Menuju konten utama

Cloud si Mesin Pencetak Uang: Alibaba Cloud Hingga AWS

Komputasi awan atau cloud computing kini tengah berkibar dan menjadi sumber pundi-pundi uang, meski menyimpan risiko keamanan.

Cloud si Mesin Pencetak Uang: Alibaba Cloud Hingga AWS
Ilustrasi media penyimpanan virtual dalam format digital. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Usai gelaran The Agony And The Ecstasy of Steve Jobs, pertunjukan monolog dari Mike Daisy tentang Steve Jobs pada 2012, Steve Wozniak yang merupakan rekan Jobs sempat berujar soal rasa kekhawatirannya terhadap salah satu teknologi yang kini berkembang, cloud computing atau komputasi awan

“Saya khawatir,” kata Woz, sapaan akrabnya, “tentang segala hal yang kini serba ke arah cloud.”

Menurut Woz, dalam lima tahun mendatang, cloud akan menjadi masalah yang serius dan “menjadi sangat mengerikan.”

Mengapa cloud jadi masalah? Dalam kesempatan itu, Woz mengatakan bahwa dahulu “segalanya benar-benar tersimpan di komputer pribadi". Namun “kini masyarakat mentransfer segalanya ke web, ke cloud, yang menjadikan para pemilik segala hal itu kehilangan kendali.”

Cloud atau cloud computing, teknologi yang dikhawatirkan Steve Wozniak, merujuk Microsoft, merupakan istilah yang mengacu pada penyediaan layanan komputer seperti server, media penyimpanan, database, jaringan, software, analisis, dan lain sebagainya. Ia memanfaatkan medium internet alias “cloud.”

Bila merujuk definisi yang diutarakan Amazon, cloud computing merupakan computer power atau media penyimpanan atau sumber daya IT lainnya yang diperoleh secara on-demand yang dinikmati dengan memanfaatkan medium internet.

Secara sederhana, cloud computing serupa komputer atau server atau infrastruktur IT biasa, tetapi disewakan pada khalayak dengan memanfaatkan internet, tanpa perlu memiliki server. Layanan ini hanya memerlukan sambungan internet, penyewa bisa menggunakan segala manfaat server antara lain untuk membangun situsweb.

Keiko Hashizum, dalam papernya berjudul “An Analysis of Security Issues for Cloud Computing” berpendapat sama dengan kekhawatiran Woz, ia mengatakan bahwa salah satu masalah serius bagi dunia cloud ialah keamanan, yang lalu diikuti masalah privasi dan masalah legal.

Mengapa keamanan, privasi, dan persoalan legal jadi masalah cloud? Dalam paper Hashizum mengatakan ini terkait dengan status “publik” yang dimiliki cloud. Asalkan tahu kata-kunci misalnya, file-file yang tersimpan di Dropbox, layanan cloud yang fokus pada media penyimpanan, dapat dengan mudah diambil-alih.

Senada dengan apa yang diungkap Hashizum, Garima Gupta, dalam papernya berjudul “A Survey on Cloud Security Issues and Techniques” mengatakan secara tersirat bahwa cloud, dari sisi keamanan, punya masalah dari dua perspektif yaitu luar, yang artinya dilakukan si pemilik. Juga perspektif dalam, yang artinya dilakukan si penyedia/vendor cloud.

Masih menurut Hashizum dan Garima Gupta, pada sebuah survei yang dilakukan pada 2010, sebanyak 73 persen masalah keamanan yang menimpa cloud terjadi karena faktor luar. Artinya secara perspektif luar atau dalam, data-data yang tersimpan di cloud bisa terkunci, kehilangan kontrol, terdistrupsi, hingga rusak.

Cloud, sebagai media penyimpanan misalnya, bisa dianalogikan sebagai lemari dengan rangkaian rak. Masing-masing rak disewa oleh individu atau kelompok berbeda. Menurut Gupta hal ini jadi masalah, meskipun karena digunakan bersama biaya yang bisa ditekan. Mengapa? Karena segala sumber daya lemari (atau komputer), digunakan ramai-ramai oleh masing-masing rak.

Infografik Cloud computing

Cloud Jadi Mesin Pencetak Uang

Cloud, membuat individu atau perusahaan menikmati infrastruktur teknologi dengan efisien, hemat biaya, tetapi memiliki kemampuan mumpuni. Alih-alih memikirkan soal infrastruktur, dengan memanfaatkan cloud, individu atau perusahaan atau pengembang hanya perlu fokus pada layanan yang hendak mereka ciptakan.

Meskipun cloud, sebagaimana yang diungkap Woz maupun para akademisi, memiliki kerentanan soal masalah keamanan, teknologi ini tetap melaju. Nama-nama besar vendor penyedia layanan cloud, yaitu Amazon Web Service (AWS), Microsoft Azure, Google Cloud Platform, dan Alibaba Cloud bahkan mendulang untung yang tidak sedikit.

Amazon Web Service, layanan cloud milik Amazon, sebagaimana dikutip dari Montley Fool, menyumbang 73 persen laba operasional Amazon di kuartal lalu. Pada kuartal I-2018, laba operasional Amazon berada di angka $1,9 miliar. Microsoft Azure, layanan cloud milik Microsoft, sukses menangguk pendapatan hingga $2 miliar. Google Cloud Platform, layanan cloud milik Google, mengantongi pendapatan lebih dari $1 miliar di periode yang sama.

Senada dengan kesuksesan layanan cloud “made in US,” Alibaba Cloud, layanan cloud milik Alibaba, sukses memperoleh pendapatan sebesar $553 juta di kuartal lalu, atau, merujuk pemberitaan Techcrunch, hasil tersebut meningkat 104 persen dibandingkan capaian periode yang sama setahun sebelumnya.

Khusus untuk Alibaba Cloud, di antara 18 data center di seluruh dunia, satu di antaranya berada di Jakarta, Indonesia. Alibaba jadi satu-satunya vendor global penyedia layanan cloud yang punya data center di Indonesia. Pada keterangan resminya Alibaba menegaskan “untuk memenuhi kewajiban menyimpan dan mengelola data di dalam negeri.”

Alex Li, General Manager of Asia Pacific Alibaba Cloud, mengatakan bahwa salah satu keunggulan Alibaba Cloud, yang berasal dari Asia, ialah “memiliki posisi yang unik dalam hal pemahaman budaya dan konteks di wilayah ini.”

Cloud punya dua basis layanan yaitu layanan penuh dan spesifik. Amazon Web Service, Microsoft Azure, ataupun Alibaba Cloud merupakan varian layanan cloud penuh. Di sisi lain, ada layanan cloud yang spesifik, menyajikan tema tertentu, semisal media penyimpanan.

Dropbox, Box.com, Salesforce.com, hingga Google Drive merupakan contoh populer dari varian ini. Meskipun lebih spesifik, perputaran uang di varian ini tak sedikit. Pada 2016, layanan cloud semacam ini menyumbang pendapatan hingga $4,04 miliar.

Mengutip data Statista, Dropbox merupakan layanan yang paling populer di varian ini, digunakan 53 persen responden atas survei yang dilakukan. Menariknya, sebagaimana diwartakan Wired, delapan tahun pertama perusahaan tersebut, justru “merelay” layanan penyimpanan cloud atas 500 juta pengguna mereka ke Amazon Web Service, hingga lebih cocok disebut Amazon Cloud.

Salah satu alasan mengapa Dropbox kala itu harus merelay ke Amazon Web Service ialah sukarnya menciptakan infrastruktur sebagaimana dimiliki Amazon. Namun, dengan tenaga ahli “lulusan” Google dan perusahaan lainnya, Dropbox kini punya infrastrukturnya sendiri.

Mereka memiliki Magic Pocket, sistem yang mampu menyimpan file hingga ribuan petabytes. Mereka memiliki mesin bernama Diskotech, mesin yang memampukan Magic Pocket bekerja dengan efisien.

Baca juga artikel terkait CLOUD atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra