tirto.id - Rencana pemerintah mempercepat pelarangan ekspor bijih nikel (ore) dari semula 2022 menjadi 2021 menuai penolakan dari pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Mereka berdalih jika larangan diberlakukan, maka mereka tidak akan bisa menyelesaikan pembangunan smelter yang modalnya diperoleh dari kuota ekspor.
Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey pun meminta agar pemerintah konsisten dengan keputusan relaksasi ekspor pada 2017. Saat itu, perusahaan nikel masih dibolehkan ekspor asal pembangunan smelter sudah berjalan dan bisa selesai pada 2022.
“Ini kami minta pemerintah tolong commit. Kami sudah melakukan kegiatan pembangunan. Modalnya dari kuota ekspor,” ucap Meidy dalam paparannya di kantor DPP APNI, Kamis (22/8/2019).
Meidy menambahkan “ada keuntungan untuk membangun sampai 31 Desember 2021. Kalau kita bangun dan 2019 tutup [ekspor]. Dampak ke makro banyak. Banyak penambang bisa mati.”
Alasan pengusaha untuk kekeuh meminta ekspor sebenarnya masih banyak. Mulai dari harga jual luar negeri yang lebih menguntungkan untuk modal smelter, kesulitan mengurus izin, sampai keluhan 13 pembayaran kewajiban dan masalah permainan surveyor oleh pembeli domestik.
Namun, APNI juga menunjuk kehadiran perusahaan nikel asing di Indonesia yang bertindak sebagai kartel. Mereka merasa bahwa kehadiran perusahaan asing tersebut dapat mengancam mereka.
Sebab, perusahaan nikel asing mampu beroperasi dalam kapasitas berkali lipat lebih besar, memiliki fasilitas pajak dari pemerintah, dan bisa mengontrol pasokan serta harga nikel yang dibeli dari penambang lokal.
Belum lagi, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan para investor smelter dari Cina pada Juli 2019 lalu mengundang kecurigaan dari pengusaha.
“Ini ada lagi raksasa dunia mau masuk. Dari Cina lagi mengajukan kok buru-buru? Ini memang ada hubungan dengan anti-dumping di Cina. Jadi produknya harus stainless steel,” ucap Meidy.
Namun demikian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pernah membantah itu. Ia menjamin kalau keputusan pembatasan ekspor nikel ini tidak berkaitan dengan lobi apa pun.
“Saya hanya melihat ini national interest, tidak ada kepentingan lain. Tidak ada ya. Tidak ada urusan lobby-lobby di sini,” ucap Luhut di Nusa Dua, Bali dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, pada Kamis (22/8/2019).
Luhut juga balik bertanya karena selama ini relaksasi ekspor sudah diberikan sejak 2009, tetapi ia sendiri melihat smelter belum bermunculan sebanyak yang dijanjikan. Luhut yang pernah menjabat sebagai Plt. Menteri ESDM pada 2014, pun sudah mengalami langsung momen-momen penting ketika pembangunan ini mengalami penundaan.
"Pertanyaan saya dari kapan keluhan itu? Dari dulu. Antam itu saja 40% kerjanya ekspor. Dari sekian puluh tahun ada pabriknya tidak?” ucap Luhut.
Pernyataan Luhut ini memang tak bisa dipandang remeh. Sebab, relaksasi ekspor pada 2017 lalu adalah yang ketiga. Pertama relaksasi diberikan pada 2009 agar pengusaha mau membangun smelter dan selesai pada 2014 sesuai amanat UU No. 4 Tahun 2009.
Guru Besar Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwandy Arif mengatakan pemerintah seharusnya konsisten untuk melarang ekspor bijih mineral. Menurut Irwandy hal ini sudah tegas diatur dan jadi amanat UU Minerba yang sudah lama terbit.
Irwandy menjelaskan soal pelarangan ekspor ini memang akan mengganggu pasar nikel di Indonesia, tetapi pasti akan menemukan keseimbangannya. Ia yakin dampaknya tidak seberapa jika Indonesia mampu mempercepat proses nilai tambah dalam industri ini.
“Kebijakan membuka ekspor bijih nikel kadar rendah dan bijih bauksit dengan kadar silika dan aluminium tertentu seharusnya tidak dilakukan,” ucap Irwandy saat dihubungi reporter Tirto, pada Jumat (23/8/2019).
Peneliti cum dosen ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan larangan ini seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Sebab, yang dilarang hanya ekspor bijih nikel, tetapi bila sudah diolah sesuai standar hilirisasi, maka hasil tambang mereka boleh dijual ke luar.
Kalau pun pengusaha masih enggan karena smelter mereka belum selesai, Fahmy menyatakan, mereka dapat tetap memanfaatkan smelter lain yang sudah dibangun di Indonesia. Caranya, kata Fahmy, bisa berupa kerja sama dengan perusahaan yang hanya memiliki smelter sampai bagi hasil dari proses yang ada.
“Selama ini ekspor tidak pernah diolah, tapi enggak bisa seperti itu terus. Pengusaha enggak harus jual ke domestik. Kan bisa kerja sama B2B. Dia enggak punya modal bangun smelter, kan, bisa olah di tempat lain,” ucap Fahmy saat dihubungi reporter Tirto, pada Jumat (23/8/2019).
Fahmy menambahkan keberadaan kartel dan pengusaha besar yang memainkan harga domestik juga sepatutnya jadi alasan untuk terus menunda. Lagi pula Fahmy mengingatkan kalau pemerintah bisa dan memang seharusnya mengintervensi langsung maupun regulasi.
Ditambah lagi, saat ini Indonesia juga memiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menjatuhkan sanksi atas dugaan persaingan tidak sehat dalam bisnis nikel.
Intinya, kata Fahmy, negara harus hadir agar masalah ini tidak dijadikan alasan bagi pihak mana pun untuk tetap mempertahankan status quo relaksasi ekspor yang jauh dari hilirisasi.
“Makanya negara harus hadir. Ada intervensi jangan sampai kartel tadi menggangu proses hiliriasi. Kalau pemerintah terus membiarkan ekspor seperti sekarang (belum diolah), itu melanggar UU Minerba,” ucap Fahmy.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz