Menuju konten utama
Periksa Data

Cara Aman dari Jerat Pay Later: Literasi Finansial Jadi Pemandu

Tingginya NPL layanan pay later dan kurangnya kesadaran atas dampak tunggakan pay later bisa dikaitkan dengan literasi keuangan yang masih belum maksimal.

Cara Aman dari Jerat Pay Later: Literasi Finansial Jadi Pemandu
Nasabah mengakses aplikasi penunda pembayaran (paylater) di Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/7/2023). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/tom.

tirto.id - Opsi Buy Now Pay Later (BNPL) atau pay later menjadi salah satu alternatif pembayaran yang menarik hati publik di tengah melonjaknya tren belanja daring di Indonesia.

Baca juga: Apakah Gen Z Terlalu Boros dalam Menggunakan Pay Later?

Pasalnya, terintegrasinya pay later dengan platform e-commerce tidak hanya menawarkan kemudahan, tetapi juga diikuti beragam promo. ‘Daya pikat’ pay later itu diakui oleh Nissa (bukan nama sebenarnya), pegawai berusia 25 tahun yang bekerja di perusahaan importir.

"Pertama-tama itu tahu dari teman kantor yang pakai [pay later]. Terus akhirnya coba-coba pakai juga. Awalnya tergoda itu karena harganya [jadi lebih] murah dan banyak promo potongan," ungkap Nissa dalam ceritanya kepada Tirto, Rabu (23/8/2023).

Sementara itu, Mawar (bukan nama sebenarnya) mengatakan promo gratis ongkos kirim menjadi pemicu dirinya untuk mulai mencoba layanan tersebut.

"Kadang kan ada yang bisa dapat gratis ongkir kalau pakai pembayaran pay later aja. Itu jadi menarik. Enak juga bisa beli hari ini, nanti kita bayarnya tanggal 25 habis gajian," kata Mawar (25), pekerja industri kreatif, saat berbincang bersama Tirto di hari yang sama.

Namun, di balik kemudahan serta berbagai keuntungan yang ditawarkan, pay later rupanya menjadi sumber masalah lain. Banyak pengguna di usia muda yang mencatatkan kredit macet.

PT Pefindo Biro Kredit (IdScore) mencatat, kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di layanan pay later menembus angka 9,7 persen pada April 2023, jauh di atas rasio batas aman NPL sebesar 5 persen.

Jika dibedah berdasar kelompok umur, data IdScore yang diterima Tirto menunjukkan rentang usia 20—30 tahun menjadi kontributor utama kredit bermasalah di pay later, jumlahnya menyentuh 25,89 persen. Dari data itu, terungkap pula pengguna pay later didominasi generasi milenial (51,17 persen), disusul generasi Z di bawahnya (37,09 persen).

Direktur Utama PT Pefindo Biro Kredit Yohanes Arts Abimanyu bilang, tren buruk NPL pay later disebabkan lantaran kemudahan dan kecepatan dalam proses persetujuan pemberian pay later serta banyaknya promo-promo di merchant dan platform e-commerce.

“Selain itu pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19 juga mendorong permintaan atas pay later. Namun, perlu diingat bahwa kemudahan dan kecepatan harus dibarengi dengan manajemen risiko kredit yang memadai,” beber Abimanyu dalam keterangannya kepada Tirto, Rabu (30/8/2023).

Pay Later Membantu, tetapi Bikin Impulsif

Menilik hasil survei yang dilakukan Tirto bersama Jakpat pada Oktober 2022 lalu, sekitar 64 persen dari total 1.506 responden mengaku pernah menggunakan layanan pay later, baik secara rutin maupun sesekali.

Pengguna rutin didominasi oleh generasi milenial (32,75 persen), disusul generasi Z (27,32 persen) dan generasi X (25,86 persen). Di antara kelompok yang memanfaatkan layanan pay later itu, sebanyak 61,69 persen mengakui kalau pay later membantu memenuhi kebutuhan saat tidak cukup uang.

Namun, bertebarannya promosi dan kemudahan akses ini juga menjadi sarana yang bikin orang-orang jadi berbelanja secara impulsif.

Masih dari survei Tirto, layanan pay later terbukti telah membuat sekitar 64,99 persen penggunanya menambah jumlah transaksi dalam satu bulan, mulai dari satu transaksi tambahan sampai dengan lebih dari 10 transaksi tambahan.

Sekitar 77,86 persen responden juga mengungkapkan adanya layanan pay later mendorong mereka membeli barang yang cenderung mahal atau tidak bisa dibeli dengan uang tunai saat itu juga.

Buntut Pay Later Nunggak: Susah Ajukan KPR, Sulit Cari Kerja dan Beasiswa

Selain menimbulkan belanja impulsif, pay later juga bisa menjadi bahaya di masa mendatang. Tunggakan pay later dapat menyulitkan peminjaman seseorang di masa depan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi—kerap disapa Kiki—menyebut, kasus kredit macet pay later membuat anak muda kesulitan mengajukan pinjaman lain yang mungkin lebih penting, termasuk mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Pay later ini sudah nyata banget. Beberapa bank kemarin mengeluhkan ke kami, anak- anak muda banyak yang harusnya ngajuin KPR rumah pertama, tapi enggak bisa karena ada utang di paylater,” ungkapnya, dilansir dari pemberitaan Tirto, Jumat (18/8/2023).

Ia mengingatkan, layanan pay later sudah tercatat dalam sistem layanan informasi keuangan (SLIK) OJK. Alhasil, adanya tunggakan dari layanan tersebut dapat mempengaruhi skor kredit individu yang bersangkutan.

Nah, skor kredit yang buruk itu nantinya bahkan menyulitkan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan dan beasiswa. Sejumlah lembaga beasiswa dan perusahaan kini memperhatikan riwayat kredit para calon karyawan dan pencari beasiswa.

Hal-hal seperti itu yang kadang tidak diketahui atau terlewat oleh seseorang saat di awal mengajukan pay later.

“Harus paham produk dan jasa keuangan. Gunakan apa yang tepat sesuai dengan kebutuhanmu. Jangan besar pasak daripada tiang, jangan terjerat,” tandas Kiki.

Literasi Keuangan yang Belum Maksimal

Tingginya NPL layanan pay later dan kurangnya kesadaran akan dampak tunggakan pay later bisa dikaitkan dengan literasi keuangan yang masih belum maksimal.

Merujuk data OJK, pada tahun 2022 indeks literasi keuangan nasional baru di level 49,68 persen, tak kunjung menyentuh angka 50 persen (meski meningkat dari tahun 2019 yang bertengger di 38,03 persen).

Literasi keuangan ini menjadi parameter yang mengukur pengetahuan, keterampilan, serta keyakinan yang mempengaruhi sikap dan perilaku keuangan seseorang dalam meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, termasuk pengelolaan keuangan.

Dari hasil bincang-bincang bersama dua orang yang sempat diwawancarai Tirto, tergambar luputnya pengetahuan mengenai konsekuensi di balik kemudahan pay later.

Keduanya, baik Mawar maupun Nissa, mengaku kapok menggunakan pay later setelah sempat telat membayar.

"Ada konsekuensi denda. Itu hitungannya lumayan, aku gak ingat detailnya tapi kalau gak salah sampai dua persen. Sekarang sudah tidak pakai pay later lagi. Karena setelah dihitung-hitung lumayan juga [dendanya],” cerita Nissa yang pernah telat membayar beberapa hari.

"Ada pengalaman traumatis, enggak lagi pakai pay later. Capek diteror via teleponnya. Itu [telepon penagihan] sehari bisa 35 kali dan kadang sampai mengganggu pekerjaan juga," ucap Mawar.

 Infografik Riset Mandiri Penggunaan Paylater 9

Infografik Riset Mandiri Penggunaan Paylater di masyarakat. tirto.id/Quita

Survei Tirto pada Oktober 2022 mengungkap, ada 22,04 persen responden yang pernah gagal membayar tagihan pay later bulanan. Mayoritas dari mereka memilih untuk mengurangi frekuensi penggunaan (55,14 persen), 21,5 persen lainnya bahkan menghentikan pemakaian layanan pay later.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengingatkan, agar tak impulsif dalam menggunakan pay later, konsumen perlu mempertimbangkan informasi cicilan, pembayaran, hingga bunga yang dibebankan.

"Beli barang-barang [dengan pay later] yang bisa menghasilkan penghasilan, seperti laptop untuk kerja dan sebagainya," ujarnya kepada Tirto, Kamis (31/8/2023).

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto & Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto & Fina Nailur Rohmah
Editor: Shanies Tri Pinasthi