Menuju konten utama

Kala "Big Data" Facebook Jatuh ke Tangan yang Salah

Sebelum dipakai untuk memengaruhi pemilu, penggunaan "big data" Facebook awalnya ditujukan untuk riset psikometrik. "Korban"-nya bukan cuma rakyat AS.

Kala
Kongres AS menunjukkan beberapa iklan politik di Facebook yang dibeli oleh akun-akun palsu Rusia. FOTO/REUTERS

tirto.id - Mudah untuk mengkambinghitamkan Cambridge Analytica usai modus operandinya dibongkar oleh salah seorang karyawan anonim.

Bayangkan saja.

Perusahaan itu telah menyedot data pribadi sekitar 50 juta akun Facebook pemilih Amerika Serikat yang terindikasi kuat dilakukan secara ilegal pada 2014. Aksi tersebut kemudian berlanjut pada pemilihan presiden tahun 2016. Milyader Republikan Robert Mercer membayar Cambridge Analytica $15 juta untuk menggarap kampanye senator Ted Cruz, yang kemudian pindah ke tim pemenangan Trump.

Namun tidak boleh dilupakan juga bahwa kegiatan pengumpulan data pribadi hingga menjadi sebuah “big data” pada dasarnya adalah kerja mendasar Facebook. Sejumah analis menilai Facebook tidak benar-benar bersih dari praktik ini. Kepercayaan pengguna menurun sebab ketidakpastian atas jaminan keamanan data-data pribadinya.

“Big data” adalah kumpulan data atau informasi dalam jumlah yang sangat besar dan memiliki jenis yang beragam. “Big data” merangkum situsweb apa yang Anda kunjungi, apa yang di-klik, hingga berapa lama durasi kunjungan. Demikian juga saat Anda memanfaatkan Google Maps, Facebook, Twitter, situs belanja online, Go-Jek, Uber, dan beragam aplikasi online lain.

Kerja mendasar Facebook ada tiga. Melansir Independent, pertama, mengumpulkan data pribadi orang-orang untuk membuat profilnya—baik secara individu maupun kelompok. Kedua, mendesain sistem agar data tersebut bisa digunakan untuk menyebarkan iklan kepada para penggunanya. Ketiga, membuka tawaran transaksi kepada pihak ketiga untuk menggunakan data tersebut baik untuk kepentingan iklan maupun lainnya.

Kemampuan ini kadang dianggap sepele pada awal terbentuknya Facebook. Namun, semuanya berubah beberapa tahun berselang. Pada tahun 2010 mereka mengadakan eksperimen lain yang berhasil memengaruhi orang-orang di AS untuk berpartisipasi dalam pemilihan anggota kongres.

Empat tahun setelahnya Facebook melakukan eksperimen dengan membuat penggunanya lebih bahagia atau lebih sedih. Sesederhana dengan memanipulasi bagian-bagian yang tampil di linimasa para pengguna.

Berawal dari Kuis Online

”Big data” rentan jatuh ke tangan yang keliru untuk dipakai menjalani modus ilegal atau merugikan masyarakat maupun si pengguna itu sendiri, karena sangat berkaitan dengan data pribadi, termasuk di media sosial seperti Facebook. Facebook juga punya algoritma yang membuat pengguna disuguhi unggahan maupun iklan yang telah terseleksi sesuai dengan riwayat “klik”, “like”, atau “posting” si pengguna.

Dalam laporan New York Times, program algoritma seperti itulah yang dimanfaatkan oleh tim sukses untuk memenangkan paslonnya pada ajang pilpres AS tahun 2016. Karena targetnya bisa sangat spesifik hingga ke taraf individu, teknik ini sering disebut microtargeted online advertisements. Melalui “big data” Facebook, tim sukses menargetkan para pengguna dengan konten kampanyenya.

Intinya, wajah para paslon yang bersliweran di beranda pengguna Facebook asal AS jelang pilpres 2016 bukanlah suatu kebetulan. Bagaimana tim sukses melakukannya?

Pertama, tim sukses memiliki alamat email yang dikumpulkan relawan, misalnya dengan metode donasi untuk mendukung paslonnya. Alamat email pengguna memudahkan tim untuk menargetkan orang-orang dengan, misal, pandangan politik yang sama.

Kedua, berdasarkan kemiripan dengan kelompok pendukung salah satu paslon. Tim sukses mamanfaatkan fitur “look-alike audience” yang mampu mencari target kampanye melalui profil demografis, riwayat “like”, “klik”, dan halaman yang disukai.

Ketiga, berdasarkan kecenderungan ideologi politik. Algoritma menyaring apakah A cenderung ke kanan atau kiri? Liberal, moderat, atau konservatif? Partai Demokrat atau Republikan? Modalnya adalah unggahan/halaman politik yang Anda “like”. Bahkan mereka juga bisa memakai unggahan/halaman non-politik yang di-like, misal, kebetulan juga disukai barisan pendukung salah satu paslon.

Keempat, berdasarkan umur dan etnis. Paslon yang diminati anak muda akan menargetkan kampanyenya dilihat oleh pengguna Facebook muda di beranda mereka—demikian juga kategori usia lain Facebook tak menanyai etnis pengguna, tapi tetap bisa menyaringnya berdasarkan ketertarikan pengguna terhadap unggahan/halaman terkait etnis

Terakhir, berdasarkan riwayat penjelajahan. Situs kampanye biasanya disertai perangkat lunak kecil dari Facebook untuk mencatat siapa yang berkunjung. Usai berkunjung, orang yang bersangkutan otomatis akan melihat kampanye paslon yang bersangkutan di beranda Facebook.

Algoritma Facebook awalnya disusun demi memuaskan pengguna agar mereka mendapat konten yang sesuai dengan preferensi selama menjajaki beranda. Namun memanfaatkannya untuk mengintervensi masa depan politik sebuah negara adalah persoalan lain. Apalagi jika pengumpulan “big data”-nya dilakukan secara ilegal.

Dalam kasus Cambridge Analytica, tokoh kuncinya adalah Michal Kosinki. Sesuai laporan bernas Hannes Grassegger & Mikael Krogerus di Motherboard, Kosinski adalah mahasiswa doktoral di Cambridge University di Psychometrics Centre, salah satu institusi tertua di dunia yang fokus pada riset-riset bidang psikometrik, khususnya kepribadian manusia.

Kosinski berguru pada David Stillwell, akademisi yang meluncurkan salah satu aplikasi bernama MyPersonality dan dioperasikan melalui Facebook.

MyPersonality membuat pengguna mengisi tes kuisioner psikometrik bernama Big Five. Ada lima aspek yang dikaji: keterbukaan (openness), ketelitian (conscientiusness), keterbukaan dengan dunia luar (extroversion), kemampuan untuk bersikap kooperatif (agreeableness), dan kecenderungan untuk gelisah (neuroticism). Berdasarkan tes kuisioner itu pengguna menerima “profil kepribadian” dan bisa membagikannya ke para peneliti.

Kala itu Facebook belum seterkenal sekarang. Kosinski pun hanya menduga partisipannya hanya puluhan mahasiswa. Namun popularitas Facebook yang melonjak drastis membuat angka partisipan juga naik dengan cepat. Dari yang awalnya ratusan, ribuan, akhirnya jutaan orang ikut tes. Dalam waktu sebentar saja Kosinksi dan Stillwell tiba-tiba memiliki dataset terbesar berupa gabungan skor psikometrik dan profil Facebook.

Mereka kemudian mengembangkannya lagi dengan bentuk kuis online, masih untuk menjaring skor psikometrik. Kosinski membandingkannya dengan apa yang pengguna sukai (like), unggah atau bagikan, atau bagaimana identitas yang mereka tunjukkan ke warga Facebook lain terkait gender, usia, alamat tempat tinggal, dan lain sebagainya. Dari ini semua Kosinski pun mampu untuk membuat korelasi dan kesimpulan.

Pada tahun 2012 model tes Kosinksi mencapai puncak performanya. Berdasarkan rata-rata 68 “like” Facebook oleh seorang pengguna, Kosinski bisa memprediksi warna kulit (akurasi 95 persen), orientasi seksual (akurasi 88 persen), dan afiliasi politiknya (85 persen)—ke Partai Demokrat atau Republik. Kosinski juga mampu memprediksi tingkat kecerdasan, afiliasi keagamaan, hingga konsumsi alkohol dan rokok.

Lebih lanjut, hanya dengan 70-an “like” ia bisa mengetahui kepribadian teman seorang pengguna; 150 “like” bisa untuk memahami orang tuanya; 300 “like” untuk mengerti pasangannya. Lebih dari jumlah itu, “like” bisa dipakai untuk memahami kepribadian seorang pengguna melebihi si pengguna itu memahami dirinya sendiri.

Metodenya terus berkembang sedemikian canggih. Pada satu titik Kosinski mampu memprediksi kepribadian seorang pengguna Facebook lewat kuantitas foto profil yang diunggah maupun jumlah teman yang dipunyai. Di titik Kosinski mulai menyadari potensi bahaya “big data” yang ia miliki, termasuk jika dipakai untuk kepentingan politis.

Infografik cari suara lewat facebook

Pada awal 2014 sebuah perusahaan bernama Strategic Communication Laboratories (SCL) menyatakan ingin memakai metode Kosinski dan “big data” dalam MyPersonality untuk kepentingan marketing berbasis psikologi. Tawaran datang dari seorang asisten profesor di departemen psikologi Cambridge bernama Alexander Kogan. Salah satu fokusnya, setelah Kosinski memeriksa situs SCL, adalah untuk “memengaruhi pemilu”.

Memengaruhi pemilu? Kosinski bertanya-tanya. Beberapa tahun kemudian, ia baru mengetahui bahwa SCL membawahi beberapa perusahaan yang terlibat memengaruhi hasil pemilu di Ukraina dan Nigeria. SCL juga membantu monarki Nepal melawan pemberontak hingga menyebarkan pengaruh hingga Eropa bagian Timur dan Afghanistan terkait isu NATO.

Pada 2013, atau setahun sebelum SCL mendatangi ke Kosinski, SCL membentuk Cambridge Analytica. Tujuannya untuk memengaruhi pemilu AS—tentu saja sesuai pesanan politisi yang punya kepentingan dengan pesta demokrasi itu. Kosinksi yang awalnya tertarik dengan tawaran Kogan akhirnya curiga, ragu-ragu, dan menolak tawaran sembari memutus kontak dengannya.

Namun tak lama berselang Kosinski kaget sebab SCL, terutama Cambridge Analytica, memakai metodenya. Hasilnya, selain kemenangan Trump, adalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa alias Brexit. Pasca-Brexit, kolega-kolega Kosinski menyalahkannya. Kosinski harus menjelaskan bahwa ia tak terlibat sama sekali dengan kerja SCL.

“Bukan. Ini bukan salahku. Aku tidak menciptakan bom. Aku hanya menunjukkan bahwa ia ada.”

Baca juga artikel terkait FACEBOOK atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Teknologi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf