Menuju konten utama

BYD: Dari Produsen Baterai Ponsel Jadi Raksasa Otomotif

BYD didirikan pada 10 Februari 1995 di Shenzhen, Cina, oleh seorang ahli kimia bernama Wang Chuanfu.

BYD: Dari Produsen Baterai Ponsel Jadi Raksasa Otomotif
Mobil listrik BYD Seal. (ANTARA/Ahmad Faishal)

tirto.id - "Apa kalian sudah lihat mobil mereka? Produk mereka tidak bagus, tidak menarik, dan teknologinya juga tidak terlalu hebat," ujar Elon Musk pada 2011 dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg. Musk mengatakan itu sembari tertawa mengejek. Namun, situasinya kini sudah tak lagi sama. Bahkan, boleh dibilang, Musk sekarang telah dibikin ketar-ketir oleh pabrikan yang dulu dia tertawakan itu.

Tiga tahun sebelumnya, pabrikan yang ditertawakan Musk itu mendapatkan suntikan dana segar senilai US$232 juta setelah investor kondang Warren Buffett, lewat Berkshire Hathaway, mengakuisisi 225 juta lembar sahamnya (kurang lebih 10 persen saham perusahaan). Setahun berselang, pabrikan mobil tersebut meluncurkan kendaraan listrik pertamanya.

Ada alasan kuat mengapa Buffett memilih untuk berinvestasi di pabrikan Cina itu. Buffett, bersama rekannya Charlie Munger, merasakan angin perubahan di Negeri Tirai Bambu. Mereka melihat bahwa Pemerintah Cina kala itu sudah mulai serius mendorong perkembangan energi baru. Dua pentolan Berkshire Hathaway itu kemudian memilih pabrikan otomotif itu sebagai gacoan dalam permainan energi baru di Cina.

Pada 2011, pabrikan Cina itu memang belum betul-betul bisa menyaingi Tesla milik Musk. Namun, 12 tahun kemudian, tepatnya pada kwartal keempat 2023, CNBC mewartakan bahwa pabrikan itu sukses menggusur Tesla dari puncak klasemen produsen mobil elektrik.

Total, ada 3 juta unit mobil listrik ia produksi kala itu. Pada akhirnya, pabrikan satu ini berhasil menahbiskan diri sebagai salah satu pemain utama dalam industri mobil listrik.

Pabrikan Cina yang dimaksud tak lain adalah BYD. Lebih tepatnya, BYD Auto.

Bermula dari Baterai Ponsel

BYD didirikan pada 10 Februari 1995 di Shenzhen, Cina, oleh seorang ahli kimia bernama Wang Chuanfu. Mulanya, ia bergerak di bidang pembuatan baterai ponsel. Dalam perkembangannya, ia juga memproduksi forklift, panel surya, semikonduktor, serta jaringan rel listrik. Namun, pertumbuhan BYD sampai menjadi perusahaan raksasa tidak akan bisa terwujud tanpa divisi otomotifnya, BYD Auto.

Sebenarnya, Wang sudah berkeinginan untuk mengeksplorasi mobil listrik sejak 1997. Mulanya, dia bereksperimen dengan membeli sebuah mobil listrik bikinan Beijing Second Auto Works yang menggunakan baterai mobil golf sebagai penggerak. Wang akhirnya sukses mengubah mobil ini menjadi sebuah mobil hibrida.

Pada 2003, Wang mengakuisisi sebuah pabrikan mobil kecil bernama Xi'an Qinchuan Automobile dari perusahaan pertahanan milik negara, Norinco. Menurut Wang kala itu, sudah saatnya BYD bermain di industri otomotif dengan menciptakan mobil listrik bertenaga baterai karena selama ini mereka sudah memiliki ekspertise di bidang pembuatan baterai.

Akuisisi tersebut awalnya mendapat tentangan dari para petinggi serta pemegang saham BYD. Akan tetapi, Wang bergeming. Dia lantas memanfaatkan segala pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh Xi'an Qinchuan Automobile untuk meluncurkan mobil listrik pertama BYD yang diberi nama Flyer EF3. Mobil ini sendiri pertama kali diperkenalkan lewat Beijing Auto Show 2004.

Langkah pertama BYD Auto itu menemui kegagalan. Pasalnya, Flyer F3 awalnya direncanakan untuk menjadi mobil taksi di Shenzhen. Namun, rencana tersebut urung terlaksana. Kendati begitu, BYD Auto tak pernah menyerah. Tahun demi tahun mereka terus melakukan perbaikan, riset, dan meluncurkan model terbaru.

Sampai akhirnya, pada 2008, Wang menyatakan tekad menjadikan BYD sebagai pemimpin pasar mobil di Tiongkok pada 2015 dan dunia pada 2025.

Ada sejumlah upaya penting yang dilakukan BYD untuk mewujudkan visi Wang tersebut. Pada 2009, ia mulai memproduksi bus listrik yang belakangan juga sudah beredar di jalanan Indonesia. Lalu, pada 2010, mereka menjalin kongsi dengan Mercedes-Benz untuk melakukan riset mobil energi terbarukan—di mana akhirnya BYD menguasai sepenuhnya ventura ini pada 2012.

Kemudian, pada 2016, BYD memutuskan menyewa jasa desainer mobil kenamaan Wolfgang Egger yang sebelumnya telah berkarier di sejumlah perusahaan Eropa seperti Alfa Romeo, Audi, dan SEAT. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut, BYD tak cuma secara konstan melakukan pengembangan dalam hal teknologi, tapi juga desain.

Tak Selalu Mulus

Upaya Wang untuk menjadikan BYD sebagai pemimpin industri otomotif tak selamanya mulus, sayangnya. Sebab, pada 2017 hingga 2019, BYD sempat mengalami kesulitan keuangan lantaran berkurangnya subsidi dari Pemerintah Cina. Padahal, subsidi pemerintah tersebut nilainya bisa mencapai 20 persen dari total pendapatan BYD.

Harus diakui, cepatnya perkembangan BYD tak bisa dilepaskan dari peran aktif Pemerintah Cina membangun ekosistem industri kendaraan listrik yang kompetitif. Hal itu tak cuma membuat perusahaan-perusahaan di sana bisa berkembang pesat, tapi juga mampu menawarkan produknya dengan harga yang lebih miring.

Terkhusus BYD, semua proses mereka lakukan sendiri. Dari mulai proses perancangan, produksi baterai, produksi sasis, hingga perakitan. Ia bahkan bisa menyuplai komponen untuk perusahaan lain seperti Xiaomi yang menggunakan Blade Battery bikinan BYD yang super efisien untuk mobil listrik SU7-nya.

Berkat dukungan subsidi pemerintah, BYD pun semakin leluasa beroperasi. Maka ketika subsidi itu berkurang, Wang bahkan hanya berani berkata bahwa tujuan perusahaan kala itu (tahun 2019) hanyalah untuk bertahan hidup.

Namun, selepas itu, peruntungan BYD justru tinggal landas. Sejak 2020 sampai sekarang, penjualan mobil listrik di Cina benar-benar masif. Hanya dalam dua tahun, pertumbuhan penjualan kendaraan listrik bisa mencapai kurang lebih 300 persen.

Pada 2020, mobil listrik hanya 5,8 persen dari keseluruhan mobil yang terjual. Melompat ke 2022, angkanya meroket hingga 27,5 persen. Pada 2022 itu pulalah BYD pertama kali menyalip Tesla sehingga akhirnya Wang memutuskan untuk menghentikan produksi mobil berbahan bakar fosil sepenuhnya.

Pertumbuhan BYD terus meroket sampai akhirnya ia mulai berani menjual produknya ke pasar internasional. Pada 2024, BYD pun resmi masuk ke Indonesia dengan menawarkan model Seal, Atto 3, Dolphin, dan M6. Berdasarkan data Gaikindo, pada Juli 2024 silam, 2.047 unit mobil BYD terjual di Indonesia. Lalu, pada Agustus, penjualannya meningkat jadi 2.389 unit.

Tingginya angka penjualan itu membawa BYD duduk di peringkat keenam klasemen pabrikan terlaris di Indonesia. Bahkan, BYD telah berhasil mengangkangi Wuling, kompatriot mereka yang sudah lebih dahulu masuk pasar Indonesia. Ini jelas catatan yang spesial, terutama karena semua mobil yang dipasarkan BYD merupakan mobil listrik.

Masih menurut data Gaikindo, model BYD terpopuler di Indonesia adalah BYD M6.

Langkah BYD di Indonesia pun tidak berhenti pada penjualan. Berdasarkan kabar terbaru, pada akhir 2025 nanti, ia bakal membangun pabriknya di sini. Langkah ini semakin memantapkan langkah BYD sebagai salah satu raksasa otomotif dunia.

Maka tak mengherankan BYD Auto saat ini merupakan penyumbang terbesar pendapatan konglomerasi BYD. Sekira 80 persen pendapatan BYD disumbang oleh BYD Auto yang inovatif, agresif, dan kompetitif.

Visi Wang menjadikan BYD sebagai pemimpin otomotif dunia pada 2025 barangkali belum akan tercapai. Namun, progres cepatnya benar-benar harus diacungi dua jempol. Ya, jalan mereka untuk mengalahkan pabrikan-pabrikan tradisional, macam Toyota, General Motors, Volkswagen, Hyundai, dan Ford, memang masih amat sangat panjang. Namun, kesuksesan mereka mendompleng Tesla dari puncak “rantai makanan” kendaraan listrik adalah capaian monumental.

Baca juga artikel terkait MOBIL LISTRIK atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi