tirto.id - “Sekarang (11/11) bukanlah harinya diskon,” ucap Jack Ma, pendiri Alibaba, menyambut perayaan 11.11 atau Single Day.
“Sekarang adalah harinya berterima kasih, hari di mana penjual menjual barang terbaiknya berikut dengan harga terbaik pada konsumen untuk mengungkapkan rasa terima kasih pada mereka,” kata Ma.
Single Day atau di Cina dikenal dengan sebutan Guanggung Jie atau Shuang Shiyi sudah berlangsung dua hari lalu. Hari ini awalnya merupakan hari perayaan status jomblo yang diinisiasi mahasiswa Cina di dekade 1990an. Hari jomblo lahir manakala ada empat “1” di hari itu yang merujuk pada kesendirian.
Pada 2009, Alibaba, sang pemilik jejaring bisni toko online Taobao dan Tmall, mereplikasi Single Day menjadi hari belanja online. Mengajak para pemuda yang hidup sendirian memanjakan diri mereka dengan berbelanja. Secara online tentu saja.
Alibaba mengklaim sukses meraup Gross Merchandise Volume (GMV), penjualan dari berbagai platform belanja, senilai $30,8 miliar pada sehari perayaan Single Day 2018. Nilainya melesat 74, 6 persen dibandingkan perolehan GMV mereka di tahun pertama acara Single Day. Saat itu, Alibaba memperoleh GMV hanya senilai $7,8 miliar.
Dalam Single Day yang dilaksanakan Alibaba tahun ini, mereka mengklaim terdapat 230 negara yang berpartisipasi dengan lebih dari 180 ribu merek yang bisa dipilih konsumen. Sebanyak 40 persen konsumen yang berbelanja via berbagai platform Alibaba, membeli produk-produk dari mereka internasional. Nama-nama mereka seperti Apple, Nestle, hingga Nike, masing-masing memperoleh GMV lebih dari RMB100 juta.
Atas perolehan yang begitu massif, Daniel Zhang, Chief Executive Officer Alibaba menyebut bahwa perusahaan yang dipimpinnya “terus memimpin evolusi menuju ekonomi digital dan gaya hidup masa depan.”
Venkatesh Shankar, Profesor Pemasaran dari Texas A&M University, dalam tulisannya di The Conversation, menyebut Single Day merupakan hari belanja online terbesar di dunia. Di tahun 2017 lalu, total duit yang dikeluarkan konsumen untuk Single Day mencapai angka $38,2 miliar. Sangat jauh dibandingkan total duit yang dikeluarkan konsumen pada Amazon Prime Day ($2,4 miliar), Black Friday ($2,4 miliar), Cyber Monday ($3,4 miliar), dan Thanksgiving Day ($1,6 miliar).
Ignatius Untung, ketua idEA, asosiasi e-commerce Indonesia, menyebut bahwa acara seperti Single Day merupakan hal baik dan positif, khususnya bagi pelaku e-commerce. Katanya, acara serupa Single Day “memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mengajak konsumen mau mencoba.” Yaitu mencoba menggunakan e-commerce sebagai bentuk baru berbelanja. Sementara itu, peristiwa seperti hari jomblo di Cina atau pemilihan tanggal-tanggal unik, seperti 11.11 atau 12.12 merupakan “bumbu yang diberi konteks semata.”
Pada Single Day, idEA tak ikut campur meskipun beberapa anggotanya, seperti Lazada atau Shopee, terlibat dalam perayaan 11.11. Katanya, “idEA ngga pernah jadi inisiator.” idEA hanya akan ikut terlibat dalam Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional) yang jatuh pada 12 Desember atau 12.12 mendatang.
“Harbolnas 12.12 pesertanya 300 perusahaan lebih. Sementara anggota idEA yang ikutan hanya beberapa puluh saja,” ucap Ignatius.
Hajatan 11.11 atau Single Day yang identik dengan Alibaba tapi diikuti pula oleh platform e-commerce lainnya, menunjukkan acara-acara diskon yang mengambil momen tertentu memang ladang uang bagi e-commerce untuk semakin membuat "candu" belanja online.
Hong Tao, profesor ekonomi dari Beijing Technology and Business University, berpikir negatif atas acara semacam Single Day. Sebagaimana diwartakan Time, ia menyebut bahwa dalam acara-acara demikian, orang cenderung hanya berpikir soal harga murah. Kualitas dan nilai kebutuhan, diabaikan.
“Orang-orang terperangkap dalam perayaan,” tegas Tao.
Perayaan 11.11 ala Alibaba serupa dengan Black Friday di Amerika Serikat ataupun Harbolnas di Indonesia. Louis Rene Beres, dalam tulisannya di USNews, menyebut bahwa perayaan semacam ini membuat masyarakat tergesa-gesa dalam membeli barang. Semuanya hanya tertuju pada harga murah. Secara fundamental, Beres menulis bahwa acara seperti ini menampilkan “pesan komersial soal kecanduan.” Masyarakat dibimbing untuk menerima mantra “you are what you buy.”
George Monbiot, dalam tulisan berjudul “Every Friday is Black Friday: Why Ous Addiction Consumption and Growth Killing Us” menyebut dengan tegas acara serupa 11.11 adalah “ilusi, dirancang untuk membenarkan model ekonomi yang mendorong kita ke bencana.” Bencana membeli sesuatu yang sesungguhnya tak kita butuhkan.
Online dan Offline
Dilansir CNBC, Alibaba melancarkan strategi “new retail” dalam hajatan Single Day tahun ini. Itu merupakan strategi menggabungkan dunia belanja online dengan offline. Daniel Zhang menyebut bahwa “ketika berbicara tentang retail baru, kami percaya dunia komersial online dan toko offline tidaklah dipisahkan dalam dunia berbeda. Semua orang kini terhubung ke internet, artinya online dan offline punya konsumen yang sama.”
Dalam Single Day tahun ini, Alibaba tak cuma menawarkan diskon pada orang-orang yang berbelanja di platform-platform mereka secara online. Memanfaatkan Alipay, uang digital milik Alibaba, diskon bisa dinikmati secara offline.
Dalam tulisan Shankar, Alibaba telah berupaya keras menggabungkan online dan offline. Misalnya, mereka mengakuisis InTime Department Store. Lantas, Alibaba pun membuka supermarket Hema, supermarket yang hanya menerima non-tunai bagi para pembelanjanya. Terakhir, Alibaba kini tengah dalam upaya membuka 100 ribu toko offline guna memajang barang-barang yang diperjualbelikan secara langsung.
Alasan mengapa Alibaba kini beranjak untuk menggabungkan online dan offline karena dunia e-commerce belumlah sukses di tengah masyarakat secara umum. Dilansir Forbes, 90 persen nilai uang belanjaan para konsumen di Amerika Serikat lari ke toko-toko offline. Dalam kasus Black Friday, acara serupa Single Day, hanya terjadi penurunan 3,5 persen orang berbelanja ke toko offline.
Laporan Forbes lain menyebut, dalam segmen makanan dan minuman, hanya 5 persen orang dewasa di Amerika Serikat yang berbelanja segmen itu secara online. Sementara itu, tercatat ada 78 persen orang dewasa di Amerika Serikat yang membeli produk makanan dan minuman ke toko langsung.
Rachel Soloveichik, dalam paper berjudul “How E-Commerce Improves the Brick and Mortar Shopping Experience: Explaining the Post-2002 Slowdown” menyatakan keunggulan toko offline ialah kesanggupan mereka memberikan “free consumer shopping experiences.” Yang dimaksud “free consumer shopping experiences” adalah kesanggupan penjual offline memberikan ujicoba produk yang ditawarkan pada konsumen secara gratis. Dalam dua produk pelembab kulit misalnya.
Konsumen hanya butuh satu, dan mana pelembab kulit yang paling cocok dan kemudian dibeli konsumen hanya bisa ditentukan jika konsumen membeli secara langsung. Saat konsumen hendak membeli ponsel A atau B. Cara terbaik untuk menentukan mana yang paling baik dibeli ialah mencobanya secara langsung. “Review,” seperti yang ditawarkan sistem belanja online, tak memiliki penawaran ini. Namun, Alibaba punya skema "New Retail" dan mereka sukses membuat konsumen makin candu berbelanja di ajang single day atau 11.11.
Editor: Suhendra