Menuju konten utama

Meraup Uang Hingga Kampanye Politik dengan Modal Data

Data kini merupakan "mata uang" dan "bahan bakar" dunia internet, yang bisa jadi pundi-pundi uang hingga upaya meraup suara di dunia politik.

Meraup Uang Hingga Kampanye Politik dengan Modal Data
Ilustrasi big data. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Semenjak muncul pada dekade 1970-an, internet semakin penting bagi kehidupan umat manusia. Di dekade awal 1990-an, internet berbentuk rupa menjadi WWW. Ini kemudian menciptakan sistem pertukaran informasi yang mendisrupsi sistem informasi konvensional seperti radio dan cetak.

Jelang akhir dekade 2000-an bersamaan kemunculan ponsel pintar Apple iPhone, internet berkembang menjadi aplikasi-aplikasi dengan beragam fungsi. Sampai di situ, dunia konvensional terdisrupsi oleh perkembangan internet dengan segala datanya.

Hari ini, data sebagai informasi yang diproses atau disimpan oleh komputer dan dipertukarkan melalui internet, bisa dikatakan kunci utama dari kondisi demikian.

Mengutip tulisan Jovan Kurbalija, Founding Director DIPLO, suatu organisasi nirlaba tata kelola global, menurutnya data digunakan dalam dua pendekatan oleh perusahaan berbasis internet. Data bisa sebagai “mata uang” yang dipertukarkan dengan berbagai layanan berbasis internet. Serta data sebagai “bahan bakar” utama konsep big data yang kemudian menjadi penggerak mesin teknologi kecerdasan buatan.

Data sebagai “mata uang” mewujud dalam layanan-layanan gratis yang diberikan perusahaan berbasis internet. Google maupun Facebook adalah contohnya. Kedua perusahaan, menyediakan layanan kepada pengguna agar dapat memanfaatkan layanan seperti pencarian, peta digital, media sosial secara gratis.

Pengguna hanya perlu membarter dengan informasi pribadi, yang diberikan secara sadar seperti nama, usia, hingga jenis kelamin dan juga yang diberikan secara tak sadar seperti kebiasaan web yang dikunjungi hingga jejak peta digital hingga kecenderungan seseorang terhadap minat informasi tertentu.

Data sebagai “bahan bakar” pada konsep big data mewujud ke dalam berbagai perangkat cerdas yang menyematkan beragam sensor di dalamnya. Memanfaatkan internet, data-data yang dikumpulkan sensor itu menggunung hingga mampu digunakan untuk melakukan analisis mendalam perilaku seseorang.

Sayangnya, penggunaan data itu seringkali melanggar privasi para pemiliknya. Data diperjualbelikan untuk menghasilkan target sebuah pemasaran yang kini marak di internet.

Kurbalija menyatakan pada 2018, urusan data ini kemungkinan akan terjadi perubahan. Ia merupakan satu di antara 10 perubahan yang terjadi di dunia internet. Selain data, ada pula perubahan soal cybersecurity, perdagangan digital, peraturan digital, kecerdasan buatan, mata uang kripto, berita palsu, net neutrality, enkripsi, hingga identitas online.

The General Data Protection Regulation (GDPR), suatu produk hukum dari parlemen Uni Eropa tentang proteksi data, yang menjadi akar perubahan itu. Produk hukum yang diperkirakan akan meluncur pada Mei 2018 itu akan mengatur secara tegas pengumpulan, pembagian, hingga penggunaan data oleh perusahaan-perusahaan berbasis internet. Bagi warga Uni Eropa, bila melanggar aturan, perusahaan akan didenda senilai €20 juta.

GDPR akan memberikan dua dampak signifikan. Pertama yakni soal batasan yuridiksi. Memahami bahwa internet tak memiliki batas geografis yang jelas, GDPR akan memaksa perusahaan yang beroperasi di manapun untuk patuh mengelola data, terutama milik warga Uni Eropa, sesuai aturan mereka. Kedua, karena Uni Eropa merupakan entitas besar dan kuat, potensi aturan GDPR akan diikuti oleh negara lain.

GDPR, secara sederhana, akan menyeret data ke dalam kubangan politik digital. Antara pemerintah, yang diwakili Uni Eropa, dengan perusahaan-perusahaan berbasis internet, yang selama ini memperoleh keuntungan atas data pengguna yang dikumpulkan oleh mereka.

Data merupakan barang berharga di era digital. Data, sebut The Economist, merupakan entitas "pengganti oli". Data mampu menciptakan keuntungan. Facebook adalah contoh perusahaan yang hidup dari data pengguna. Pengguna Facebook tak dibebankan biaya apapun untuk menggunakan platform media sosial itu.

Padahal, Facebook harus mengongkosi layanannya agar berfungsi. Uang senilai $2,3 merupakan ongkos yang mesti dikeluarkan Facebook per pengguna untuk tetap mempertahankan media sosialnya bekerja. Namun, dari uang senilai itu, uang sebesar $4,83 per pengguna diterima Facebook sebagai keuntungan. Artinya, perusahaan yang didirikan Mark Zuckerberg itu memperoleh pendapatan bersih senilai $2,5 dari satu orang pengguna Facebook.

Keuntungan yang diraih Facebook, tak lain didukung penuh oleh data penggunanya. Mulai dari foto, status, hingga kebiasaan pengguna bermain Facebook, dijadikan basis perusahaan itu menghadirkan target pemasaran. Melalui aturan GDPR, gaya bermain Facebook seperti ini kemungkinan akan berubah.

Dalam aturan GDPR disebutkan bahwa data yang dipertukarkan untuk memperoleh layanan gratis dari perusahaan internet harus terbebas dari embel-embel tersembunyi. Kemudian, perusahaan hanya boleh mengumpulkan data jika digunakan untuk meningkatkan performa layanan yang digunakan pengguna secara sadar. Bukan untuk dikembangkan pada layanan lain yang dimiliki perusahaan.

Ini artinya, pendekatan data sebagai “mata uang” dan “bahan bakar” yang selama ini dilakukan perusahaan harus berubah.

Infografik akses data bayar dengan data

Begitu Bernilainya Data

Data jadi sesuatu yang sangat bernilai di era digital tak terbantahkan. Setidaknya Facebook telah membuktikannya. Mengubah data pengguna menjadi sumber uang mereka, tanpa sepeser pun meminta biaya pada pengguna. Selain dipergunakan perusahaan berbasis internet, data pun dapat dipergunakan di bidang lain seperti politik.

Pengajar pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institute Teknologi Bandung (ITB) Udjianna Sekteria Pasaribu membenarkan penggunaan data bagi dunia politik. Menurutnya, data, seperti yang berasal dari media sosial, bisa digunakan sebagai acuan berpolitik, khususnya untuk kampanye.

“Selama kita bisa mendeteksi siapa orang yang ditargetkan, kita bisa menggunakan untuk kampanye. Ini anak (pengguna Twitter) dewasa umur 25 tahun sudah ikut Pemilu dua kali. (Data si anak) sangat mungkin digunakan (berkampanye),” kata Udjianna kepada Tirto.

Ia mencontohkan bagaimana aplikasi ride-sharing seperti Grab dapat tahu posisi pengguna. Dengan contoh ini, para kandidat politik bisa melakukan target kampanye berbasis lokasi untuk menyasar orang-orang secara lebih spesifik. Pendekatan ini lebih efektif, dibandingkan memanfaatkan televisi atau media konvensional lainnya. Selain itu, konten-konten yang dihasilkan pengguna media sosial bisa dijadikan acuan berkampanye efektif.

“Kalau misalnya Eni selalu menjelek-jelekkan (menyebut sebuah partai) apa mungkin ia memilih gubernur dari partai itu di wilayah dia? Orang Indonesia kan mudah ditebak (dari postingan ketahuan),” terang Udjianna.

Apa yang diungkap Udjianna senada dengan apa yang diungkap Eitan Hersh, profesor ilmu politik pada Yale University. Dalam sebuah wawancara dengan Vox, Hersh menyebut bahwa data bisa digunakan memilah secara spesifik orang yang hendak disasar saat kampanye.

“Kampanye sekarang dapat dilakukan secara lebih spesifik berdasarkan karakteristik individual atau karakteristik lingkungan. Kandidat kini dapat tahu (secara spesifik) siapa pemilik suara, umurnya berapa, jenis kelaminnya apa, di mana mereka tinggal, di mana mereka belanja,” ungkap Hersh.

Udjianna menegaskan tak sulit memperoleh data yang akan dipergunakan untuk kampanye politik. Politisi, dapat “bekerjasama dengan provider” untuk memperoleh data yang diperlukan. Hersh pun mengamini ini. Menurutnya, data bisa berasal dari “database registrasi (Pemilu), catatan yang dimiliki negara bagian, hingga database yang disediakan perusahaan.”

Dari sini menunjukkan bahwa pemanfaatan data sudah semakin luas, dan konsekuensinya ada upaya-upaya membatasinya agar data-data yang tersebar termasuk informasi pribadi tak menjadi sumber sewenang-wenang para pengumpulnya. Namun, bagaimana pun data telah terbukti sebagai sumber pundi-pundi uang dan perlahan menjadi salah satu cara menjaring suara dalam dunia politik.

Baca juga artikel terkait DATA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra