tirto.id - Kabar sejuk terkait gaji hakim, berhembus di tengah diskursus kesejahteraan hakim yang kerap mengemuka. Setelah gaji hakim sempat mengalami penyesuaian pada penghujung tahun lalu, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bakal menaikkan gaji hakim lagi hingga 280 persen.
Wacana itu dilontarkan Prabowo saat menghadiri Pengukuhan Hakim Mahkamah Agung (MA) di Kantor Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (12/6/2025). Ia menyebut bahwa langkah ini bukan berarti memanjakan para hakim, melainkan untuk mensejahterakan mereka dan lebih baik daripada uang negara dicuri koruptor.
"Saya Prabowo Subianto, Presiden Indonesia ke-8, hari ini, mengumumkan bahwa gaji-gaji hakim akan dinaikan demi kesejahteraan para hakim dengan tingkat kenaikan bervariasi sesuai golongan, di mana kenaikan tertinggi mencapai 280 persen," kata Prabowo ketika memberikan sambutan.
Adapun golongan hakim yang mengalami kenaikan gaji 280 persen merupakan hakim dengan golongan paling bawah. Dalam kesempatan itu, dia juga bilang bakal memantau proses kenaikan gaji hakim.
"Golongan yang naik tertinggi adalah golongan junior, paling bawah. Tapi semua hakim akan naik secara signifikan. Saya monitor terus. Semua pegawai lain sabar," tutur Prabowo.
Rencana kenaikan gaji hakim ini sebetulnya bukan barang yang jatuh dari langit secara tiba-tiba. Saat debat capres sebelum dirinya terpilih menjadi RI 1, Prabowo juga sempat menyinggung soal komitmennya untuk memperbaiki kualitas hidup hakim jika mereka ingin independen.
Hal itu disampaikan Prabowo ketika menjawab pertanyaan terkait lembaga kekuasaan, Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini cenderung bersifat intervensional.
“Saya akan memperbaiki kualitas hidup semua hakim-hakim di Republik Indonesia, semua pekerja di sekitar pengadilan dan semua penegak hukum akan saya perbaiki kualitas hidupnya, gajinya diperbaiki supaya mereka tidak dapat diintervensi, tidak dapat disogok,” kata Prabowo saat Debat Capres di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (12/12/2023) silam.
Dalam Asta Cita, alias dokumen visi-misi yang dicanangkan Prabowo bersama wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, terdapat pula program prioritas untuk menaikkan gaji Aparatur Sipil Negara/ASN (terutama guru, dosen, dan tenaga kesehatan), TNI dan Polri, serta pejabat negara.
Mereka juga menyatakan akan memperkuat gerakan pemberantasan korupsi secara lebih sistematis dengan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Bukan semata soal janji kampanye, desakan soal pemenuhan hak-hak hakim juga sempat disuarakan oleh para hakim. Pada Oktober 2024 lalu, Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) sempat melangsungkan aksi cuti bersama secara serentak sebagai bentuk protes atas gaji dan tunjangan jabatan hakim.
Sudah Selayaknya Naik Gaji Lagi?
Pasca protes lewat mogok kerja, Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah MA.
Terbitnya PP Nomor 44 Tahun 2024 itu membuat hakim golongan III dengan masa kerja kurang dari satu tahun mendapat gaji sebesar Rp 2.785.700 hingga Rp 3.154.400. Sementara hakim golongan IV dengan masa kerja 31-32 tahun mendapat gaji sebesar Rp 5.399.900 hingga Rp 6.373.200.

Namun begitu, kenaikan gaji hakim pada tahun lalu dinilai MA tak terlalu signifikan. Juru bicara MA, Yanto, mengatakan bahwa kenaikan pada masa itu hanya sekitar 15 persen, sehingga rerata gaji hakim hanya naik Rp2 juta - Rp3 juta.
“Itu kalau dikorelasikan kita yang 18 tahun nggak pernah naik kan, itu kemarin kirain kita naiknya signifikan karena kan 18 tahun nggak pernah naik, sementara PNS yang lain setiap tahun naik,” kata Yanto saat dihubungi Tirto, Jumat (13/6/2025).
Sebagai gambaran, dalam PP 94/2012, gaji hakim golongan III dengan masa kerja kurang dari satu tahun berada di kisaran Rp 2.064.100 hingga Rp 2.337.200. Sementara hakim golongan IV dengan masa kerja 31-32 tahun mendapat gaji sebesar Rp 4.422.900 sampai Rp 4.978.000.
Meski dalam aturan soal hak hakim, mereka juga mendapatkan tunjangan, rumah dinas, jaminan kesehatan, dan fasilitas transportasi, Yanto mengatakan realitanya tak sepenuhnya sesuai.
“Saya pernah jadi ketua (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat 3 tahun, itu sekelas Ketua Jakarta Pusat yang notabene perkaranya setahun 8.000, perkara yang diadili triliunan, nggak ada rumah dinas. Sampai sekarang. Padahal UU-nya mengatur bahwa ketua pengadilan dapat rumah dinas,” tutur Yanto.
Ia menyampaikan bahwa MA menyambut baik dan memberikan apresiasi atas perhatian dan keputusan pemerintah. Kenaikan gaji hakim ini dinilai Yanto sebagai respon atas tidak adanya kenaikan gaji hakim selama 18 tahun dan merupakan amunisi bagi hakim untuk ikut berperan dalam membangun sistem hukum yang menjamin keadilan.
“Jadi peningkatan kesejahteraan hakim adalah selaras dengan kebijakan MA dalam melawan judicial corruption. Dengan meningkatkan gaji hakim, tentunya pimpinan MA menggarisbawahi dan mengingatkan kepada para hakim seluruh Indonesia untuk menghindari hidup hedon, hidup berlebihan, tidak melakukan perbuatan tercela, yang dapat mencoreng institusi,” kata Yanto.
Lebih jauh, dia juga mendorong para hakim untuk tetap berpegang pada kode etik dan pedoman perilaku hakim lantaran setiap pelanggaran disebut akan mendapatkan sanksi yang tegas dan berat dari pimpinan MA.

Masalahnya, kasus korupsi dan suap yang melibatkan hakim tak bisa dihitung jari. Dalam kasus suap vonis lepas penanganan korupsi minyak goreng misalnya, delapan orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan empat di antaranya merupakan hakim. Dalam kasus itu, para hakim diduga menerima suap dan gratifikasi untuk membuat putusan dalam kasus ekspor minyak goreng terhadap beberapa korporasi menjadi vonis bebas.
Kasus yang menyeret empat hakim terkait pengurusan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini bahkan memiliki kesamaan dengan kasus suap hakim di PN Surabaya, yakni praktik jual beli perkara yang dikendalikan jaringan mafia peradilan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut, kasus dugaan suap atau gratifikasi yang menjerat empat hakim dipicu dari kecurigaan adanya pola yang sama dalam vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dalam kasus penganiayaan Dini Sera Afrianti hingga tewas. Tidak hanya itu, Kejagung pun mengamini adanya hubungan dalam kedua kasus tersebut.
Tidak Linear dengan Pengentasan Korupsi
Logika yang tengah dibangun saat ini yakni kesejahteraan hakim yang semakin meningkat maka bisa mengurangi praktik suap dan gratifikasi di kalangan penegak hukum. Namun, pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai solusi pemerintah menaikkan gaji hakim demi menghindari perbuatan korupsi tidak linear dan agak keliru.
Pria yang akrab disapa Castro itu bilang, tunjangan hakim sudah cukup besar. Dalam konteks hakim tingkat banding misalnya, hakim yang menduduki jabatan ketua memperoleh tunjangan sebesar Rp56,5 juta, seperti di PP Nomor 44 Tahun 2024.
“Jadi sebenarnya bukan menjadi problem utama, menyelesaikan korupsi bukan dengan cara menaikkan gaji sebenarnya menurut saya. tetapi mesti ada pembenahan secara serius dar hulu ke hilir, mulai dari proses rekrutmen Hakim yang betul-betul harus mempertimbangkan rekam jejak, integritas dan sebagainya,” ungkap Castro kepada jurnalis Tirto, Jumat (13/6/2025).
Begitu pula proses pengawasan yang juga menjadi signifikan, tidak hanya di internal, tetapi juga mesti melibatkan publik. Kemudian di level hilir, penting untuk menjatuhkan sanksi yang betul-betul berat kepada hakim yang melakukan tindak pidana korupsi, supaya bisa menimbulkan efek jera.
“Nah kalau sekarang hakim-hakim yang melakukan perbuatan korupsi tetapi tidak dihukum dengan berat ya tidak akan memberikan efek jera kan, baik bagi hakim pelaku ataupun hakim-hakim yang lain. Jadi problem dari hulu ke hilir inilah yang mesti kita seriusin kalau ingin berharap sistem peradilan termasuk hakim-hakim untuk bisa dibenahi dengan baik,” tutur Castro.
Direktur Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, mengungkap pernyataan selaras. Jika berefleksi soal mafia peradilan, Satria menekankan pentingnya wacana kenaikan gaji dibarengi oleh komitmen kuat tentang integritas dari penegak hukum.
Integritas ini menurutnya tidak hanya sebagai slogan, tetapi juga sebagai prinsip yang harus dilakukan oleh hakim di dalam menjalankan kewenangannya, khususnya di dalam memutuskan perkara. Baik itu perkara terkait dengan pidana khusus seperti korupsi atau suap, dalam artian pencucian uang, serta kejahatan-kejahatan lain yang masuk kategori kejahatan luar biasa.
“Dan ini harus dilakukan karena kesejahteraan hakim terpenuhi. Ini kan logikanya gitu yang dibangun oleh pemerintah. Kesejahteraan hakim terpenuhi mereka kemudian merasa sesuai kebutuhannya sehingga mereka tidak mau disuap. Tapi sekali lagi bukan berarti gaji itu atau pendapatan itu adalah satu-satunya cara untuk memberantas korupsi di sektor peradilan,” ungkap Satria ketika dihubungi lewat aplikasi perpesanan, Jumat (13/6/2025).
Sebab, selain persoalan mafia, ada pula faktor perkara yang ditangani oleh hakim. Dengan begitu, kita berharap bahwa sistem peradilan yang efisien dapat terwujud dengan menjalankan prinsip-prinsip hukum acara yang proper.
“Sekarang ada revisi KUHAP tentu ini menjadi satu appointment bahwa kewenangan hakim ini harus kemudian bersama dengan kewenangan jaksa atau penuntut umum dan kewenangan penyidik-penyelidik itu harus proporsional di dalam criminal justice system yang dibangun. Sehingga tidak semua perkara itu istilahnya hakim menjadi keranjang sampah, itu yang kemudian menyebabkan kasus-kasus atau perkara itu menumpuk di peradilan,” kata Satria.
Ia mendorong adanya pengawasan terhadap praktek-praktek mafia peradilan yang dilakukan oleh KPK atau Kejaksaan untuk mewujudkan reformasi di sektor peradilan. Dengan hanya menaikkan gaji hakim, tetapi tidak dibarengi dengan upaya lain dari hulu-hilir, negara kita tidak akan baik-baik saja, katanya.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































