tirto.id - Penambang nikel mengancam akan melakukan boikot kepada sejumlah smelter, jika pemerintah belum membuat aturan soal tarif dasar alias Harga Patokan Mineral (HPM). Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K Lengkey mengatakan, pemboikotan akan dimulai dari enam bulan ke depan.
"Sudah mulai ada beberapa perusahaan yang memboikot. Sudah ada perusahaan yang menahan. Kemudian ada beberapa perusahaan gang tidak bisa diboikot karena dia sudah dikontrak harus jalan dong. Kalau nggak kan pidana," kata dia dalam diskusi Kontroversi Penghentian Ekspor Ore Nikel dan Pembangunan Smelter, di Gedung KHMI, Kebayoran Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2019).
Meidy melanjutkan, pemboikotan itu dilakukan karena beberapa smelter sudah memiliki stok ore nikel untuk diolah hingga enam bulan ke depan.
"Kami akan memboikot ini dalam 5-6 bulan ke depan. Di salah satu smelter paling hanya ada 3 bulan stok yang saat ini di Morowali maksimal 5 bulan [stok]. Bulan ke enam dia nyari kita nggak [nikel]. Gitu aja," kata dia.
Ia mengatakan, sejak dulu, penambang dengan smelter memiliki masalah, yakni soal kualitas dan harga. Harga beli domestik selalu di bawah harga internasional, maka dari itu, kebanyakan pengusaha lebih memilih ekspor ketimbang menjual ke smelter lokal.
Karena ada kebijakan pembatasan ekspor, penambang berharap nikel mentah yang akan dijual kepada smelter lokal dihargai dengan tarif yang layak.
"Tolong benahi harga tata niaga nikel domestik. Kan dari dulu itu sudah tau kan mau ekspor [atau] enggak ekspor jika harganya memang sudah layak ya kita enggak bakal ada yang ekspor. HPM sudah amat cukup. Pertanyaannya, smelter mau terima apa enggak?" terang Meidy.
Ia memaparkan, jika penambang berhenti produksi, maka penambang hanya akan rugi di alat berat, tapi jika smelter tak mendapatkan bahan baku untuk diolah alias shutdown beroperasi, maka smelter menjadi pihak yang sangat rugi.
Pihaknya pun menginginkan pemerintah mengatur soal Harga Patokan Mineral (HPM) yang dengan kisaran harga beli 32 dolar AS per ton.
Aturan soal pembatasan ekspor telah tertuang dalam Permen ESDM nomor 11 Tahun 2019 soal stop ekspor nikel pada 1 Januari 2020. Kesepakatan tersebut disetujui asosiasi ketika Menteri ESDM sebelumnya, Ignasius Jonan, menyetujui soal nikel RI yang sebelumnya diekspor akan diserap smelter lokal dengan tarif HPM.
Masalahnya, jadwal itu dimajukan pada 28 Oktober 2019, sedangkan kontrak antara pengusaha RI dengan Cina telah berlangsung hingga Desember 2019. Menurut Meidy, perubahan skema itu menuai kekecewaan dari investor asing.
"Kami harapkan dari dulu itu satu, perbaiki tata niaga nikel di dalam negeri. Kita enggak muluk-muluk dengan harga 32 dolar AS/ton saja [HPM] sudah syukuran. Tapi baru saja Kepala BKP bilang stop ekspor nikel 28 Oktober lalu, malamnya harga beli nikel turun jadi 28 dolar AS/ ton," terang dia.
Selain pembenahan tata niaga nikel, Meidy pun meminta adanya surveyor penilai kualitas nikel, sebab selama ini, nikel yang dijual lokal merupakan kategori produk reject atau kandungan nikel mentah dalam campuran tanah di bawah 1,7 persen. Ini akhirnya membuat mereka tak dapat untung dan barang tak bisa kembali.
"Kalau barang kita dari sini 1,7 persen, tapi kalau penilaian dari sama nilai 1,6 persen atau di bawahnya kan dihitung reject. Padahal saya tahu kalau yang di bawah 1,4 itu masih bisa di olah. Barang tidak dikembalikan karena kan mengembalikan barang itu perlu ratusan juta lagi. Jadi daripada tambah rugi kita kerap kali ikhlaskan barang," terang dia.
Selain dua keinginan tadi, Meidy juga ingin ada peraturan yang memiliki kepastian hukum.
"Inkonsistensi pernah saya lihat ada investor yang sudah tancap besi tapi mundur karena perizinan yang berbelit dan panjang. Aturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak sinkron membuat proses perizinan usaha sangat lama, itu yang membuat investor mundur," tandasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Widia Primastika