suatu saat akan jadi bencana."
Tapi tentu saja, terlanggarnya privasi hanya akan dipersepsikan sebagai bencana jika penggunanya memang memandang penting privasi. Ironisnya, terkait privasi secara lebih luas, Vonvon di hadapan Facebook dan Google sesungguhnya tak ada apa-apanya. Dua perusahaan itu adalah pengepul raksasa jejak digital kita dan menguangkannya dengan lihai.
Pendeknya, kalaupun Anda bisa menyerah untuk tak mengklik kuis-kuis sepele itu, bisakah Anda hidup tanpa Facebook? Jika Anda menjawab bisa, maka jawablah juga yang satu ini: Bisakah Anda hidup tanpa Google—yang maha-mengetahui lagi merekam segala jejak domba-domba digitalnya?
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti