Menuju konten utama

Buah UU Baru KPK: Perlemah Kinerja hingga Gagal Penggeledahan

Penggeledahan terkait kasus suap komisioner KPU tertunda lantaran penyidik mesti mendapat izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Buah UU Baru KPK: Perlemah Kinerja hingga Gagal Penggeledahan
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar (tengah), Ketua KPU Arief Budiman (kiri) dan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri (kanan) memberikan keterangan pers soal operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menjerat seorang komisioner KPU di gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1/2020). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.

tirto.id - "Pertama kali dalam sejarah, penggeledahan berhari-hari pasca OTT (Operasi Tangkap Tangan)," tulis mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dalam akun twitternya, @AbrSmd.

Hal itu disampaikan Samad mengomentari proses penggeledahan sejumlah tempat terkait kasus suap terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.

Dalam twitnya, Samad melampirkan tangkapan layar sampul epaper harian Kompas yang terbit Ahad (12/1/2020), dengan judul "Penggeledahan Dilakukan Pekan Depan".

Samad geram lantaran penggeledahan baru bisa dilaksanakan berhari-hari setelah KPK menangkap tangan delapan orang, termasuk Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Rabu (8/1/2020) lalu. Mereka ditangkap terkait kasus suap proses pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR dari Partai Demokarasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

"Tujuan penggeledahan itu agar menemukan bukti hukum secepat-secepatnya. Itulah mengapa sebelum ini, OTT dan geledah itu selalu barengan waktunya. *ABAM," sambung Samad dalam twitnya.

Pendapat serupa juga disampaikan Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar. Tertundanya penggeledahan oleh penyidik KPK berpotensi membuat hilangnya barang bukti terkait perkara tersebut.

"Ya, pasti barang yang ada kaitannya dengan kejahatan pasti sudah raib diamankan. Pertama kali dalam sejarah, penggeledahan diumumumkan waktunya dan penggeledahan dilakukan setelah 4 hari OTT," kata Fickar saat dihubungi reporter Tirto, Ahad (12/1/2020).

Fickar menilai hal ini sebagai seri pelemahan KPK dan kemunduran dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

"Demokrasi di negara hukum mulai dirusak. Ini salah satu akibat penguasaan negara oleh oligarki partai dan pengusaha," ujarnya.

Penggeledahan terkait kasus suap komisioner KPU tertunda lantaran penyidik mesti mendapat izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Hal itu diakui Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri kepada wartawan, Jumat (10/1/2020).

"Izin dari Dewas untuk melakukan beberapa kegiatan di beberapa tempat sudah kami terima," kata Ali.

Namun Ali enggan membeberkan lokasi mana saja yang hendak digeledah serta waktu pelaksanaanya. Ia berdalih hal itu tak bisa diungkap ke publik demi kepentingan penyidikan.

UU Baru Memperlambat Kinerja KPK

Penggeledahan mesti seizin Dewan Pengawas merupakan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [PDF] atau UU KPK baru.

"Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas," bunyi pasal 47 UU KPK.

Sebelum UU KPK berlaku, penggeledahan dilakukan tak lama setelah penangkapan. Misalnya saat rentetan OTT kepala daerah jelang berlakunya UU KPK yang baru: Bupati Lampung Utara dan Bupati Indramayu.

KPK menangkap Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara terkait suap proyek di Dinas PU atau Koperindag di Kabupaten Lampung Utara, Minggu (6/10/2019) malam. Hasil penggeledahan pada hari yang sama, KPK menyita uang Rp600 juta dari rumah dinas bupati.

Sepekan berselang, Senin (14/10/2019, KPK menangkap tangan Bupati Indramayu Supendi terkait kasus dugaan suap proyek jalan. KPK lalu menggeledah delapan lokasi di wilayah Indramayu dan Cirebon pada Kamis (17/10/2019) dan Jumat (18/10/2019).

Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat berlakunya UU yang baru justru menghambat kinerja KPK. UU baru membuat penggeledahan sejumlah tempat dalam perkara suap komisioner KPU menjadi lambat.

"UU KPK baru (UU No 19 Tahun 2019) terbukti mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Ahad (12/1/2020).

Kurnia juga menyoroti terhambatnya penyegelan dan penggeledahan di kantor DPP PDIP.

"Padahal dalam UU KPK lama (UU No 30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun," imbuhnya.

Oleh karena itu, menurut Kurnia, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK yang baru harus menjadi menjadi prioritas Presiden Joko Widodo.

"Presiden Joko Widodo agar tidak buang badan saat kondisi KPK yang semakin lemah akibat berlakunya UU KPK baru," tegasnya.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP PAW DPR atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika & Alfian Putra Abdi
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Restu Diantina Putri