Menuju konten utama

BPOM-Bareskrim Polri Bongkar Peredaran Sekretom Ilegal di Jateng

BPOM bersama dengan Bareskrim Polri mengungkap kasus peredaran produk biologi sekretom ilegal, yang merupakan produk turunan dari sel punca.

BPOM-Bareskrim Polri Bongkar Peredaran Sekretom Ilegal di Jateng
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar (keempat kanan) didampingi Kabagbanops Rokorwas PPNS Bareskrim Polri Kombes Pol. Suryo Aji (kiri), Direktur Pengembangan Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Yanti Herman (tengah), Ketua Komite Pengembangan Sel Punca dan Sel (KPSPS) Amin Soebandrio (kanan), Ketua Majelis Disiplin Profesi Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) Sundoyo (kedua kanan), Deputi IV Bidang Penindakan BPOM Brigjen Pol. Tubagus Ade Hidayat (ketiga kiri), Deputi I Bidang Pengawasan Obat, Narokotika, Psikotropika, Prekusor, dan Zat Adiktif (NPPZA) BPOM William Adi Teja (keempat kiri), beserta jajaran menunjukkan barang bukti saat konferensi pers Hasil Operasi Penindakan Sediaan Farmasi Produk Biologi Sekretom Ilegal di Kantor BPOM, Jakarta, Rabu (27/8/2025). BPOM menindak praktik peredaran produk sekretom ilegal (produk turunan dari stem cell atau sel punca) yang dilakukan oleh seorang dokter hewan berinisial YHF di wilayah Magelang, Jateng yang memberikan terapi atau pengobatan ilegal untuk pasien manusia, dengan mengamankan barang bukti berupa produk sekretom dengan nilai keekonomian mencapai Rp230 miliar. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/bar

tirto.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama dengan Bareskrim Polri mengungkap kasus peredaran produk biologi sekretom ilegal, yang merupakan produk turunan dari sel punca atau stem cell.

Praktik peredaran sekretom ilegal itu dilakukan dokter hewan berinisial YHF (56) yang beroperasi di kawasan Magelang Utara, Magelang, Jawa Tengah.

“Badan POM menemukan sarana peredaran produk biologi ilegal berupa sekretom yang merupakan produk turunan sel punca di wilayah Magelang, Jawa Tengah, pada 25 Juli 2025,” kata Kepala BPOM, Taruna Ikrar, dalam konferensi pers di Kantor BPOM, Jakarta Pusat, pada Rabu (27/8/2025).

Taruna mengatakan YHF yang kini berstatus sebagai tersangka itu berkedok menjadi dokter hewan dan belum memiliki izin praktik. Ia juga telah menyalahi wewenangnya karena justru memberikan terapi pengobatan kepada manusia, bukan hewan.

YHF juga dinilai telah melanggar hukum karena mengedarkan produk sekretom secara ilegal tanpa terlebih dahulu memiliki nomor izin dari BPOM.

“Sekretom dikategorikan sebagai produk biologis, sehingga harus memiliki izin edar juga. Selain risiko membahayakan kesehatan masyarakat, pengguna, peredaran produk biologi ilegal berpotensi merugikan perekonomian negara dan menurunkan daya saing produk,” tegas Taruna.

Taruna menjelaskan untuk menutupi operasi peredaran sekretom ilegal itu, YHF menjalankan praktik dokter hewan sebagai alibi. Sedangkan untuk produk sekretom itu sendiri diproduksi olehnya di sebuah laboratorium yang terletak di salah satu universitas di Yogyakarta.

YHF mengedarkan produk sekretom ilegal dengan cara menyuntik langsung atau intramuskular ke bagian bokong atau lengan para pasiennya.

“[BPOM] mengamankan produk jadi berupa produk sekretom yang sudah dimasukkan ke kemasan tabung Eppendorf 1,5 ml berwarna merah muda serta oranye dan siap disuntikkan kepada tubuh pasien manusia,” jelas Taruna.

Penyuntikan langsung produk sekretom itu dilakukan YHF kepada para pasien yang berdomisili di luar Pulau Jawa, seperti dari Sumatra, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Sedangkan untuk pasien yang masih berdomisili di Pulau Jawa, YHF juga mendistribusikan produk sekretom itu melalui termos pendingin yang mampu menjaga suhu. Termos itu lalu dibungkus sebagai paket dan dikirim langsung ke pasien.

“Badan POM juga menemukan produk sekretom dalam kemasan botol 5 liter sebanyak 23 botol yang disimpan di dalam kulkas peralatan suntik [serta] termos pendingin yang sudah ditempel identitas dan alamat lengkap pasien,” terang Taruna.

Dari praktik peredaran produk sekretom secara ilegal itu, nilai ekonomi yang ditemukan oleh BPOM dan Bareskrim Polri mencapai Rp230 miliar.

Atas perbuatannya, YHF dijerat dengan Pasal 435 juncto Pasal 138 Ayat (2) serta Pasal 436 Ayat (1) juncto Pasal 145 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.

Baca juga artikel terkait BPOM RI atau tulisan lainnya dari Naufal Majid

tirto.id - Flash News
Reporter: Naufal Majid
Penulis: Naufal Majid
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama