tirto.id - Niat mulia Pemerintah Provinsi Jawa Timur memberdayakan kelompok masyarakat (pokmas) di daerahnya melalui anggaran hibah dari APBD malah berujung malapetaka korupsi. Kasusnya yang kini ditangani oleh KPK pun menyeret banyak pihak menjadi tersangka.
Nominal duit APBD Jatim yang ditilap pun tak main-main, mencapai Rp12,47 triliun. Itu adalah alokasi hibah yang dikucurkan untuk periode 2023 hingga 2025 untuk lebih dari 20.000 pokmas. Semestinya, dana hibah tersebut disalurkan untuk pembangunan berbagai sektor strategis, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan masyarakat.
Alokasi dana hibah APBD Jatim itu pun sebenarnya dipayungi rejumlah aturan hukum dan regulasi. Di antaranya PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Pergub Jatim Nomor 44 Tahun 2021 serta Pergub Jatim Nomor 7 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan, Penatausahaan, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban serta Monitoring dan Evaluasi Hibah dan Bantuan Sosial.
Terbaru, Pemprov Jatim pun telah menambahkan sejumlah klausul penerima ke dalam Pergub Nomor 7 Tahun 2024. Klausul baru itu memungkinkan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dan koperasi menjadi penerima hibah dengan persyaratan khusus.
Sekali pun dipagari dengan berberapa lapis regulasi, celahnya ternyata masih begitu lebar sehingga korupsi pun terjadi.
Kasus korupsi dana hibah APBD Jatim ini terungkap usai KPK mengendus adanya penerima hibah fiktif yang sama sekali tidak memiliki kriteria pokmas insidentil secara jelas. Operasi tangkap tangan (OTT) pertama terkait kasus ini dilakukan terhadap mantan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua P. Simandjuntak.
Sahat diketahui melakukan “ijon” dana hibah dari Pemprov Jatim. Sahat dan staf ahlinya yang bernama Rusdi diduga menjadi penerima suap.
Pemberi suap yang ditangkap KPK adalah Abdul Hamid, Kepala Desa Jelgung, Kecematan Robatal, Kabupaten Sampang, sekaligus koordinator pokmas dan Ilham Wahyudi alias Eeng, koordinator lapangan pokmas.
Kasus ini kemudian menyeret berbagai pihak untuk diperiksa dan diwawancara sebagai aksi. Di antaranya eks Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi, hingga Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, yang diperiksa di Polda Jawa Timur pada Rabu (9/7/2025).
Hingga saat ini, kasus dana hibah tersebut telah menjerat 21 tersangka. Mereka ditetapkan tersangka berdasar pengembangan dari kasus yang menjerat Sahat.
“Penyidik mendalami proses pembuatan pokmas yang diduga dibuat oleh korlap yang berkoordinasi dengan kades,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan tertulis, Rabu (16/7/2025).

Mekanisme Hibah APBD Amburadul
KPK mencatat setidaknya terdapat 757 nomor rekening pokmas fiktif dalam kasus ini. Meski fiktif, aliran dana hibah APBD Jatim ke mereka terus aktif. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut bahwa data fiktif penerima dana hibah itu disebabkan oleh ketiadaan sanksi tegas bagi penerima hibah yang tidak jelas identitasnya.
"Tercatat 757 rekening dengan kesamaan identitas nama, tanda tangan dan NIK," kata Budi dalam konferensi pers, Senin (21/7/2025).
Berdasarkan hasil evaluasi KPK, Budi menyebut bahwa pengelolaan dana hibah di Jawa Timur masih menghadapi tantangan serius. Di antaranya adalah minimnya transparansi, lemahnya pengawasan, dan kompleksitas regulasi. Menurut Budi, itu semua menjadi faktor utama yang membuka celah bagi praktik korupsi.
Lebih lanjut, Budi mengatakan bahwa KPK juga mengidentifikasi adanya titik rawan penyimpangan dalam penyaluran dana hibah tersebut, seperti penerima hibah yang tidak profesional, pokmas fiktif, dan duplikasi penerima.
KPK juga menyebut bahwa Bank Jatim selaku pengelola Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) belum memiliki prosedur pencairan hibah yang memadai sehingga proses penyaluran dana hibah dilakukan seperti transaksi biasa tanpa verifikasi keamanan.
Oleh karena itu, KPK kemudian menginstruksikan Bank Jatim dan Pemprov Jatim untuk melakukan penajaman tujuan pemberian hibah agar selaras dengan program prioritas daerah. Hal lain yang mesti dibenahi oleh keduanya adalah soal penetapan kriteria penerima hibah yang selektif dan berbasis indikator terukur, transparansi dalam verifikasi dan seleksi penerima hibah, serta pembangunaan basis data terintegrasi antar pemerintah kabupaten atau kota, provinsi, dan pusat.
"Selain itu, penyaluran dana hibah juga perlu didukung teknologi sehingga digitalisasi sistem informasi hibah yang dapat diakses publik secara real time sangat diperlukan. Penguatan mekanisme pengawasan dan pelibatan masyarakat melalui kanal pengaduan publik dan terakhir adalah kolaborasi dengan Bank RKUD untuk merancang mekanisme pencairan hibah yang akuntabel," kata Budi.

Berpotensi Ditiru Daerah Lain
KPK menyebut skema pembagian dana hibah APBD Provinsi Jatim yang berantakan dan jadi “bancakan” koruptor berpotensi ditiru daerah lain.
Oleh karenanya, KPK akan mengusulkan perbaikan proses penyaluran dana hibah kepada pemerintah pusat. Hal itu dimaksudkan untuk mencari rumus regulasi nasional untuk hibah dana APBD dan memperkuat regulasi kriteria penerima hibah.
Penguatan regulasi dilakukan dengan cara penyusunan data tunggal nasional berbasis NIK untuk verifikasi lintas instansi, membangun platform digital hibah yang mengintegrasikan instansi pusat dan daerah, serta menyusun rekomendasi nasional pencegahan korupsi hibah dalam perencanaan dan penganggaran.
“Mulai dari perencanaan, pengusulan, penetapan besaran hibah untuk pokmasnya, kemudian penyalurannya, pelaksananya, hingga tahapan evaluasi dan pertanggung jawaban dari penggunaan dana hibah tersebut. Semuanya dilakukan identifikasi untuk melihat kerawanan-kerawanan terjadinya korupsi,” kata Budi.
Budi juga mendorong perbaikan penyaluran dana hibah menggunakan teknologi dan digitalisasi agar memudahkan pengawasan dan transparansi. Dengan digitalisasi, publik pun diharapkan dapat turut memantau proses hibah secara langsung.
"KPK menegaskan bahwa hibah daerah harus menjadi instrumen pembangunan yang bersih, tepat sasaran, dan berdampak nyata bagi masyarakat. Reformasi tata kelola hibah di Jawa Timur diharapkan menjadi model perbaikan bagi daerah lain dalam mencegah praktik korupsi dan memperkuat integritas penyelenggaraan pemerintahan," tegasnya.

Pentingnya Transparansi
Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, mengungkapkan bahwa transparansi adalah kunci untuk menyukseskan penyaluran dana hibah. Oleh karenanya, dia mendesak Pemprov Jatim untuk memeriksa jejak rekam para penerima hibah sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan anggaran.
"Penerima harus diverifikasi track record-nya agar tidak fiktif dan tidak berafiliasi dengan ordal [orang dalam]. Kemudian, kebutuhan untuk hibah itu harus real, bukan by design atau by request," kata Orin saat dihubungi Tirto, Selasa (22/7/2025).
Sementara itu, eks penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, menilai program dana hibah untuk pokmas seperti di Jawa Timur tak perlu dicabut. Menurutnya, yang terpenting dalam pelaksanaannya harus ada verifikasi berjenjang sehingga tidak ada isu bahwa ia dipolitisasi atau ditilap untuk kepentingan pihak tertentu.
“Maka ke depannya tentu harus diverifikasi secara benar-benar real terkait siapa saja yang mendapatkan dana hibah. Jangan sampai ada konflik kepentingan di situ ataupun ada afiliasi-afiliasi," kata Yudi, Selasa.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Adinda Tenriangke Muchtar, menyebut peristiwa penyalahgunaan dana hibah di Jawa Timur menguak puncak gunung es. Menurutnya, permasalahan serupa ada di banyak daerah di Indonesia.
Dia menceritakan bahwa pejabat publik di Indonesia telah diberi beragam fasilitas dari gaji hingga tunjangan yang semuanya berasal dari pajak masyarakat. Namun, hal itu tidak membuat para pejabat tersebut berhenti untuk korupsi.
"Efisiensi anggaran akhirnya hanya akan menjadi seperti 'macan ompong' karena memang tidak diterapkan secara konsisten dan tegas dan menurut saya parlemen sudah menodai tugas dan fungsinya," kata Adinda, Selasa.
Dia menambahkan bahwa dengan banyaknya tersangka dari kalangan petugas partai politik, hal itu menunjukkan bahwa pengelolaan lembaga partai masih belum baik. Adinda menyebut adanya politik balas budi, yang mana para politisi mengeluarkan banyak uang saat kampanye dan menghabiskan anggaran rakyat demi balik modal.
"Ketika lembaganya juga tidak demokratis, transparansi keuangannya tidak jelas, termasuk dana kampanye itu mana yang jelas, rekening kampanye mana yang jelas, mahar politik, proses rekrutmen akan sulit membayangkan ada kader-kader atau kandidat memimpin," kata dia.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































