Menuju konten utama

Bulog dan Pupuk Indonesia Dinilai Tak Layak di Bawah Kementan

Usul Wamentan, Sudaryono, agar Bulog dan Pupuk Indonesia di bawah Kementan dinilai berpotensi menimbulkan korupsi seiring dengan semakin gemuknya Kementan.

Bulog dan Pupuk Indonesia Dinilai Tak Layak di Bawah Kementan
Sudaryono bersiap untuk dilantik menjadi Wakil Menteri Pertanian oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/7/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, menyarankan Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono, fokus membenahi tata kelola Kementan.

Hal itu, menurutnya, lebih baik daripada mengusulkan perubahan susunan kelembagaan PT Pupuk Indonesia dan Perum Bulog yang kini berada di bawah naungan Kementerian BUMN menjadi di bawah Kementan.

“Tupoksi Kementerian Pertanian itu apa? Meningkatkan produksi pertanian terutama pangan fokusnya. Nggak usah ngurusin yang aneh-aneh, ngurusin pupuk, ngurusin Bulog dan lain sebagainya,” ungkap Dwi saat dihubungi Tirto melalui sambungan telepon, Selasa (1/10/2024).

Menurut Dwi, produksi beras selama 10 tahun terakhir rata-rata mengalami penurunan sekitar 1 persen tiap tahunnya. Pada 2023, misalnya, produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk tercatat sebesar 31,10 juta ton, turun 1,39 persen atau 439,24 ribu ton dari produksi 2022 yang sebesar 31,54 juta ton. Sementara pada 2014, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional masih sebesar 41,18 juta ton.

Selama Kementerian Pertanian dipimpin Andi Amran Sulaiman pada 2014-2019 dan kembali menjabat pada Oktober 2023 sampai sekarang, Indonesia sudah mengimpor beras sebanyak lima kali.

Pada 2015, Indonesia membuka impor beras sebanyak 0,9 juta ton dan bertambah lagi menjadi 1,3 juta ton di 2016, lalu 2,3 juta ton pada 2018. Kemudian, pada 2023 Indonesia impor beras hingga 3,06 juta ton.

“Lalu yang lainnya terkait dengan impor seluruh komoditas pangan, dalam 10 tahun ini melonjak 9 juta ton. Kalau dari sisi nilai melonjak hampir 2 kali lipat. Selama 10 tahun terakhir ini melonjak dari 10,1 miliar US dolar menjadi 18,8 miliar US dolar impor komoditas pangan,” jelas Dwi.

Dihubungi terpisah, Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menilai persoalan pangan yang sudah akut tidak bisa diatasi hanya dengan perpindahan komando Pupuk Indonesia dan Bulog dari Kementerian BUMN ke Kementan.

Sebaliknya, melihat kinerja internal Kementerian, pengalihan komando kedua perusahaan BUMN itu justru akan memicu kerancuan dan berpotensi memunculkan konflik kepentingan.

“Di lingkup internal Kementan saja kinerja dan koordinasinya masih harus dibenahi. Apa jadinya jika harus juga mengomando Bulog dan Pupuk? Belum lagi status Pupuk Indonesia ini PT tapi di bawah Kementerian. Jika Kementan menambah tanggung jawab, ini jadinya tidak fokus, Kementan masih harus berbenah,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (1/10/2024).

Menurut Eliza, secara teoritis pengalihan komando ke Kementan bisa membuat pengelolaan sektor pertanian lebih tersentral, sehingga dapat meningkatkan koordinasi dan efisiensi. Namun, hal ini juga bisa mengurangi kemampuan kedua perusahaan dalam berinovasi dan juga berpotensi menimbulkan korupsi seiring dengan semakin gemuknya Kementan.

“Perpindahan komando tidak secara otomatis meningkatkan produksi pertanian. Karena akar persoalan mendasar ini bukan pada aspek pupuk dan peraturan impor semata. Kunci utama untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah dengan perbaikan sistem insentif dan perbaiki tata kelola,” tegasnya.

Eliza juga menyoroti postur belanja Kementan yang 80 persen di antaranya habis digunakan untuk bantuan bibit, benih, sampai penyediaan alat dan mesin pertanian (alsintan).

Sementara belanja modal atau infrastruktur pendukung hanya 4 persen. Padahal belanja modal untuk perbaikan infrastruktur pertanian seperti irigasi, jalan usaha tani, pengolahan, penyimpanan dan infrastruktur pertanian digital lebih penting untuk mendukung peningkatan produksi komoditas pangan.

“Kuncinya, jika ingin meningkatkan produksi, tingkatkan dulu kesejahteraan petaninya. Karena ketika petani diberikan kepastian harga, pasar, dan didukung dengan infrastruktur yang memadai, pertanian akan menguntungkan, dan mereka akan mampu mengadopsi berbagai inovasi dan berekspansi menambah luasan tanam,” sambungnya.

Sebelumnya, Wamentan, Sudaryono, mengatakan bakal mengajukan penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) terkait pengelolaan pertanian yang akan dilakukan tahun depan.

Selain untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian nasional, Perpres ini juga diharapkan dapat mengatur tentang perubahan komando PT Pupuk Indonesia dan Bulog menjadi di bawah naungan Kementan.

“Tahun depan kita coba mengajukan Peraturan Presiden di mana nanti Pupuk Indonesia, termasuk Bulog, menjadi satu [perintah di bawah Kementan]," kata dia melalui keterangan resminya, dikutip Tirto, Selasa (1/10/2024).

Menurutnya, pengalihan komando Pupuk Indonesia dan Bulog menjadi di bawah Kementan diperlukan guna memudahkan koordinasi dalam rangka mengakselerasi pembangunan pertanian nasional. Meski begitu, dia memastikan tidak akan mengubah organisasi kedua perusahaan pelat merah tersebut.

Hanya saja, menurutnya, Kementan perlu menjadi leading sector pangan, mulai dari hulu hingga ke hilir. Sebab, selama ini lembaga-lembaga di bidang pangan terkesan berjalan sendiri-sendiri.

"Kami ingin organisasi tetap ada di situ semua tapi ‘ketua kelasnya' adalah Menteri Pertanian. Karena selama ini pupuknya yang ngurus Menteri BUMN, perdagangan pupuknya Menteri Perdagangan. Kemudian si petani yang ngurus pertanian. Begitu panen, Bulog punya BUMN lagi. Kita tidak bisa perintah Bulog untuk menyerap hasil panen petani," imbuh Sudaryono.

Baca juga artikel terkait KEMENTERIAN PERTANIAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi