Menuju konten utama

BKPM Sebut 26 Perusahaan Setuju Jual Nikel ke Pasar Domestik

Harga per metrik ton Free on Board (FOB) di pasar dalam negeri sebesar 27 USD-30 USD.

BKPM Sebut 26 Perusahaan Setuju Jual Nikel ke Pasar Domestik
Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/11/2019). ANTARA FOTO/Jojon/foc.

tirto.id - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan 26 perusahaan dari 37 perusahaan terdaftar sebagai pemilik hak ekspor bersedia menjual nikelnya ke pasar dalam negeri.

Hingga akhir tahun 2019, hanya tersisa sekitar 9 perusahaan yang masih akan melakukan ekspor dan 2 sisanya menunggu hasil verifikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Dalam UU perusahaan yang berhak ekspor adalah yang membangun smelter. Itu ada 37. Kurangilah. Jadi dari 37 kurang 11. Itu lah,” ucap Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers, Selasa (12/11/2019).

Bahlil juga mengatakan angka itu ia peroleh sebagai jumlah perusahaan yang belum membuat konfirmasi bilamana mereka ingin melakukan ekspor kembali.

BKPM, katanya, juga sudah mewanti-wanti agar mereka segera memberitahu bila mereka tetap ingin memanfaatkan kesempatan ekspor sebelum ditutup per 1 Januari 2020.

“26 [perusahaan] setuju jual ke lokal smelter. Kenapa saya katakan setuju? Sampai sekarang belum ada konfirmasi mau ekspor lagi,” ucap Bahlil.

Menyusul 26 perusahaan itu, Bahlil mengatakan sudah mempertemukan pengusaha nikel dan pemilik smelter.

Hasilnya ia mengklaim mereka sepakat perusahaan yang mau menjual ke dalam negeri akan memperoleh harga internasional yaitu 27 USD-30 USD per metrik ton Free on Board (FOB). FOB adalah harga yang dihitung di luar biaya perkapalan, pajak, asuransi dan lainnya.

Harga ini berlaku bagi ekspor bijih nikel kadar rendah di bawah 1,7 persen yang diperbolehkan peraturan pemerintah.

Dengan demikian, kata Bahlil, sampai 31 Desember 2019, perusahaan yang menjual ke dalam negeri mendapat perlakuan sama adilnya dengan mereka yang memutuskan tetap ekspor.

“Kami sudah tidak mau ekspor ore mulai 1 Januari 2020. Terkait ekspor terbatas yang memenuhi syarat, monggo. Yang tidak mau ekspor, beralih ke dalam negeri,” ucap Bahlil.

Terkait keluhan mengenai surveyor, ia menyatakan pembeli-penjual sudah sepakat untuk menunjuk 2 surveyor berbeda agar harga yang ditentukan tetap adil.

Namun, ekspor yang dilakukan oleh 9 perusahaan ini tetap dibatasi ketentuan yaitu per bulan maksimal 30 kapal dan tonasenya diperkirakan mencapai 1,5 juta ton dan maksimal 2 juta ton.

“Kalau lebih dari itu ada sesuatu,” ucap Bahlil.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin mendukung kebijakan itu. Ia hanya memberi catatan agar smelter menyerap hasil tambang dengan harga yang wajar.

Kendati demikian, setahu Meidy sampai akhir 2019 terdapat sekitar 7 juta-8 juta ton kuota ekspor yang tersedia.

Soal penyerapan itu, ia masih ingin memastikan bahwa ada data yang pasti mengenai kebutuhan dan ketersediaan bijih nikel sehingga tidak terjadi oversupply.

“Sisa kuota ekspor. 7 juta-8 juta ton dari total keseluruhan. Apakah smelter menyerap? Kami sedang ada kegiatan koordinasi dengan daerah untuk mendata berapa total kebutuhan input ore smelter,” ucap Meidy.

Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I), Haykal Hubeis menyatakan kesepakatan ini akan ia jalankan bersama anggota asosiasinya.

Ia bilang kedua perusahaan di sektor hulu dan hilir sudah sepakat mengenai harga jual itu. “Kami akan laksanakan sesuai yang disepakati,” ucap Haykal.

Baca juga artikel terkait NIKEL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali